SuaraKawan.com
Bab 9 Rawa-rawa

Penculikan 21

“Ini adalah benih keyakinan tentang arti kebahagiaan.” Kata-kata itu berulang seperti mantra puja pada dewa-dewa. Seolah menjadi kalimat suci yang terus menggaung di dalam rongga dadanya.

Sebentar kemudian keduanya kembali melibat diri dalam pertarungan yang mendebarkan. Kedua pedang saling mematuk dan bergulung-gulung seperti angin prahara. Beberapa waktu telah berlalu tetapi keduanya masih dalam keadaan seimbang. Patraman telah mengenal sedikit dari dasar gerakan Gumilang dan begitu pula sebaliknya. Keduanya telah saling mengenali dasar gerakan masing-masing.

Dan di antara mereka ada perbedaan yang lebar dan memengaruhi pertarungan dua pemuda yang keras hati ini. Patraman merasa mampu memenangkan perang tanding ini karena merasa lebih pantas mendapat jabatan lebih tinggi dari pemimpin prajurit kademangan, lebih dari itu, wajah Arum Sari telah menutup segala jalan akal sehatnya.

Di pihak yang berseberangan, Gumilang berpikir bahwa ia harus dapat mengalahkan Patraman dalam keadaan hidup atau mati. Menurutnya, hanya dengan begitu maka akar permasalahan yang timbul di Wringin Anom dapat diselesaikan. Wringin Anom, bagi Gumilang, bukan sekedar kademangan atau padukuhan besar, tetapi juga menyimpan ancaman yang sewaktu-waktu bisa saja membakar seluruh wilayah di sekitar Brantas.  Sekalipun Ki Demang sama sekali tidak menunjukkan sebagai orang yang haus kekuasaan, tetapi kehadiran Patraman ibarat api dalam sekam.

Rencana memang tak selamanya dapat berjalan sesuai harapan. Angan-angan Patraman harus menghadapi kenyataan bahwa ia akan mendapat rintangan yang cukup berat. Patraman menduga Ki Cendhala Geni memang bekerja untuknya dan akan membawa kemenangan baginya, tetapi sepanjang waktu yang tersedia bagi mereka, Ken Banawa mampu mengimbangi kekuatan Ki Cendhala Geni. Dan tentu saja Ki Cendhala Geni tidak mempunyai cara berpikir yang pendek seperti yang diduga Patraman.

Kemudian terjadi benturan, lalu dua perwira muda itu terlempar surut. Sejenak kemudian, mereka kembali berhadapan dengan awal gerak yang sangat garang.

Menggeser selangkah ke belakang dengan lengan kanan tegak lurus sambil menjulurkan pedang, siku kiri Gumilang berada lekat di punggung tangan dengan gagang menempel erat di dagunya. Pandang tajam Gumilang menatap seperti mata elang yang mengincar monyet yang berloncatan di antara ranting pohon.

Sedangkan Patraman mengangkat kedua lengannya seperti kepak garuda. Kedua lutut yang ditekuk dan tubuh yang direndahkan ini menunjukkan pertahanan tangguh, tetapi dapat berubah secepat kilat menjadi serangan maut.

Keduanya tidak bergerak.

Tidak ada perubahan yang terjadi meski pergeseran sejengkal langkah.

Udara keluar masuk, mereka mendesah dengan dada surut mengembang. Tubuh mereka menggigil seperti punggung gunung yang diguncang gempa. Arum Sari menatap keduanya dengan napas yang seolah tertahan. Ia larut dalam suasana mencekam ketika dua perwira muda Majapahit itu beradu pandang!

Seperti ada aba-aba yang menggerakkan, dalam waktu hampir bersamaan, keduanya saling menerjang. Langkah kecil Gumilang sangat cepat menghampiri Patraman yang, dengan sekali lompat, sigap menyambut serangan Gumilang. Hantaman keras kedua senjata tidak dapat dihindarkan. Patraman merasakan sakit merambati pangkal bahunya. Sekejap ia termangu heran dengan kekuatan Gumilang. Nyaris saja kepalanya terpisah dari badan bila ujung matanya tidak menangkap desir pedang Gumilang. Ia melenting ke belakang untuk sedikit mengambil jarak dan dengan sepenuh tenaga menerjang Gumilang.

Keduanya menjauh, lalu terlibat lagi dalam pertarungan yang meningkat semakin sengit. Pedang Patraman meliuk-liuk menebas ke arah Gumilang. Menerima terjangan sengit seperti topan prahara, Gumilang segera membuat perisai dengan memutar pedang dan menjulurkan belatinya untuk mematuk setiap bagian tubuh Patraman. Patraman telah kehilangan jalan selamat dari hukuman yang akan menimpanya, tetapi menyimpan harapan bahwa Laksa Jaya mampu membawa pergi Arum Sari selagi ia dan pengikutnya menahan sergapan prajurit Majapahit.

Di sela perkelahiannya menghadapi Gumilang, Patraman sesekali meneriakkan perintah pada pengikutnya agar mampu bertahan dari serbuan lascar Majapahit yang terus berkisar seperti cakra. Dalam waktu itu, perhatian Patraman terbagi karena keinginan yang tidak tertahan. Arum Sari dan kedudukan membuatnya begitu lemah untuk menjaga keseimbangan perkelahian, maka Gumilang leluasa menekan lawannya dengan serangan yang bersusulan.

Related posts

Nir Wuk Tanpa Jalu 4

kibanjarasman

Gerbang Demak 5

Redaksi Surabaya

Pertempuran Hari Pertama 8

Ki Banjar Asman