Nir Wuk Tanpa Jalu 2

oleh
oleh

Suasana hening. Mungkin pemilik suara gaib itu sedang memandangku dari arah yang tidak aku tahu. Sama sekali tidak aku lakukan, ya, aku tidak melakukan gerakan walau sedikit saja. Tidak pula aku mengalihkan arah pandangan. Bagiku, semuanya sama karena aku dirundung oleh kegelapan. Bila aku mengabaikan lantai batu yang berada di bawah bokongku, barangkali aku sudah berpikir lain ; aku sedang melayang dan mengapung di bawah langit atau di dalam langit itu sendiri.

Sedikit menyimpang dari keadaan karena aku benar-benar tidak ingin terjebak dalam kungkungan rasa yang tidak menentu. Aku berpikir dan mencoba mendekati pemilik suara gaib itu dengan caraku sendiri. Ada dua jalan yang ingin aku khayalkan. Pertama, aku membayangkan sedang berada di dalam langit untuk membaca semua yang tersembunyi. Kedua, aku sedang duduk meringkuk di kaki langit untuk memecahkan rahasia mengenai jati diri sosok yang ajaib itu.

“Masuklah dan lakukanlah.” Suara asing itu terdengar memecahkan keheningan di dalam ruangan.

“Aku tidak sedang mempunyai keinginan untuk bicara denganmu atau mendengarkan suaramu, tetapi engkau sepertinya mengetahui keinginanku maka engkau katakan itu padaku,” ucapku.

“Ada peristiwa penting yang segera tiba di hadapanmu.”

“Hmmm… Lalu atas nama peristiwa itu, apakah engkau diutus untuk menuntunku?”

Lirih, hela napas panjang yang sangat lembut terdengar begitu lirih. Muncul tiba-tiba kerlip cahaya seperti kunang-kunang, lambat laun semakin membesar hingga seukuran wajah seseorang. Namun aku belum dapat melihat sesuatu di balik cahaya yang makin terang. Apakah akan menjadi wajah seseorang yang aku kenal ataukah wajah yang asing? Atau mungkin akan menjadi benda padat yang lazim terjadi di kampung halamanku? Waktu tidak terasa berlalu. Waktu lebih memilih menjadi beku ketika segala yang ada di dalam ruangan tetap tidak terlihat olehku. Ini, ajaib! Bagaimana cahaya tidak dapat menerangi benda-benda seharusnya memantulkannya? Apakah benda-benda di sekitarku sanggup menelan cahaya?

“Dyah Murti Hansa Gurunwangi,” ucap seseorang atau sesuatu – yang masih bersembunyi di balik cahaya – menyebut namaku. “Adalah wajar ketika seorang ayah menempatkan anak perempuannya di sisi lelaki lain yang menjadi pilihannya.”

“Aku tidak mengerti yang kau ucapkan.”

“Aku tahu karena Lis Prabandari dan Rakai Panangkaran belum memberitahukan sedikit pun padamu. Banyak orang-orang yang terhormat dapat membuat ciptaan hebat atau melakukan perbuatan hebat ketika mereka secara tepat memilih orang untuk dipercaya. Begitu pula Rakai Panangkaran yang sedang merencanakan untuk menjadikan seorang pewaris sebagai pendampingmu.”

“Aku memiliki banyak pendamping. Emban dan para dayang. Prajurit dan pengawal. Guru dan kerabat. Tidakkah engkau dapat berkata lebih jelas agar aku mudah untuk paham?”

“Sebelumnya, apakah engkau tahu tujuan sebenarnya kedatanganmu di kotaraja?”

“Aku tidak mengerti lebih dalam dan lebih jauh. Yang aku tahu dan pernah bertanya pada ibuku adalah sebuah nama. Poh Sangkhara. Nama itu, apakah memberi arti dalam kedatanganmu?”

“Ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan lebih rinci padamu, Dyah Murti. Namun bahaya besar sedang mengintip dan mungkin akan mengguncang ketenangan Bhumi Mataram. Seluruh susunan akan mengalami perubahan yang mencolok apabila Rakai Panangkaran tidak mendapatkan peringatan.”

“Nada dan ucapanmu masih berputar-putar di langit yang kelabu.”

“Tārābhavanaṃ paṇamkaraṇaḥ.”

“Oh!” aku berseru dengan suara tertahan di dalam kerongkongan. Kalimat itu? Ya, aku pernah mendengarnya. Sekali. “Muncullah, Ibu,” ucapku lirih.

Sungguh! Aku sangat tidak mengerti dengan ini semua! Bagaimana aku dapat berbicara tanpa menggerakkan bibir? Bagaimana aku menyebut pemilik suara gaib dengan kata ‘Ibu’? Seisi kepalaku seolah ingin berhamburan keluar. Aku ingin menghantam kepalaku sendiri. Aku ingin merenggut jantung dan hatiku kemudian bertanya, “Sedang terjadi apakah di sini?”

Perempuan berdada besar, yang duduk berdampingan dengaku ketika berendam di Kalingan, perlahan-lahan menampilkan wajah dari bagian tengah cahaya yang berbentuk lonjong seperti telur. Paras mukanya berseri, terasa ia bersenang hati saat berkata, “Tidak ada dalam pikiran Lis Prabandari dan Rakai Panangkaran rencana untuk mencampuri kehidupanmu di masa depan.” Sekejap kemudian ia memegang dua tanganku dengan kelembutan sutra, tetapi aku tidak melihat bagian bawah dari tubuhnya. Perempuan berdada besar itu seolah melayang atau… entahlah, aku tidak mengerti. Sungguh, benar-benar tidak mengerti!

“Pagi selanjutnya dari waktu sekarang ini,“ lanjutnya kemudian, “engkau dapat menyebutku Dewi Rengganis.”

Aku terpana, terpesona dengan sepasang mata Dewi Rengganis yang indah. Sepasang mata berwarna gelap memandangku lekat seolah menyimpan banyak rahasia yang susah dimengerti walau ia telah menjelaskan sebelumnya. Lambat laun aku melihat banyak peristiwa yang telah lewat. Perkelahian yang melibatkanku di dalamnya, kemarahanku pada pengikut Kayu Merang, dan perjalananku menuju kotaraja. Semua terpampang seperti lukisan yang hidup, seperti pahatan-pahatan yang terbenam kuat pada dinding kuil-kuil suci tetapi yang terlihat olehku adalah kehidupan.

Dyah Murti Hansa Gurunwangi adalah nama yang diusulkan oleh Han Rudhapaksa ketika mengambilku dari dukun bayi. Ia pernah mengatakan padaku tentang sumpah yang batal diucapkannya. Ketika aku bertanya mengenai sumpah itu, Han Rudhapaksa menjawab, “Sumpah adalah perkataan tabu karena akan mengakibatkan aib besar apabila engkau bersikap tidak pantas.” Aku tidak mengerti yang diucapkannya. Aku masih berusia lima tahun pada waktu ia mengatakan itu.

No More Posts Available.

No more pages to load.