SuaraKawan.com
Bab 9 Rawa-rawa

Penculikan 4

Ubandhana bergeser mendekat, lalu bertanya, “Apakah engkau menginginkan seperti ini?” Ubandhana melakukan gerakan seolah-olah akan membuka bajunya.

“Pergi! Pergilah dari hadapanku!” teriak Arum Sari kuat-kuat. Ia mencoba menggerakkan tangannya yang terbelenggu. Sia-sia! Belenggu itu terbuat dari akar pohon kelapa dan terlalu kuat baginya yang tidak pernah belajar olah kanuragan.

“Tenang. Sabar. Semuanya akan tiba pada saat yang tepat dan itu persis seperti yang kau inginkan,” kata Ubandhana lalu terbahak sambil memastikan tangan dan kaki Arum Sari masih terikat erat.

“Oh, begitu gelap! Aku tidak mengenal tempat ini,” desis Arum Sari tanpa suara. “Hanya seorang lelaki berwatak aneh. Tentu saja, ya, tentu saja aku dalam cengkeram seorang penculik dan aku tidak tahu yang akan terjadi!”

“Bagaimana dengan ayah ibuku? Lalu bagaimana bila mereka berpikir jika aku masih seperti dulu sementara setiap waktu lelaki itu dapat merenggut kesucianku? Apakah aku dapat meyakinkan mereka?” Pertanyaan tiba-tiba muncul meremas denyut nadi Arum Sari. Ia memutar penglihatan, melirik ke atas lalu merapatkan kedua lututnya ke bagian perut.

Sejenak ia mengamati pakaiannya yang masih utuh, sekilas melintas sebuah kesimpulan melewati jalan pikirannya, lalu terucap sangat pelan, “Lelaki itu tidak melakukan sesuatu yang buruk padaku. Tetapi apakah semestinya aku harus berterima kasih padanya?” Arum Sari memukul-mukul  pahanya lalu berkata pada dirinya sendiri, “Bodoh! Memisahkanku dan membawaku pergi jauh dari rumah adalah dosa yang tidak dapat diampuni, lalu aku berpikir untuk berbaik hati padanya? Gila! Ini benar-benar pikiran gila.”

“Hei bukankah engkau yang bernama Arum Sari? Aakah engkau telah menjadi gila dengan bicara sendiri?” tanya Ubandhana dengan dagu terangkat.

“Ya. Aku menjadi gila karena sempat mengira engkau adalah calon suamiku!” sahut Arum Sari sekenanya. Ia tertawa sangat keras. Arum Sari ingin menutupi rasa takutnya dan mengalihkan perhatian sejenak untuk menenangkan hatinya.

Ubandhana tidak dapat menahan rasa geli, ia tertawa, lantas berkata, “Sebenarnya engkau tidak pantas menjadi pendampingku, gadis muda. Lihatlah dirimu sekarang!

“Siapa lelaki yang bersedia menjadikanmu seorang istri? Apa yang berada dalam pikiran mereka ketika mereka tahu jika engkau telah melewatkan beberapa malam denganku? Tentu saja kamu akan bersumpah seperti perempuan milik Ramayana. Engkau memilih membakar diri dengan api suci. Baiklah, sekarang lihat sekeliling kita.

“Apa yang didapat oleh dua mata indah itu? Perahu, nelayan, pantai dan malam.” Ubandhana bangkit lalu melangkah ke arah Arum Sari. Ia mendekatkan wajahnya sangat dekat, bahkan ujung hidung mereka nyaris tidak mempunyai jarak.

“Engkau masih harum dengan kulit yang kenyal. Aku lelaki dan ingin melihat gumpalan lunak di balik kain ini,” kata Ubandhana seraya menyentuhkan jarinya menyusur dagu Arum Sari, menurun lalu berhenti tepat di tengah bagian dada anak perempuan pemimpin Wringin Anom.

Arum Sari membuang muka, ia tidak tahan dengan napas Ubandhana dan rasa mual menjalar bagian perutnya. Debar jantung Arum Sari semakin keras memukul rongga dadanya, ketika ia membuka mulut akan berteriak, Ubandhana dengan cepat menyentuh urat suaranya. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Arum Sari!

“Apakah ini? Mengapa suaraku tidak terdengar?” Pilu hati gadis kesayangan orang-orang Wringin Anom meratap. Ia menyeru agar sebuah pertolongan datang padanya ketika telunjuk Ubandhana sedikit menyibak pakaian lalu menyentuh kulitnya. Kedua mata Arum Sari erat terpejam dan ia tidak sanggup menahan tangisnya lagi. Arum Sari mengais asa dan belas kasih para dewa melalui jerit tangis dalam kebisuan.

Putus asa menempati satu ruang hati Arum Sari. Ia berkata, “Kesucian segera berlalu darimu. Waktu tidak akan pernah menoleh padamu dan memberi kesempatan untuk mengulang.

“Kamu yang telah melindungi kehormatan itu sepanjang usiamu, dalam berbagai keadaan.

“Kamu yang menyimpannya cukup dalam dan menitipkannya pada laut harapan.

“Merana tanpa pembelaan. Kamu adalah gadis muda yang segera mati.

“Cinta yang mendekapmu dan kau yakini ada, itu harus kau lepaskan. Yang kau takutkan akan terjadi tidak lama lagi. Masa depanmu akan dipenuhi dengan ketidakpastian. Orang akan bertanya tentang penjamahan yang terjadi di celah sempit, yang diapit tebing dan sangat jauh dari sentuhan dan penglihatan.

“Kepercayaan akan terlihat seperti kabut tipis yang menutup puncak Prawita. Ia segera menyingkir, berlalu, kemudian kembali untuk membangkitkan pertanyaan berulang. Ini adalah awal penderitaan baru!”

Related posts

Pertempuran Hari Kedua 6

Ki Banjar Asman

Di Bawah Panji Majapahit 4

kibanjarasman

Kiai Plered 30 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman