Dengan bayangan itu dalam pikirannya, Kidang Tlangkas mengerahkan seluruh kekuatannya. Ia menggali kemampuannya hingga lapisan paling dasar. “Akar adalah memberi, bukan menerima. Begitu pula keadaanku saat ini. Aku akan memberi pengabdian terbaik bagi Pangeran Parikesit,” hati Kidang Tlangkas mengumandangkan tekad.
Lantas semakin jelas terlihat bahwa Kidang Tlangkas bukan prajurit sembarangan. Tataran ilmunya melampaui senapati terendah dalam keprajuritan Pajang. Olah geraknya, pancaran tenaga intinya dan kecepatan pemuda ini memperlihatkan buah dari didikan yang luar biasa. Ketekunan yang tidak dimiliki oleh pemuda lain di desanya menjadikan Kidang Tlangkas mampu berdiri menjulang.
Walau demikian, yang menjadi lawannya adalah Ki Tumenggung Suradilaga. Utusan terpercaya Raden Trenggana. Dengan wawasan serta perjalanan panjang yang telah ditempuhnya dalam olah kanuragan, Ki Suradilaga dapat mengimbangi setiap peningkatan yang dikukan Kidang Tlangkas.
Pertarungan keduanya semakin sengit dan menggiriskan.
Hiruk pikuk suara dedaunan yang bergesek dan derak pohon tumbang terdengar dari arah Ki Sedayu Tawang yang berhadapan dengan Ki Rangga Sembaga. Tidak seperti perkelahian yang terjadi di dekat mereka yang meningkat perlahan, pertarungan kedua orang berkepandaian tinggi ini sangat tajam menuju puncak. Kegeraman Ki Sembaga begitu nyata tertuang dalam lembaran tenaga intiyang telah dialirkannya di sekujur tubuhnya. Setiap sambaran lengannya selalu diikuti desir angin yang tajam. Desir angin yang sanggup memotong setiap ranting yang berada dalam jangkauannya. Tentu bukan perkelahian uji coba karena ranting-ranting itu berjarak lima tombak dari lingkar luar perkelahian mereka berdua.
Dua batas telah terbentuk dan itu tidak lepas dari pengamatan seorang lelaki gagah berusia empat puluhan tahun. Ia mengamati dari dahan dengan ketinggian yang cukup sambil menggantungkan kaki di udara. “Tentu saja ia dapat memperkuat kedudukan prajuritku. Namun apakah paman Parikesit akan melepaskannya? Itu satu pertanyaan yang butuh jawaban. Ketangkasannya memainkan tangan kosong cukup mendebarkan. Ia tidak layak berada di halaman belakang istana Pajang. Apakah kakang Hadiwijaya tidak melihatnya atau tidak mendapatkan laporan tentang anak itu? Hmm, mungkin juga paman Parikesit tidak menghendaki pergeseran tempat bagi Kidang Tlangkas,” lelaki itu bertanya jawab dalam pikirannya.
Ia melihat kedahsyatan pertarungan Ki Sedayu Tawang dan Ki Sembaga tetapi seolah tidak memberi perhatian lebih. “Aku pernah melihat prajurit itu berlatih bersama Pangeran Benawa. Oh ya, tentu saja, ananda Pangeran Benawa akan terbawa dengan ketangkasan si prajurit. Baiklah, aku akan meminta Ki Buyut untuk memberi lebih banyak kesempatan ananda Pangeran latihan bersama prajurit itu,” tutup lelaki itu dalam hatinya. Ia memutuskan untuk melerai dua perkelahian sengit. Dan Kidang Tlangkas adalah yang pertama untuk diamankan. Lelaki itu berencana akan mendampingkannya sebagai teman berlatih Pangeran Benawa.
Lelaki gagah yang berada di dahan itu adalah Arya Penangsang.
Suitan nyaring menghempas udara di ambang perbatasan pedukuhan Sambi Sari. Aliran tenaga yang terdorong keluar melalui suitan itu benar-benar mengejutkan empat orang yang terlibat perkelahian sengit. Bahkan suara yang melengking dengan nada tinggi itu mampu menusuk setiap gendang telinga mereka. Bila kemampuan mereka berada selapis di bawah yang ada sekarang, boleh jadi telinga mereka akan mengeluarkan darah. Arya Penangsang bersungguh-sungguh untuk menjauhkan mereka dari pusat lingkaran perkelahian.
Sementara tiga orang masih mampu berdiri agar kedudukan mereka tetap terjaga, Kidang Tlangkas tidak mampu berbuat seperti itu. Ia terjengkang tiga langkah surut. Namun, prajurit itu benar-benar menyimpan keuletan yang luar biasa. Segera ia bangkit dan berpaling pada sumber lengkingan. Sikap Kidang Tlangkas tidak berubah. Ia memandang bayangan yang berkelebat cepat itu dengan penuh semangat.
Sangat mengejutkan bila ada orang selain Kanjeng Adipati yang mampu berbuat demikian, batin Kidang Tlangkas. Ia menyambut gembira, barangkali ia tersenyum lebar bilamana harus mati di tangan pendatang yang meluncur seringan bayangan.
“Selamat malam,” sapa Arya Penangsang ketika kakinya menjejak tanah.
Empat orang yang segera bergerak melingkarinya dalam jarak terukur pun terkejut! Mereka tidak menyangka jika lengking yang mengerikan itu keluar dari siulan Arya Pengnsang. Untuk sejumlah waktu yang dibutuhkan menarik napas panjang, mereka berdiri membeku. Terutama Ki Sembaga dan Ki Suradilaga yang berpucat pasi ketika melihat wajah yang menebar keberanian berada di depan mata.
Senyap.
Keadaan itu berlangsung untuk beberapa saat.
Tak terkecuali Kidang Tlangkas yang begitu sulit menguasai diri. Kedua lututnya gemetar. Itu sangat berbalik arah jika dibandingkan dengan keberaniannya menantang dua utusan Adipati Hadiwijaya.