“Kau dapat dengan mudah menyingkirkan mereka,” orang kurus itu membantah.
“Itu menurut dugaanmu dan aku dapat pastikan engkau telah berpikir salah. Ki Sanak, tanpa rencana yang masak maka kau akan kehillangan anak buahmu,” potong Toh Kuning yang kemudian menebar mata berkeliling. Sedikit lantang ia berkata, ”Kita tidak dapat menunggu Ken Arok. Ia masih terlalu jauh untuk tiba di tempat ini. Oleh karena itu, aku ingin katakan bahwa sebaiknya kita harus bergeser dari tempat semula.
“Kalian tahu itu? Apabila pengawal-pengawal Mahendra mempunyai kemampuan di atas prajurit Kediri, maka kalian akan habis ketika Ken Arok datang membantu kita.”
Tidak ada tanggapan dari kawanan yang sebenarnya mempunyai kecenderungan untuk mengikuti arahan Toh Kuning, namun rasa segan pada orang bertubuh kurus itu telah membuat mereka bungkam.
“Satu serangan mematikan harus dapat kita lakukan. Lebih cepat kalian menerima gagasanku, aku bisa katakan jika kalian tidak akan terkejar oleh prajurit-prajurit ronda. Orang-orang Kediri sudah tentu akan mencari kawan-kawannya yang hilang,” Toh Kuning menambahkan.
Orang bertubuh kurus itu tampak berpikir keras meskipun ia sendiri belum mengerti tujuan Toh Kuning yang mengubah rencana sebelumnya. “Baiklah. Aku perintahkan anak buahku mengikutimu. Dan kau harus menjaga mereka untuk tetap hidup,” kata orang kurus sambil manggut-manggut.
Dua orang anak buahnya kemudian menerima petunjuk Toh Kuning lalu mereka menyebar memberi tahu rekan-rekannya.
Sementara itu rombongan Mahendra telah berjarak belasan langkah dari tikungan yang lebar.
Ternyata keadaan medan yang dipilih oleh Toh Kuning memang memberikan keuntungan pada pengikut Ki Ranu Welang. Dari tempat sedikit lebih tinggi, mereka dapat melihat dengan leluasa rombongan Mahendra mulai mendekati tikungan. Sesaat lagi rombongan itu akan berada di tengah-tengah tikungan. Mereka tidak akan dapat melarikan diri dengan mudah karena semak-semak tinggi menjadi batas bagi mereka. Anak buah Ranu Welang yang dipimpin Toh Kuning akan mudah menumbangkan setiap orang yang mencoba menerobos semak-semak.
Di ujung depan tikungan, Toh Kuning telah bersiap dengan keris terhunus bersama orang bertubuh kurus. Sementara bagian belakang, dari arah mereka memasuki tikungan, telah bersiap orang-orang dengan anak panah yang siap dilontarkan.
Toh Kuning tiba-tiba melompat jungkir balik melayang di udara melewati bebatuan yang membatasi tikungan. Dengan gagah ia berdiri menghadang Mahendra yang berada di atas punggung kuda dengan pakaian seperti raja. Sontak para pengikut Mahendra berteriak-teriak saling mengingatkan agar siap untuk bertempur.
Saudara seperguruan Ken Arok ini menggoyangkan tangan untuk menyuruh orang-orang Mahendra agar tetap diam. Ia berkata lantang, ”Aku lebih suka jika kalian mau meninggalkan semua emas dan perak. Kalian dapat melewati jalan ini dengan nyawa tetap berada dalam raga kalian.”
Sedikit perubahan terlihat menjalar di bagian wajah Mahendra, sejenak kemudian ia memalingkan muka untuk melihat barisan di belakangnya. Sekilas penilaian telah ia lakukan dan Mahendra dapat melihat bahwa kemungkinannya untuk berbalik arah telah tertutup rapat.Tetapi Mahendra mempunyai keyakinan ketika ia melihat pengikutnya telah menghunus senjata.
Para pengikut Mahendra adalah sekelompok orang dari beberapa padepokan sehingga kemampuan mereka untuk mempertahankan diri dan hasil perdagangannya tentu dapat diandalkan.
“Dan aku lebih suka jika menyingkir dari jalanan. Kau tentu tidak akan suka, lalu membenci dirimu sendiri sepanjang hidupmu saat kau melihat ini,” sahut Mahendra sambil memperlihatkan sepotong emas yang berbentuk lingkaran, yang mempunyai ciri tertentu, dan hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan istana.
Toh Kuning menggelengkan kepala, katanya, ”Nah, berikan itu padaku!” Ia bergeser setapak maju lalu berkata lagi, ”Setiap pedagang yang melewati Alas Kawitan telah aku wajibkan untuk meninggalkan emas atau benda berharga lainnya sebagai hadiah bagiku. Karena itu kau harus tahu bahwa Alas Kawitan telah berada dalam kekuasaanku. Alas Kawitan bukan wilayah kekuasaan Kediri. Aku adalah raja di Alas Kawitan.”
Orang-orang Mahendra berseru kaget lalu menertawakan ucapan Toh Kuning yang mereka anggap sebagai perkataan orang gila. Bahkan para pengikut Ki Ranu Welang juga terbahak-bahak mendengar celoteh Toh Kuning.