“Ya, saya dapat menduganya,” sahut Toh Kuning, ”Ki Rangga, kecakapan Ken Arok dalam menempatkan orang-orang kepercayaannya dalam lingkungan istana Tumapel tentu menjadi pertahanan yang kuat baginya. Tidak ada perwira atau pejabat yang berani menuntut supaya keadilan ditegakkan. Itu memberi saya pengertian bahwa Ken Arok telah memilih orang yang tepat untuk kedudukan yang tepat. Ia telah merancang gerakan ini sejak lama setelah melewati pengamatan yang cermat tentunya.”
“Kau telah mengerti akar masalah yang dihadapi Sri Baginda,” kata Gubah Baleman. Lanjutnya,”Ada pertimbangan Sri Baginda apabila ia memaksakan diri untuk memberi peringatan pada Tumapel. Pertimbangan yang tentu saja memperhatikan keselamatan banyak orang. Para petugas sandi telah melaporkan kesiapan Tumapel yang akan menyerang setiap utusan Kediri yang menyampaikan teguran. Dan akibatnya adalah akan terjadi perang dan orang yang tidak mempunyai hubungan dengan urusan ini akan menjadi korban.”
“Ada sikap yang bersifat tidak menetap dalam keputusan itu, Ki Rangga.”
Toh Kuning memandang atasannya dengan sungguh-sungguh.
Ki Rangga Gubah Baleman melirik pada pintu biliknya yang terkuci dari dalam. Ia menganggukkan kepala.
Selanjutnya Toh Kuning berkata, ”Sri Baginda telah memaksa banyak orang di perguruan untuk mengikuti kemauannya agar semua orang berpegang pada satu pohon yang besar. Sedangkan di bagian lain, Sri Baginda tahu bahwa orang-orang Tumapel berada di bawah pohon yang berbeda. Kita sering menyaksikan jika Sri Baginda memberi perintah pada prajurit Kediri untuk mengarahkan banyak orang pada pohon tersebut. Sesekali kita mendengar adanya tindakan keras dan kasar yang dilakukan oleh sebagian prajurit untuk menjalankan perintah itu.”
Ki Rangga Gubah Baleman beringsut sejengkal dan memperhatikan ucapan Toh Kuning kata demi kata. “Lantas menurutmu?” Gubah Baleman tertarik dengan uraian Toh Kuning yang memang bernalar cemerlang.
“Itu adalah pesan yang dikirimkan Sri Baginda bagi orang-orang di Tumapel agar mematuhinya. Apabila mereka menolak perintah,” Toh Kuning menjelaskan,”sebenarnya Sri Baginda telah memberikan contoh bagi mereka yang membangkangnya.”
“Maksudmu setiap tindakan keras dan kasar dari prajurit itu sebenarnya hukuman yang akan diterima Tumapel bila menolaknya?”
“Benar, Ki Rangga,” Toh Kuning menganggukkan kepala.
Ki Gubah Baleman merenung sesaat lalu katanya, ”Berilah waktu barang sebentar hingga semua masalah menjadi jelas dan persoalan yang kau hadapai menjadi benderang.” Ia kemudian mengizinkan Toh Kuning meninggalkan barak apabila ia ingin mengunjungi perguruannya.
Maka waktu yang merayap dan roda kehidupan yang berputar tanpa henti dimanfaatkan Toh Kuning dengan sungguh-sungguh. Ia kembali menempa dirinya di perguruan selagi pemimpin pasukan khusus memberinya kebebasan dari segala kewajiban. Murid tertua Begawan Bidaran dengan senang hati memberi bimbingan yang dapat membawa Toh Kuning mencapai tingkatan lebih tinggi. Ki Bidaran, demikian murid tertua itu memilih nama bagi dirinya sendiri, merupakan orang tua yang bijaksana seperti gurunya, Begawan Bidaran.
Ki Bidaran melengkapi kepandaian Toh Kuning dengan berbagai ilmu yang ia kuasai dan mereka sering berlatih bersama. Kerja keras dan kerja sama mereka berdua akhirnya menjadikan Toh Kuning semakin banyak menguasai ragam pengembangan ilmu yang dimilikinya.
Tak jarang Toh Kuning menyebarkan pengetahuannya di dalam barak. Diam-diam ia sering mengajak anak buahnya dan kawan-kawannya untuk berlatih bersama. Lalu Ki Gubah Baleman yang mengetahui kegiatan Toh Kuning pun secara resmi menjadikannya sebagai pelatih khusus untuk meningkatkan kemampuan pribadi prajurit. Dengan kegiatan yang berlangsung terus menerus, Toh Kuning mulai dapat mengalihkan perhatiannya dan ia sudah jarang terlihat menyendiri dalam kegelisahan karena menyesali keputusan Sri Baginda Kertajaya.
Hingga kemudian seorang utusan dari kotaraja memasuki bilik Ki Rangga Gubah Baleman. Dalam waktu yang cukup lama, mereka berdua terlibat percakapan penting di dalam bilik yang tertutup rapat. Lalu Gubah Baleman memerintahkan seluruh anggota pasukannya untuk berkumpul di halaman tengah.
Toh Kuning bergegas berlari meninggalkan kudanya. Ia berkata lantang mengulang-ulang perintah pada anak buahnya untuk segera berkumpul sesuai perintah Ki Rangga Gubah Baleman.
Sejenak kemudian pasukan khusus Selakurung telah berbaris dan berjajar rapi di tengah hari yang terik. Beberapa orang terlihat tidak mengenakan seragamnya dengan lengkap karena perintah yang bersifat mendadak. Ki Rangga Gubah Baleman kemudian berjalan menaiki panggungan yang berada di sisi timur halaman. Ia menenteng selembar kulit yang mempunyai tanda khusus dari raja Kediri. Gubah Baleman menebar tatap matanya pada barisan prajurit yang berjajar kuat dan rapi, lalu ia berkata, ”Utusan kotaraja datang pagi ini dan menyampaikan pesan dari Sri Baginda terkait sejumlah persoalan. Yang pertama adalah melalui tulisan ini telah tercantum namaku sebagai tumenggung.”