SuaraKawan.com
Bab 1 Senja Langit Mataram

Senja Langit Mataram 3

Tapi tiba-tiba Thole kembali berbicara, “Kakang, apakah Kakang berdua telah berpapasan dengan empat orang penunggang kuda?”

Wirantaka, juga Tanjung sama-sama mengerutkan wajahmendengar ucapan saudara muda mereka itu. “Ya, kami berpapasan dengan mereka di ujung jalan bulak itu,” jawab Wirantaka.

“Kenapa, Le? Ada apa dengan orang-orang itu?” sela Tanjung.

“Mereka sepertinya orang-orang perguruan yang entah dari mana datangnya,” jawab Thole.

“Lalu kenapa dengan mereka?” sergah Wirantaka.

“Mereka mencari tahu di mana adanya padepokan Sekar Jagad,” ucap Thole.

“Bagaimana kau tahu?”

“Ya, Kakang Wira, karena mereka bertanya padaku.”

“Lalu apa yang kau katakan?” sahut Tanjung.

“Mereka sepertinya tidak punya niat buruk, Kakang.  Karena itu aku memberitahu pada mereka.”

“Ceroboh. Bagaimana kau tahu mereka orang-orang baik, he?“ bentak Tanjung kemudian, “bagaimana jika mereka membuat keributan di perguruan kita?!”

“Tapi aku merasakan tidak ada hawa kejahatan pada orang-orang itu, Kakang.”

“Bodoh kau,” geram Tanjung kemudian berpaling ke arah Wirantaka, saudara tuanya, “Kakang, sebaiknya kita segera kembali,  aku khawatir akan terjadi sesuatu di padepokan”

“Tenanglah, Adi Tanjung,  kita memang harus segera kembali ke padepokan dan mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu hal yang kita cemaskan.”  Wirantaka kemudian berkata kepada saudaranya yang gemar menggembala itu,  “Thole,  lain kali kau harus hati-hati dalam menilai seseorang,  dan jangan semata-mata berdasarkan perasaanmu saja”

Anak penggembala itu tidak menjawabnya, namun mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba memahami apa yang diucapkan saudara tuanya itu.

“Baiklah. Kami akan kembali,  mudah-mudahan tidak ada terjadi hal yang tidak kita inginkan bersama. Dan ingat,  sekarang juga kau pun harus kembali ke padepokan. Itu yang guru pesankan kepadaku.”

“Baiklah, Kakang,” sahut Thole.

Kedua orang murid padepokan Sekar Jagad itupun memacu kuda-kuda mereka menyusul arah rombongan orang-orang perguruan yang belum dikenalnya tersebut. Debu pun terlihat kembali mengepul di antara laju kuda meski tanah di jalan itu belum sepenuhnya kering di pagi yang mulai merangkak naik.

Anak gembala yang sebenarnya juga merupakan salah seorang penghuni padepokan Sekar Jagad itu hanya bisa melihat kedua saudaranya memacu kuda mereka.  Sesekali terlihat anak itu menarik nafasnya panjang. “Apakah salah jika memandang sisi kehidupan ini dengan mengedepankan prasangka baik?  Sekalipun baru pertama kali melihatnya?” desis anak penggembala itu dalam hatinya, “entahlah, mudah-mudahan orang-orang itu tidak membawa niat jahat seperti apa yang ada dalam panggraita kakang Warantaka dan kakang Tanjung”

Anak itu terlihat memejamkan matanya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya seperti hendak menghempaskan berbagai pertanyaan yang mengumpal dalam benaknya, kemudian berjalan mendekati domba-domba piaraanya yang bergerombol di sisi gumuk kecil terhampar di tempat itu. Dengan suaranya yang khas, bibirnyapun terdengar bersuara seperti memanggil binatang-binatang piaraan itu. Dan bagaikan paham domba-domba pun berjalan mengikuti kehendak anak itu. Anak itu mengangkat bambu kecil di tangannya lalu domba-domba berjalan beriringan mengikuti arah  langkah anak itu menuju Padepokan Sekar Jagad.

Related posts

Kiai Plered 34 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Tanah Larangan 5

Ki Banjar Asman

Sampai Jumpa, Ken Arok! 10

Ki Banjar Asman