SuaraKawan.com
Bab 8 Tanah Larangan

Tanah Larangan 6

“Bagaimana jika Ken Arok kalah dalam pertempuran ini?” bertanya seorang pengikut Ken Arok pada orang di sebelahnya.

“Kita akan bangga karena menjadi saksi pertarungan yang sebenarnya adalah wujud kekuatan para dewa,” jawab kawannya.

“Lalu kita dihukum mati oleh mereka,” kata orang pertama seraya menunjuk ke barisan pasukan Toh Kuning.

Kawannya itu tersenyum lalu berkata, ”Maka kita akan melawan.”

Orang pertama menganggukkan kepala kemudian berucap, ”Mereka bukan prajurit biasa. Tentu akan menjadi pengalaman hebat apabila kita mendapat kesempatan itu. Kesempatan yang tak terulang lagi untuk mejajagi kemampuan pasukan khusus Selakurung yang tersohor itu.”

“Diamlah!” sahut temannya sambil meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.

Sementara pasukan Toh Kuning pun diam mematung. Mereka seperti terbius dengan unjuk kekuatan dahsyat yang digelar oleh lurah mereka. Dua tangan Toh Kuning mengembang hingga terlihat seperti seekor elang yang membentangkan sayap. Pedang, keris, anak panah dan tombak pendek yang seluruhnya berjumlah lebih dari enam puluh pucuk mengitari tubuh Toh Kuning. Senjata-senjata itu melayang. Seperti ada yang menggerakkan, kemudian senjata itu berjajar teratur membentuk dinding namun tembus pandang.

Toh Kuning yang tidak ingin ada korban yang jatuh dari kedua belah pihak, lantas melesat menuju tebing cadas. Tidak terdengar bunyi ledakan saat ia menghantam dinding tebing, lalu tiba-tiba Toh Kuning bergelantung dengan bertumpu pada satu tangannya yang terbenam cukup dalam pada tebing cadas lagi kokoh. Dalam waktu itu, lingkar senjata yang mengelilingi tubuhnya seolah mengerti kemauan Toh Kuning, maka senjata-senjata itu masih tetap beredar memutari lurah prajurit pasukan khusus Selakurung.

Ken Arok terperanjat menyaksikan ilmu Toh Kuning yang memang dahsyat.

“Gandrik! Toh Kuning memang gila!” seru ken Arok dalam hatinya. Pikirnya, dalam kedudukan yang cukup jauh dari permukaan tanah, Toh Kuning mampu mengerahkan  tenaga inti mengendalikan puluhan senjata. Dan itu dilakukannya dengan memadukan kemampuannya meringankan tubuh.

Dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, tubuh Ken Arok melesat terbang mendekati Toh Kuning. Dalam waktu yang sama, ia menggerakkan kedua tangannya maka puluhan senjata yang mengikutinya, lantas meluncur deras ke arah Toh Kuning. Sedangkan Toh Kuning tanpa merubah kedudukan juga menghentakkan  ilmu melalui tangannya yang mengenggam keris, lalu senjata-senjata yang mengitarinya melesat, menerjang  Ken Arok yang tengah berdiri di sebatang dahan melintang.

Sekejap kemudian puluhan senjata itu beradu di udara.

Suara ledakan menggelegar memenuhi angkasa dan menggetarkan dataran di sepanjang lembah. Ledakan beruntun itu mampu merontokkan sejumlah bagian tebing yang keras. Batu-batu cadas berjatuhan di atas tanah.

Tanah di sekeliling mereka kembali tergoncang.

Di antara senjata-senjata yang berbenturan itu, dua batang anak panah dapat lolos dan meluncur sangat cepat menyentuh pundak Ken Arok. Penguasa baru Tumapel itu mengibaskan lengan dan berusaha menangkis dua anak panah, tetapi terlambat sehingga kedua senjata berukuran kecil itu menembus kulitnya.

