SuaraKawan.com
Bab 1 Bulan Telanjang

Bulan Telanjang 10

Aku raih punggung tangan ibu, lalu keluar menemui utusan ayah. Seperti itulah sikapku setiap kali orang asing bermalam di rumahku. Mereka akan berkisah mengenai bukit-bukit di luar Kalingan. Mereka akan bercerita tentang kereta-kereta kayu yang mengapung di atas air. Mereka akan mengungkapkan perasaan indah tentang kuil-kuil pemujaan dan bangunan suci lainnya. Mereka akan menerangkan perbedaan mata dan warna kulit dengan orang-orang Kalingan bila berhubungan dengan orang-orang seberang lautan.

“Apakah aku dapat bepergian jauh seperti kalian?”

“Ya.”

“Apa aku dapat bermalam di tepi hutan atau di tengah padang?”

“Sekehendak Sang Hyang.”

“Hmm.” Aku enggan untuk bertanya lagi. Jawaban mereka sudah cukup buatku untuk menghadirkan khayalan serasa nyata.

Kami bercengkerama ringan. Membahas banyak hal tentang kotaraja. Namun aku lebih banyak mendengarkan. Bagaimana aku dapat mengatakan sesuatu tentang kotaraja sedangkan gardu perbatasan pun aku belum melihatnya?

Kelam bergeser pelan. Ia meraih pertengahan malam dengan caranya sendiri. Ibu memanggilku.

“Baiklah, Paman sekalian. Tiba waktuku untuk meluruskan tulang punggung,” ucapku sebagai izin untuk undur diri dari kehangatan yang telah meliputi kami semua.

Dua utusan ayahku beranjak bangkit. Mereka membungkukkan badan sedikit di depanku. Sebenarnya aku jengah dengan perlakuan itu. Aku selalu berpikir bahwa tidak ada beda di antara aku dan orang-orang yang lain. Namun, Han Rudhapaksa dan ibu mengatakan perbedaan itu ada agar kehidupan tetap berputar. Aku tidak mengerti maksud beliau berdua, tapi aku pikir itu sangat baik.

Demikianlah aku memasuki bilik dan malam berlalu tanpa terasa

“Siapakah Poh Sangkhara itu?” aku bertanya dengan riak besar dalam hatiku.

“Ia bukan seorang pangeran. Putra dari Mapanji Kudamerti,” jawab ibuku tenang.

“Siapa lagi lelaki yang baru ibu sebut namanya?”

“Ia bukan seorang penguasa seperti ayahmu. Mapanji Kudamerti adalah seorang yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh sedikit di bawah raja.”

“Lalu besok pagi aku akan hidup bersama orang-orang asing?”

“Mereka bukan orang asing.”

“Aku tidak mengenal mereka, begitu pula mereka. Bukankah itu berarti kami sama-sama menjadi asing bagi yang lain?”

Ibuku tersenyum. “Untuk saat ini, engkau mengatakan kebenaran. Namun, perjalananmu akan membuat segalanya berubah.”

“Perjalanan?”

Ibu mengangguk. “Besok pagi, sebelum matahari benar-benar penuh bersinar, engkau dan ibu akan pergi ke kotaraja.”

Aku tidak tahu, apakah harus gembira atau susah? Sungguh! Gembira menjadi hal lain karena ramai orang mengatakan tentang keindahan dan kemegahan kotaraja. Mangkuk, gelas, tadah pinang dan banyak benda lain yang terbuat dari emas. Bahkan seseorang di Kalingan pernah berkisah bahwa ia pernah melihat daun pintu yang berhias emas. Aku pikir ia membual karena aku kira hanya raja yang dapat mempunyai itu. Tetapi kakekku membenarkan kisah itu. Aku hampir tidak dapat percaya tetapi ucapan kakekku adalah kepastian. Han Rudhapaksa tidak pernah berbohong padaku.

Susah menjadi keadaan yang berbeda karena aku akan bertemu dengan ayahku. Kerap dan setiap hari adalah keniscayaan karena aku akan berada di dalam satu pekarangan yang sama dengan beliau. Menyebalkan! Aku bayangkan tidak adanya tegur sapa dengan ayah seperti yang biasa terjadi ketika beliau mengunjungi kami di Kalingan. Aku tidak berani menatap wajah ibu. Sungguh. Aku tengah kalut dan larut dalam kesusahan. Bagaimana menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang membuatku jengah? Bagaimana aku dapat menerima seorang pelayan dibunuh lalu dibuang jika tertangkap basah mencuri? Bagaimana aku dapat duduk bersanding Poh Sangakhara? Apakah ia adalah lelaki yang bertubuh lengkap atau ia mirip dengan lelaki terkutuk yang pernah menjadi mimpi buruk Kalingan?

Sungguh, ini bukan perkara mudah bagiku yang tidak pernah melihat darah mengalir lambat di atas tanah.

“Ibu menganggapmu setuju dengan kepergian besok.” Istri ayahku itu beranjak meninggalkanku seorang diri di dalam bilik.

Dua pelayan rumah segera masuk. Ia membawa air hangat, baki-baki berisi makanan. Dua pelayan perempuan yang telah belasan tahun menjadi temanku.

“Ah, kalian selalu merepotkanku setiap pagi.”

“Tidak, Sang Hyang. Ini adalah kesenangan kami berdua bila melihat Anda berendam lalu menikmati makanan pagi. Begitu manis dan penuh pesona.”

Aku memandang wajah mereka bergantian. Dan, aku tahu bahwa mereka tidak berbohong. Baiklah, aku akan jalani kegiatan pagi yang membosankan. Berendam setengah dada di dalam air yang ditampung dalam kolam berukuran panjang dan lebar masing-masing dua langkah. Bebatuan yang menempel sebagai dinding pemisah dari tanah cukup membantu setiap kali aku ingin memijat bagian punggungku.

Aku lepaskan satu demi satu hingga tak lagi ada sehelai benang yang menempel pada kulitku. Sejenak aku melihat kemaluanku. Ternyata masih jarang bertumbuh rambut. Kemudian dengan menyisakan buah dada di permukaan kolam, aku membaca mantra puja yang diajarkan oleh perempuan berdada besar yang menjadi teman berendamku ketika purnama di waktu lalu.

Aku bertapa dalam benakku.

Related posts

Malam Penumpasan 1

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 49

Redaksi Surabaya

Puisi : Tarian Liar Keheningan

Redaksi Surabaya