SuaraKawan.com
Bab 14 Pertempuran Hari Pertama

Pertempuran Hari Pertama 3

Terjangan Ki Cendhala Geni memaksa Ki Sentot untuk memberikan aba-aba bahwa pertempuran harus segera dimulai. Tak lama setelah Ki Cendhala Geni melintasi dinding api, pasukan Ki Sentot bergerak seperti gelombang lautan. Pada ujung-ujung sayap, setiap kelompok menyebar sambil menyusun gelar sesuai yang diperintahkan senapati mereka. Pasukan induk Ki Sentot pun semakin tergelar panjang dan mulai mendesak barisan depan pasukan induk Sumur Welut.

Ki Gede Pulasari menggeser kedudukan pasukan gajah. Para serati telah berhasil menenangkan binatang besar yang pada kepalanya telah terpasang benda seperti mahkota, sedangkan sebentang kain warna merah bersulam benang emas menutup bagian punggung dan sebagian perutnya.

Kawanan gajah bergerak maju seraya mengibaskan belalai yang pada ujungnya telah dipasang rantai yang berujung bandul besi bergerigi.  Pasukan gajah semakin mendekati barisan api yang mulai mengecil, dan di belakang mereka terdapat pasukan Ki Sentot bergerak dan bersiap melindas pasukan Sumur Welut. Sejenak kemudian pasukan gajah  telah melintasi aral lintang yang nyala apinya sudah tak begitu besar. Pasukan Sumur Welut yang masih berusaha untuk menyusun gelar Dirada Meta mulai mendapat gangguan besar. Susunan Dirada Meta belum sempurna bentuknya namun harus menerima gelombang hantaman tanpa henti.

Para prajurit yang berada di atas punggung gajah melontarkan anak panah.

Mereka menebar ancaman tersendiri bagi pasukan Sumur Welut.

Kemelut pun segera menyeruak di permukaan. Barisan Sumur Welut tidak lagi kokoh dan perlahan mengendur. Keberadaan pasukan gajah dan keganasan serati ketika mengendalikan binatang besar sanggup mengikis keberanian dan daya tempur musuh mereka.

Melihat ketahanan tempur orang-orang Sumur Welut yang tergerus pelan, Mpu Drana segera meminta izin Gumilang untuk memisahkan diri. Ia berencana menyerang orang-orang yang berada di atas punggung gajah.

“Gumilang,” kata Mpu Drana, ” aku akan membawa sebagian prajuritmu untuk menyerang mereka secara khusus. Setelah itu aku akan berputar ke setiap kelompok.”

“Baiklah, Paman. Saya akan mencoba menghalangi prajurit Ki Sentot yang bertumpu pada gajah.”

Mpu Drana segera memisahkan diri dengan disertai sejumlah prajurit berkuda untuk mengacaukan gerak gajah. Mereka mulai melontarkan lembing serta macam-macam senjata yang dapat mereka peroleh dari medan perang.

Kuda-kuda dari pasukan Gumilang terus menerjang maju dan tak lama kemudian mereka berputar balik, lalu dengan tangkas membentuk lingkaran. Pasukan berkuda menyebar dalam kelompok kecil mengepung pasukan gajah.  Sementara kelompok lainnya berupaya memecah pasukan penunjang yang menjadi leher dalam susunan gelar Garuda Nglayang. Namun upaya mereka mendapat hambatan yang luar biasa kuat. Barisan penunjang yang menjadi leher Garuda Nglayang cukup tangguh merapatkan barisan dan tak mudah dibelah.

Sedangkan pada sayap kiri Sumur Welut yang dipimpin olehWarastika belum menemui hambatan berarti. Pasukannya mampu mendesak mundur bahkan sempat terjadi ketidakseimbangan dalam susunan Garuda Nglayang. Menyadari pasukannya mulai terdesak, Ubandhana yang memimpin sayap kanan lekas meneriakkan perintah, kemudian terjadilah perubahan dalam pergerakan prajuritnya. Keseimbangan dapat mereka raih. Tak hanya itu, pengalihan siasat juga menyebabkan sayap Ubandhana dapat mendesak prajurit Warastika.

Kehadiran Ubandhana  yang bersenjata senjata tombak pendek benar-benar merepotkan sayap kiri Dirada Meta pasukan Sumur Welut.  Kekuatan yang tersalur melalui senjatanya ditambah kelincahan geraknya berkali-kali mengacaukan barisan lawan. Warastika sendiri belum dapat melepaskan diri dari tekanan beberapa prajurit yang mengepungnya.

Beberapa prajurit Sumur Welut mengetahui keadaan yang terjadi pada pemimpin kelompoknya, lalu mereka mulai mencoba melepaskan diri dari lawannya. Warastika pun mendapatkan kelonggaran, setelah itu ia menghampiri Ubandhana yang telah membuat banyak lubang pada barisannya.

“Marilah bermain-main denganku. Tak elok jika prajurit itu berhadapan dengan seorang senapati perkasa sepertimu,” kata Warastika.

“Katakan itu jika sedang duduk di kedai, Ki Sanak. Di medan perang yang ada hanya membunuh dan terbunuh. Kemarilah dan siapakah dirimu?” tanya Ubandhana seraya mengelak tebasan golok.

“Aku Warastika. Mari kita hentikan omong kosong ini!” seru Warastika seraya menubruk Ubandhana.

Tetapi Ubandhana bukan orang yang mudah dikalahkan. Tombak pendek itu memapas serangan Waraskita. Beberapa jurus telah mereka lewati dengan cepat, maka terasalah bagi Warastika bahwa Ubandhana adalah lawan yang tangguh. Ia mulai mengalami kesulitan melawan Ubandhana yang kuat dan keras ini. Golok besar yang digenggamnya seperti tidak berdaya menggempur pertahanan Ubandhana. Berkat pengalaman dan ketenangannya yang sudah melewati puluhan pertempuran maka Warastika dapat memperlambat gerak laju sayap Ubandhana.

Related posts

Bulak Banteng 7

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 30

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 24 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman