Sepasang mata Empu Wisanata mencoba menembus kepekatan malam untuk mencari keberadaan para pengawal Menoreh. Lontar napas lega lancar berhamburan dari rongga dadanya sewaktu ia menangkap pergerakan lemah,s etelah memperhatikan keadaan Ki Malawi yangsepertinya tidak tertarik lagi meneruskan perkelahian, Empu Wisanata menghampiri para pengawal.
“Empu!” lemah seorang pengawal berkata. “Apakah memang siluman hutan ini terlibat dalam perkelahian itu?” Ia menunjuk Sayoga dan Ki Sarjuma.
Senyum menghias raut muka Empu Wisanata, seraya menggeleng, katanya, “Bahkan tidak ada siluman yang mendekati anak muda itu.”
Pengawal Tanah Perdikan beringsut mencoba membenahi letak tubuh masing-masing. Perawatan singkat diberikan oleh Empu Wisanata. Betapa ia menjadi terkejut karena luka-luka kecil dan memar telah memenuhi tubuh para pengawal. Dengan mata terpicing, ia berkata lirih, “Jarak mereka sebenarnya cukup jauh, tetapi lontaran tenaga dan serpihan tajam ini masih sanggup menyentuh kulit para pengawal. Tentu ini dapat terjadi ketika kekuatan yang tersimpan telah memegang kendali para petarung.”
Nyatanya Sayoga memang berkelahi seperti tidak ada lagi napas dalam sekejap mata di depan. Tekadnya telah bulat tetapi keajaiban yang terjadi memang di luar perkiraan setiap orang.
Ki Sarjuma sadar jika ia berada dalam keadaan genting. JIka ia mendekat, tubuhnya dapat berpusing terhisap kibas pedang lawannya. Namun jika ia menjauh selangkah, senjata Sayoga dan lambaran tenaga Serat Waja akan datang menghantamnya. Lebih keras dari debur ombak yang menabrak tebing karang.
Maka Ki Sarjuma kembali menerapkan tata gerak yang tidak beraturan. Ia seperti orang yang kehilangan akal. Ia menjauh, melambai, mendekat dan sekali-kali memancing Sayoga dengan gerakan-gerakan yang menghina. Namun di balik gerakan yang aneh dan jauh dari susila, ia menyiapkan pukulan jarak jauh yang sanggup membelah tubuh Sayoga jika lawannya yang muda usia itu memasuki jangkauan serangnya!
Ia dapat mengukur kekuatan yang dilepaskan oleh Sayoga. Setiap desing pedang kayunya dapat mendorong Ki Sarjuma hingga terhuyung. Tenaga hisap dan daya dorong terus mengitari Sayoga, pusaran angin ini mengganggu rencana Ki Sarjuma yang telah menghimpun tenaga pada pergelangan tangan hingga ujung jarinya. Meskipun tidak mencakup waktu yang lama, tetapi Ki Sarjuma telah bergeser letak hatinya. Ia diliputi keresahan. Gulungan pedang kayu Sayoga seperti tidak mempunyai celah untuk ditembus. Bahkan dengan cara cemerlang, Sayoga mampu menjaga jarak dengannya.
Permainan pedang Sayoga yang membawa akibat munculnya dua kekuatan yang bertolak belakang akhirnya memaksa musuhnya menjauh.
‘Apakah siluman hutan ini tidak ada yang tergerak hatinya untuk membantuku?’ hati Ki Sarjuma konyol berdesis menghibur perasaannya sendiri. Ia tersenyum sendiri lalu melirik Ki Malawai yang berjalan pelan mendekat padanya. Sejenak mereka beradu pandang dalam sekejap. ‘Apa yang tengah ia pikirkan? Ia berhenti dari perang tanding melawan orang tua itu. Bagaimana bisa terjadi?’.
Sekalipun ia berkelahi dengan tandang yang sangat hebat, pengalaman dan wawasan Sayoga masih belum cukup untuk dikatakan matang. Ia tidak mengurangi gempurannya yang datang bertubi-tubi. Sayoga mengabaikan ajaran dasar ayahnya untuk tetap menjaga keseimbangan. Sayoga berada di puncak kemampuannya dan telah melupakan segalanya. Dalam pikirannya hanya terpancang sebuah kata, berakhir. Ia memang ingin mengakhiri pertarungan ini dengan satu keadaan yang akan membuat tamat seluruhnya. Ia tidak mengerti alasan dua orang musuhnya yang tiba-tiba mengeroyoknya tanpa dalih yang jelas, dan itu menambah geram hatinya. Kedatangan Empu Wisanata dan pengawal Menoreh pun tidak membuat keadaan menjadi lebih baik menurutnya.
Menurut Sayoga, perbuatan dua orang itu seperti sebuah penghakiman tanpa perbuatan, kesimpulan tanpa pendengaran.
‘Aku tidak perlu lagi menganggap mereka ada karena aku pun telah tiada!’
Tetapi Sayoga lupa dan memang ia telah melupakan banyak perihal. Serat Waja belum secara sempurna dikuasainya!