Akibat benturan, senjata-senjata itu berhamburan ke segala arah. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran maha hebat itu seketika menyelamatkan diri saat senjata-senjata itu meluncur ke arah mereka. Sejumlah orang terlambat menyelamatkan diri sehingga kulit mereka tergores, sebagian lagi harus menerima tusukan beberapa pedang dan tombak.

Ketajaman senjata memang tak bermata.

Meskipun masih banyak yang selamat dari ancaman senjata yang terpental liar, tetapi mereka telah merasa bahwa tidak ada gunanya meneruskan pertempuran antar prajurit. Kebanyakan mereka telah berpikir seperti itu tanpa menunggu pemenang perang tanding,  lebih dari setengah jumlah dua pasukan telah terluka. Tak sedikit yang terbunuh.

Seorang pengikut Ken Arok yang selamat memberi tahu kawan-kawannya dengan menunjuk sebongkah batu cadas yang terbelah karena hantaman pedang yang terlempar dari ledakan! Tidak orang yang berseru  atau terpana karena keadaan yang sama juga terjadi di sekitar mereka.

Toh Kuning lantas menjejakkan kaki pada dinding tebing di dekatnya. Seketika itu ia melayang deras menuju tempat Ken Arok berdiri. Namun sebelum ia menyentuh puncak pohon, Ken Arok meloncat turun ke tanah. Toh Kuning segera mengubah haluannya sesaat setelah kakinya dapat menyentuh ranting yang dijadikannya tumpuan.

Kini keduanya telah kembali berhadapan dalam jarak kurang dari lima langkah. Pundak Ken Arok mulai menitikkan darah. Pakaiannya basah oleh keringat bercampur dengan darah.

“Ken Arok,” kata Toh Kuning dengan wajah sungguh-sungguh, ”pertarungan ini telah mencapai babak akhir. Dua anak panah adalah hukuman atas kematian Tunggul Ametung.”

“Ia pantas dihukum mati,” geram Ken Arok.

“Sekalipun ia adalah orang yang jahat tetapi kau tidak mempunyai hak untuk mengakhiri hidupnya. Kau bukan pemimpin Kediri dan bukan pula seorang prajurit pada saat kau lakukan itu,” sahut Toh Kuning.

“Setiap orang Tumapel mempunyai hak untuk keadilan. Dan aku lakukan itu untuk memperbaiki Tumapel,” suara Ken Arok sedikit naik.

“Keadilan itu tidak berarti menghukum mati.” Toh Kuning maju selangkah.

“Aku tidak peduli!” sergah Ken Arok.

Sorot mata Toh Kuning tajam menatap wajah Ken Arok kemudian ia menarik napas dalam-dalam.

“Hukuman kedua yang aku berikan padamu adalah melarangmu memasuki kotaraja,” berkata Toh Kuning kemudian.

“Baiklah.” Ken Arok mengangkat kedua tangannya di depan dada sambil berkata, ”Apapun yang kau katakan aku dapat menerimanya karena aku percaya padamu.” Sambil menyeringai menahan sakit akibat tusukan anak panah, Ken Arok memutar tubuhnya lalu memeriksa anak buahnya.

Demikian juga yang dilakukan Toh Kuning. Ia kemudian memerintahkan pasukannya untuk merawat orang-orang yang terluka meskipun itu dari kubu Ken Arok. Lantas kedua kubu itu bekerja sama untuk merawat mereka yang cidera.

“Adakah yang tahu arah perginya Ki Barungga?” teriakan Ken Arok ditujukan pada anak buahnya yang sedang dirawat oleh pasukan Toh Kuning.

Seseorang kemudian menunjuk pada satu arah. Kotaraja.

“Kalian tetap di sini,” perintah Ken Arok, ”aku akan menyusulnya.”

Namun sebelum ia melangkahkan kaki, Toh Kuning berseru, ”Aku telah melarangmu memasuki kotaraja, Ken Arok.”

Related posts

Sampai Jumpa, Ken Arok! 19

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 86 – Randulanang

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 11

Ki Banjar Asman