Aku berjalan di tengah antara Anindita Rukmi dan Gita Nervati. Ra Gawa berada di belakang kami, tetapi dia akan berpindah ke depan apabila kami akan melewati simpang tiga. Memastikan keadaanku aman adalah tugas utama Ra Gawa. Dia lakukan itu dengan baik meski kami masih berada di dalam lingkungan istana. Istana Rakai Panangkaran terdiri dari banyak bangunan yang berukuran lebih besar daripada banjar wanua. Sebuah bangunan mempunyai fungsi dan tujuan yang berbeda dari bangunan yang lain. Bangunan-bangunan itu dihubungkan dengan banyak ruas jalan yang mempunyai lebar sebanding dengan delapan langkah kaki orang dewasa. Di dalam bangunan ada banyak ruang yang tersekat dinding batu pada setengah bagian. Setiap ruangan dihubungkan dengan lorong-lorong yang dapat dilalui kereta berkuda. Sedikit lebih kecil dibandingkan jalan utama di pedusunan.
Pengiring yang menyertaiku dari bilik renungan telah berganti. Sebelum ini, pendampingku adalah para perempuan yang bertubuh sedang dan tidak mempunyai sesuatu yang membedakan mereka, Namun, Anindita Rukmi dan Gita Nervati adalah kekhususan yang sengaja disiapkan untukku. Kemewahan yang lain adalah kehadiran Ra Gawa. Aku dapat merasakan bahwa lelaki muda ini adalah senjata yang disembunyikan oleh ayahku. Apakah Kayu Merang adalah orang yang berbahaya? Entahlah, aku belum mengenalnya.
Kenangan tentang perkelahian di tepi hutan sebelum kotaraja menjadi bekal penting, bahwa Kayu Merang mungkin seorang pembunuh berdarah dingin. Lelaki yang mengeluarkan napas berbau bangkai. Lelaki yang mempunyai hasrat besar mengumpulkan perempuan-perempuan muda untuk tujuan tertentu. Lelaki yang dipenuhi ketegangan apabila pandangan matanya menangkap daging yang menonjol pada tubuh seorang perempuan. Itu bukan penilaianku karena aku belum melihat wajah Kayu Merang. Aku belum mengenal lelaki yang dikabarkan akan menjadi penguasa tunggal di Jatiraga. Itu semua, apakah mungkin Dewi Rengganis berbohong padaku?
Aku terus berpikir dalam rentang waktu perjalanan kami menuju sebuah ruangan yang berada di bangunan yang berbeda dari ruanganku sebelumnya. Itu berarti aku tidak lagi berada dalam gedung yang sama dengan ayah dan ibuku. Namun, aku tidak berpikir atau menduga bahwa sesungguhnya beliau berdua sedang mengasingkanku. Tidak, tetapi jika mereka mempunyai maksud lain, maka aku dapat menerimanya.
Di depan bilik yang bersifat khusus itu, Anindita Rukmi berkata padaku, “Sang Hyang, kami tidak dapat melangkah lebih jauh mengantar Anda. Bertiga, kami tetap di sini sepanjang waktu yang Sang Hyang kehendaki atau Paduka memutuskan lain.”
Renyah. Suara yang begitu renyah. Aku yakin Anindita Rukmi dapat membuat seorang lelaki menjadi blingsatan oleh sebab disapanya. Ya, Anindita Rukmi cukup sekali menyapa untuk membuat lelaki menjadi lupa diri dan salah tingkah. Mungkin lelaki itu akan resah karena mengira cintanya bersambut. Aku tertawa dalam pikiranku, begitu rendahkah harga diri seorang lelaki? Padahal sekejap kemudian Anindita Rukmi akan menghabisinya dengan ujung tajam konde yang tersembunyi di balik gelung rambutnya.
Aku menanggapinya kemudian, “Masuklah kalian bertiga.” Kepada Ra Gawa yang memalingkan wajah karena perintahku, aku berkata, “Itu adalah perintah yang mengikatmu.”
