SuaraKawan.com
Bab 9 Rawa-rawa

Penculikan 15

Mentari memantulkan sinar di permukaan laut yang terletak tak jauh dari rawa-rawa. Cahaya merah keemasan tampak bermain di atas gelombang kecil, berkilauan seolah kerlip bintang di malam hari. Begitu indah dan penuh pesona.  Perlahan dan penuh kepastian sinarnya merambat halus menyentuh permukaan tanah.

Kedua orang yang memiliki kemampuan setara -mungkin setara- tidak lagi berada dalam keadaan yang sama secara terus menerus. Ken Banawa membentuk selubung pertahanan yang segera berubah menjadi serangan balik yang mematikan. Ki Cendhala Geni juga menempuh cara yang sama dengan Ken Banawa. Peningkatan tenaga dan kecepatan keduanya terus berlangsung. Mereka kian dahsyat terlibat dalam adu serang, saling membenturkan senjata dan terkadang diawali dentuman sebelum berloncatan saling menjauh.

Kapak Ki Cendhala Geni yang mempunyai bagian sisi tajam pada dua sisinya membabat lambung kiri Ken Banawa. Ken Banawa mengira arah serangan adalah bagian bawah ketiaknya, oleh karena itu ia melakukan tusukan ke pangkal lengan Ki Cendhala Geni. Namun perubahan arah kapak memaksa Ken Banawa mundur setapak sambil memutar tubuh, lantas dalam keadaan membelakangi Ki Cendhala Geni, Ken Banawa tiba-tiba mematukkan ujung pedang ke ulu hati musuhnya.

Ujung pedang tiba-tiba menyeruak keluar dari bawah lengannya!

Ki Cendhala Geni cepat membenturkan senjatanya untuk mengubah arah pedang Ken Banawa. Pedang Ken Banawa tergetar hebat, ia merasakan sedikit rasa sakit pada sikunya. Di pihak lain, Ki Cendhala Geni sendiri merasakan kejutan pada pangkal lengannya akibat benturan itu.

Pertarungan yang luar biasa itu dengan penuh kejutan yang mengiris hati. Betapa beberapa gebrakan yang berujung maut itu hanya dilakukan tak kurang dari sekejap mata. Berlumur debu serta peluh bercampur lumpur kering, tubuh Ki Cendhala Geni yang besar dan penuh otot itu terlihat mengerikan. Kebuasan jelas memancar dari sorot sepasang matanya. Serigala lapar itu telah mengendus bau darah yang menebar keluar melalui kulit Ken Banawa, senopati tangguh Majapahit.

“Ki Cendhala Geni, menyerahlah. Tanganmu banyak berlumur dengan dosa dan darah. Majapahit akan memberimu ampunan bila engkau menyerahkan diri sekarang!” perintah Ken Banawa lantang.

“Omong kosong! Aku tidak pernah membunuh orang dalam hidupku tetapi merekalah yang menyerahkan diri untuk mati di tanganku,” sahut Ki Cendhala Geni dengan datar. Tidak dalam napas tersengal-sengal sebagaimana orang yang telah melakukan pekerjaan berat.

“Mereka semua bukan termasuk orang yang bodoh, Ki Cendhala Geni! Ranggawesi dan Ki Lurah Guritna telah menjadi tumbal keganasan dan keserakahanmu. Engkau berpikir bahwa engkau tidak terkalahkan. Bahkan aku mendengar engkau menyatakan diri sebagai penguasa lereng Merapi,” suara Ken Banawa tergetar hebat. Ia mengenang kematian Ranggawesi, seorang prajurit muda  penuh bakat yang bertugas di Sumur Welut. Ia juga membayangkan derita keluarga Ki Demang karena penculikan anaknya oleh Ubandhana yang merupakan pengikut Ki Cendhala Geni.

Ken Banawa bersiap dengan gerak landasan yang menjadi  ciri khasnya untuk bertahan. Tubuh yang direndahkan dengan sedikit menghadap serong ke kanan, posisi siku yang sejajar dan menutup dagunya, pedangnya terjulur berada di bagian belakang tangannya dan seolah disembunyikan di belakang punggungnya.

“Boleh jadi aku akan menyerah dan berhenti membunuh orang yang rela untuk mati, namun itu akan aku lakukan bila telah selesai menguliti kulit kepalamu dan menempatkan belulangmu di atas daun pintu.”

Ki Cendhala Geni menebar ancaman.

“Bukankah engkau harus berterima kasih kepadaku, Ken Banawa? Bahwa engkau akan menjadi ungkapan rasa terima kasih dariku. Sampai jumpa di neraka!”

“Sampai jumpa di neraka, Ki Cendhala Geni! Kepalaku akan menjadi api yang membakarmu!” Ken Banawa tak kalah garang.

Keduanya saling melompat dan menerjang, satu dentang keras benturan senjata mereka mampu kali menimbulkan puluhan bunga api. Kapak Ki Cendhala Geni tiba-tiba berpindah dari kanan ke tangan kiri dan secepat itu pula menebas menyilang, dari kanan bawah ke kiri atas sisi pertahanan Ken Banawa. Pengalaman Ken Banawa mampu menutup celah lemah itu, tubuhnya bergeser mengikuti pergerakan kapak. Satu langkah bergerak ke kiri lalu berputar cepat lalu pedangnya berayun mengancam bagian tengkuk Ki Cendhala Geni.

Related posts

Kiai Plered 63 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 80 – Randulanang

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 50

Redaksi Surabaya