SuaraKawan.com
Bab 1 Senja Langit Mataram

Senja Langit Mataram 6

“Oh, terima kasih. Rasanya badanku juga sudah terasa lengket oleh keringat seharian.”

“Marilah, Tuan. Aku akan mengantarkannya. Dan setelahnya Tuan-tuan diminta untuk langsung ke ruang  pendapa utama bila Tuan sekalian berkehendak menghadap.”

“O, jadi Ki Gede sudah berkenan menerima kami?”

“Ki Gede sudah keluar sanggar, Tuan.”

“Baiklah Tole, marilah.” Keempat murid Randu Wangi bergegas menuju pakiwan mengikuti langkah anak itu.

Kesejukan air seketika seperti mampu membasuh perasaan letih yang sekian lama mencengkram urat-urat tubuh murid-murid perguruan Randu Wangi. Berhari-hari perjalanan mereka tanpa satu perhentian yang layak, yang mana mereka harus menyandarkan tubuh mereka di mana pun mereka melepaskan lelah, bahkan kadang harus tidur di atas pepohonan demi menghindari serangan-serangan binatang buas yang tidak mereka perkirakan. Kini keempatnya telah sampai pada tujuan mereka sesuai petunjuk Kiai Rangsang Wangi, guru mereka, sebelum melanjutkan tujuan yang menjadi maksud utamanya. Maka selepas membersihkan diri, keempat murid perguruan Randu Wangi bergegas menuju ruang pendapa utama seperti yang disampaikan JakaTole – si bocah penggembala yang ternyata salah seorang cantrik di Padepokan Sekar Jagad tersebut.

Sampai akhirnya mereka pun telah terlihat berada di dalam sebuah ruang pendapa utama. Ruang itu ternyata telah cukup banyak orang-orang yang duduk melingkar dengan alas tikar pandan. Pada ujung dinding dalam pendapa itu telah tampak seseorang dengan raut wajah menunjukkan masa-masa senjanya. Kulit wajahnya yang mulai banyak tergaris keriput telah banyak mewarnai sisi-sisi kelopak mata juga bagian wajah lain dengan kumis putihnya yang sedikt terjuntai.  Sesekali orang tua itu membelai ibulu janggut putihnya yang cukup panjang sembari manggut-manggut mengejawantahkan perasaan hatinya yang tak satu pun orang mengetahuinya.

“Jadi orang tua inilah Ki Gede Sekar Jagad?” desis Jaladara dalam hatinya.

Duduk di kanan dan kiri orang tua itu beberapa orang yang usianya sekitar setengah abad atau lebih.  Terlihat pula salah satunya pernah dilihat oleh Jaladara dan tiga saudaranya. Orang itu bukan lain Ki Resa Demung yang siang itu memberikan bimbingan olah kanuragan pada puluhan anggota padepokan. Tidak ketinggalan pula tampak beberapa pemuda di antaranya Wirantaka, juga Tanjung serta beberapa pemuda para murid utama padepokan itu.

“Jadi kalian ini murid-murid Perguruan Randuwangi?” Suara lembut berisi Ki Gede Sekar Jagad terdengar memecah keheningan suasana pendapa.

Keempat pemuda itu sedikit terkejut. Namun dengan serta merta Jaladara menjawab, “Sebenarnyalah Ki Gede, kami anak anak murid perguruan Randu Wangi dari Alas Roban”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku sangat mengenal perguruan Randu Wangi, karena itu aku akan dapat mengenali itu jika saja kalian memperlihatkan unsur gerak ilmu kanuragan kalian. Akan tetapi dalam pendapa ini tentu tidak mungkin.”

“Jika Ki Gede berkehendak, kami akan lakukan di halaman depan pendapa ini agar Ki Gede melihatnya,”   sahut Jaladara berusaha meyakinkan orang-orang Sekar Jagad tersebut.

Orang tua itu menarik nafasnya panjang. “Tidak perlu, Ngger..” kata Ki Gede Sekar Jagad yang sebenarnya sudah mengetahui melalu panggraitanya yang sangat tajam, bahwa memang keempat anak muda itu murid sahabatnya Ki Rangsang Wangi. Lalu lanjutnya,  “Adakah sesuatu yang harus aku ketahui sehingga gurumu menyuruh datang kemari?”

“Demikianlah Ki Gede, namun sebelumnya perkenankan kami menyerahkan secarik tulisan ini,” kata Jaladara seraya menyerahkan bumbung kecil yang berisi beberapa tulisan pada daun tal.

Orang tua itu kemudian membacanya. Namun tiba-tiba seisi pendapa itu menjadi terkejut saat Ki Gede Sekar Jagad mendadak tertawa cukup kencang.

“Hahahahahaha, Guru kalian ini aneh atau mungkin sudah mulai pikun,” kata Ki Gede Sekar Jagad yang masih dalam senyumnya.

Jaladara dan ketiga saudaranya menjadi heran. Ada pertanyaan bermacam-macam dalam hati mereka tentang perubahan sikap orang tua itu. Namun keempat pemuda itu tak satupun bersuara. Sampai pada akhirnya kembali Ki Gede Sekar Jagad berucap, “Jadi kalian akan mengikuti pendadaran untuk menjadi prajurit di Mataram?”

“Demikianlah Ki Gede tapi bukan aku. Melainkan ketiga saudaraku itu,” jawab Jaladara. “Aku hanya mengantarkan mereka.”

“Karena tugasmu adalah meneruskan kelangsungan perguruan Randu Wangi?” sahut Ki Gede menebak isi hati Jaladara.

“Kami hanya mengikuti petunjuk guru,” jawab Jaladara singkat.

Related posts

Sabuk Inten 19

Ki Banjar Asman

Wedhus Gembel 9

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 59

Ki Banjar Asman