SuaraKawan.com
Bab 14 Pertempuran Hari Pertama

Pertempuran Hari Pertama 12

”Tidak semudah itu, Ki Rangga.” Ia memijat dua keningnya, sementara wajah Lembu Daksa semakin kelam tertutup mendung hitam. Permasalahan yang ia hadapi membuat sesak dalam dadanya. Kecemerlangan nalar dan ketajaman pendapatnya seolah menemui jalan buntu. Lembu Daksa terbayang raut wajah ayah dan ibunya. Masa-masa saat ia bermain dengan ayahnya dan kenangan bersama ibunya melintas sangat jelas dalam benaknya. Berulang kali terdengar napas panjang Lembu Daksa yang seperti sedang menyingkirkan sebongkah batu yang menyesakkan dadanya.

“Entahlah,” Lembu Daksa bergumam lirih. ”Aku tidak mengerti akhir dari pertempuran esok hari.”

“Lembu Daksa.” Tangan Bondan menepuk bahu lelaki muda di depannya. ”Aku kira setiap keputusan dan perbuatan yang kita lakukan di masa silam selalu mempunyai kebenaran. Hanya saja, kebenaran itu sendiri akhirnya dapat berubah menjadi kesalahan di masa berikutnya.”

Lembu Daksa menatapnya tajam. Lalu bertanya, ”Apakah itu berarti kau katakan aku bersalah dengan menjadi seorang prajurit?”

“Bukan, bukan seperti itu,” jawab Bondan. “Bahkan aku pikir tidak ada yang dapat disalahkan dalam permasalahan yang kau hadapi sekarang.”

Setelah menghela napas panjang, Lembu Daksa berkata, ”Aku mengerti apabila kau sangat ingin memahami perasaanku sekarang, Bondan. Tetapi kau tidak berada dalam keadaan seperti ini.” Ia diam sejenak, kemudian lanjutnya, ”Aku kira selalu ada tempat atau seseorang untuk disalahkan.”

“Kau berkata benar bahwa aku tidak pernah mengalami kesulitan yang sama persis denganmu sekarang,” kata Bondan. ”Namun itu tidak berarti kau adalah orang yang bersalah. Setiap keputusan kita di masa lalu akan mempunyai hubungan, apalagi sekarang ini engkau adalah seorang prajurit. Maka dengan begitu, setiap keputusan raja atau seorang lurah akan membawa pengaruh terhadapmu. Walaupun kita tidak dapat mengatakan seorang pemimpin menjadi bersalah karena keputusannya, tetapi semua akibat dari keputusannya akan menjadi rintangan tersendiri bagi kita semua.”

“Baiklah,” kata Lembu Daksa. ”Aku tidak ingin berbantahan dengan kalian berdua. Namun apa yang harus aku lakukan esok hari?”

Bondan memandang Gumilang cukup lama. Sementara itu Lembu Daksa duduk dengan kepala menunduk dalam-dalam.

“Lembu Daksa,” berkata Gumilang kemudian, ”aku hanya membayangkan apabila sedang berada dalam kedudukanmu sekarang. Dan aku telah memutuskan, aku akan mengundurkan diri sebagai prajurit kemudian bergabung bersama pihak yang berseberangan.”

“Meskipun perbuatan itu merupakan suatu pengkhianatan?” Lembu Daksa bertanya.

Gumilang menjawab dengan anggukkan kepala.

“Aku dapat mengerti, Ki Rangga,” kata Lembu Daksa. “Tetapi sulit bagiku untuk mengambil keputusan seperti itu.”

“Aku akan tetap turun berperang namun aku akan memilih lawan,” terdengar Bondan memberi pendapat.

“Lalu apa yang akan terjadi apabila lawan yang tersisa adalah orang tua kandungmu sendiri?” bertanya Lembu Daksa dengan sedikit sesak dalam dadanya.

“Kesetiaan pada raja sebenarnya berbeda tingkatan dengan bakti pada orang tua,” jawab Bondan kemudian. “Aku tidak membela seorang raja apabila pembelaanku hanya menjadikan orang tuaku menderita. Tetapi aku juga tidak akan membela orang tuaku apabila pembelaan itu tidak mencakup keseluruhan masalah.”

“Lalu?” singkat Lembu Daksa bertanya.

“Aku akan berpegang pada kesepakatan yang telah ada.” Bondan tidak menjelaskan lebih jauh.

Dalam benaknya, Lembu Daksa menimbang segala masukan dari dua anak muda yang mungkin seusia dengannya. Pertimbangan mereka memang masuk akal menurut Lembu Daksa. Meskipun masih ada ganjalan dalam hatinya, tetapi Lembu Daksa merasa lebih tenang setelah berbicara dengan mereka. Kemudian ia berkata, ”Baiklah, aku minta diri dari hadapan kalian. Setidaknya pada malam yang tersisa ini, aku akan dapat membuat keputusan yang benar-benar menunjukkan siapa diriku sebenarnya.”

“Aku harap kau dapat membuat pilihan yang terbaik,” kata Bondan dan diikuti anggukkan kepala oleh Gumilang.

Dengan wajah suram Lembu Daksa keluar dari tenda Gumilang Prakoso lalu berjalan ke jurusan tenda pasukannya.

Bondan pun meninggalkan Gumilang. Keduanya berpisah tanpa bercakap-cakap. Mereka mengerti apabila esok hari adalah hari terberat yang akan mereka lewati bersama.

Related posts

Kiai Plered 44 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 75 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 18

Ki Banjar Asman