Gita Nervati adalah perempuan muda yang membuatku terpesona dengan keindahan bentuk lehernya yang bersih dan berwarna terang. Barangkali tidak ada lagi perempuan yang mempunyai batang leher seperti Gita Nervati. “Leher pembunuh,” aku berkata dalam hati. Leher Gita Nervati adalah jerat yang dapat menambah bencana bagi lelaki yang memandang rendah pada kemampuan wanita yang menjabat sebagai kepala prajurit rahasia. Prajurit rahasia adalah satuan khusus yang diciptakan ayahku untuk menyusup hingga dapat mendekati singgasana seorang raja yang berada dalam pantauan Rakai Panangkaran. Ini tidak berarti ayahku adalah raja haus darah. Beliau memutuskan pembentukan pasukan sandi untuk menjaga Medang dari peperangan, demikian yang diterangkan Mpu Pali padaku.
Info Jumat Berkah
Gita Nervati menundukkan wajah sebelum berkata padaku, “Bila demikian, kami akan patuhi meski daun pedang Rakryan Wong Awulung yang memutuskan hidup kami.”
“Biarkan Wong Awulung yang menjadi urusanku,” aku berkata menenangkan tiga dayang itu, “itu berlaku juga pada ayah dan ibuku. Bertiga, kalian menjadi tanggung jawabku. Kalian akan dihukum mati bila aku mengingkan itu.”
Seperti mendengar degup jantung yang berpacu dengan derap kuda-kuda balap, seperti itu aku mendengar sesuatu yang berasal dari balik dada Ra Gawa. Aku berbalik, menatap wajahnya, kemudian aku berkata, “Mengapa dadamu bergemuruh? Yang perlu kau takutkan, yang perlu kau ingat adalah aku, Dyah Murti Hansa Gurunwangi.” Aku memandang wajah tiga dayangku bergantian seusai mengucapkan itu. Mungkin kalimatku bernada kesombongan. Mungkin juga tidak semacam itu karena aku adalah tuan bagi mereka. Bukankah mereka bertugas menjaga hidupku?
Ra Gawa berwajah pucat. Aku melihat perasaannya bergetar, tapi, aku pikir, mengapa aku harus perpanjang? Aku melangkah masuk, duduk pada sisi pembaringan sambil menatap pintu yang sengaja aku biarkan terbuka.
Aku tidak mendengar percakapan dari ketiga dayangku.
Aku melihat mereka mematung pada tempat berdiri masing-masing.
Terbit kekagumanku pada mereka.
“Masuklah,” aku berkata pelan.
Yang pertama masuk adalah Ra Gawa, menyusul Gita Nervati, kemudian Anindita Rukmi. Aku hargai kepatuhan mereka dengan tepuk tangan dan senyum yang benar-benar muncul dari hatiku.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Cerita Silat Padepokan Witasem” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”cat” orderby=”rand”]
Ra Gawa membuang wajah sesaat aku berdiri di depannya sambil melucuti perhiasan satu demi satu. Berturut-turut aku melepas kain penutup tubuh bagian atas, kemudian mengakhirinya dengan sehelai benang terpintal yang membungkus kemaluanku. Aku tidak membutuhkan sekat yang membatasi pandangan tiga dayangku.
Ra Gawa tetap berada dalam keadaannya selama aku menanggalkan segala yang melekat pada tubuhku, demikian pula Gita Nervati dan Anindita Rukmi.
“Apakah memang tidak ada cahaya atau sesuatu yang menerangi ruangan ini?” bertanya Ra Gawa.
“Ada tetapi aku tidak dapat melihat segala sesuatu yang seharusnya terlihat mata biasa,” jawab Gita Nervati. Anindita Rukmi memberi tanggapan yang senada dengan Gita Nervati.
“Oh!” aku berseru.