Pertempuran Hari Pertama 7

oleh

Jerit tertahan terdengar ketika ujung cambuk membelitnya lalu melemparnya dari punggung gajah. Sekali lagi sebuah keluhan terdengar ketika Mpu Drana  menyengatkan ujung cambuknya pada seseorang yang memegang busur di atas punggung gajah. Berturut-turut cambuk Mpu Drana menyambar-nyambar dengan diiringi suara ledakan yang menggetarkan dada yang kemudian satu demi satu penunggang gajah terlempar.

Hingga kemudian, seorang serati memerintahkan gajahnya untuk maju dan belalai gajahnya menebas kuda Mpu Drana. Mpu Drana menghentakkan kudanya ke samping dan ketika cambuknya memutar tiba-tiba terdengar lengking orang kesakitan. Pada mulanya serati itu menyadari serangan Mpu Drana ketika melihat ujung cambuk itu menyasar kakinya. Namun ia terlambat menghindari karena ujung cambuk itu mematuk sangat cepat. Pergelangan kakinya yang terbelit ujung cambuk telah menjadi gangguan baginya, maka, terpaksa atau tidaj, serati harus berupaya melepaskan kakinya dari belitan cambuk atau terjatuh menyusul teman-temannya yang lain.

Tetapi serati itu sepertinya seorang yang keras kepala. Ia justru berusaha mengarahkan gajah untuk mengejar Mpu Drana tetapi usahanya menjadi sia-sia. Menyadari serati itu tak segera terseret jatuh maka seorang pengiring Mpu Drana yang mengetahui itu segera melontarkan tombak.

Serati itu terjengkang dengan tombak menancap pada tubuhnya.\

Ketika tidak ada orang yang tersisa di atas punggung gajah, Mpu Drana segera berkuda di samping gajah dan melayang ringan ke atas punggung gajah untuk mengendalikannya.

Barisan depan pasukan Ki Sentot mulai terkoyak oleh derap gajah yang dikendalikan oleh Mpu Drana. Gajah berbalik arah, melibas pasukan yang berada di dua sisinya, kemudian menabrakkan diri pada gajah tanpa penunggang yang tak jauh darinya. Beberapa anak panah melesat ke arah Mpu Drana tetapi putaran cambuknya seperti dinding tebal yang mebungkus dirinya. Setiap anak panah yang terlontar luruh ketika membentur dinding cambuk.

Seorang pemimpin pasukan, Ki Lurah Jayapawira, yang menempati sayap kanan pasukan Sumur Welut berusaha mendesak lambung kiri pasukan Ki Sentot yang dipimpin Gajah Praba. Senapati yang berusia cukup muda ini terlihat tenang dan mapan dalam memimpin pasukannya. Gajah Praba sama sekali tidak terpengaruh dengan desakan Ki Jayapawira yang telah mengerahkan seluruh kekuatan prajuritnya. Justru yang terjadi adalah prajurit Gajah Praba mulai menyusup menembus benteng pertahanan senapati lanjut usia itu. Sebagai orang yang telah melewati banyak pertempuran, Ki Lurah Jayapawira merasa cemas dengan perkembangan yang terjadi dalam pasukannya.

“Anak muda itu sangat tenang dan mapan. Aku akan menghampirinya, dengan begitu ia akan memecah perhatian. Jika ini berhasil, aku harap kedudukan menjadi seimbang,” kata Ki Lurah Jayapawira dalam hati.

Kemudian ia berkata, ” Hey! Kemarilah. Kamu akan menemukan lawan sepadan disini. Orang tua yang masih ingin melihat matahari esok.”

Gajah Praba pun melihat seorang lelaki setengah baya yang memutar senjata berupa tombak pendek tengah menyibak kerumunan prajurit yang sedang bertempur. Beberapa prajuritnya terlempar ketika Jayapawira mulai menyibak dan memutar senjatanya dengan dahsyat.

“Orang tua tak tahu diri. Setiap nyawa prajuritku harus dibayar olehnya,” desis Gajah Praba.

Percikan darah yang tampak pada raut muka Gajah Praba membuatnya terlihat bengis. Sekalipun begitu, Gajah Praba tidak menunjukkan luapan perasaannya melihat anak buahnya terlempar dan tak berkutik oleh sabetan tombak Jayapawira. Gajah Praba telah berada dalam keputusannya. Ia tak ingin prajuritnya menderita lebih lama karena putaran senjata senapati yang berada di sebelah depannya, Gajah Praba melayang melewati bahu-bahu prajurit yang bertempur di hadapannya.

Dari jarak sekitar tiga tombak, tubuh Gajah Praba meluncur cepat dan tangannya mengayun-ayunkan tombak yang sedikit lebih panjang dari senjata lawannya. Jayapawira yang melihat bayangan melesat cepat menuju ke arahnya segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dalam sekejap mata, ujung tombak Gajah Praba meluncur deras ke bagian lehernya, dengan sigap Jayapawira menggeser tubuh ke samping lalu memukul lengan Gajah Praba. Gajah Praba berlekas menarik lengan, lalu membalasnya dengan tebasan mendatar ke arah dada Jayapawira.

Sekejap kemudian, mereka terlibat dalam perkelahian sengit. Kedua tombak berayun-ayun, berputaran cepat dan saling menjulur serta saling menolak. Sesekali kedua senjata itu berbenturan keras hingga keduanya merasakan tangan masing-masing bergetar hebat.

No More Posts Available.

No more pages to load.