Ki Demang Brumbung menerkam Ki Ramapati dengan ganas, sejenak kemudian, mereka kembali terlibat dalam pergumulan hebat. Kedoknya terbongkar, maka tidak ada pilihan bagi Ki Ramapati selain menghabisi tiga orang yang diyakininya setia pada Panembahan Hanykrawati.
Dalam waktu hampir bersamaan, gagasan yang sama juga menghampiri Ki Patak Ireng. Ia merasa bahwa kehadiran Ki Plaosan dan dua orang lainnya tentu akan menambah beban bagi mereka menuntaskan rencana. Tidak ada lagi pilihan selain bertempur hingga penghabisan, pikirnya. Sekejap kemudian ia mengambil lompatan panjang, menerjang Kiai Bagaswara. Dalam hatinya, Ki Patak Ireng tidak mau peduli karena seorang prajurit telah diurusi oleh prajurit yang lain. “Marilah kita bermain-main barang sebentar, dan cobalah menikmatinya selagi sempat!” Kalimat yang dilontarkannya tidak membuatnya kehilangan kendali karena Ki Patak Ireng paham bahwa lawannya tentu bukan orang sembarangan. Ia berkelahi dengan hati-hati dan penuh perhitungan.
Ketika mereka tiba di tempat percobaan pembunuhan Ki Demang Brumbung, Sukra merasakan ketegangan luar biasa. Ia melihat serta mengamati, maka Sukra dapat mengukur dan tahu diri bahwa mereka semua berada jauh di atasnya. Hanya ia dan Ki Plaosan yang belum terikat penuh oleh perkelahian. Tak sampai sekejap, sebelum ia menarik napas lebih panjang, Ki Plaosan telah mengikat Ki Krembung Wantah, keduanya saling melibat dalam perkelahian seru. “Pergilah ke Slumpring, Sukra! Laporkan pada Ki Patih atau Ki Rangga Agung Sedayu bila engkau menjumpai mereka berdua. Kami akan menahan mereka!” seru Ki Plaosan tanpa meminta persetujuan Ki Bagaswara. Menimbang keadaan genting seperti itu, Ki Plaosan dan Ki Bagaswara seolah sepakat bahwa tindakan jauh lebih penting daripada perundingan-perundingan di antara mereka berdua.
Sang Maharani - Berlatar belakang Mataram Kuno zaman Rakai Panangkaran
Perintah bukan tidak menjadi sebab bagi Sukra untuk menghindari benturan keras. Ia enggan meninggalkan gelanggang. “Aku bukan seorang pengecut!” tegasnya dalam hati.
Namun orang lain melihat itu sebagai keraguan karena Sukra pun tak kunjung melibatkan diri ke dalam salah satu perkelahian. “Pergilah, Anak Muda! Aku, Ki Demang Brumbung yang memberimu perintah. Bukankah engkau seorang pengawal Tanah Perdikan? Tentu saja aku mengenalmu. Kita bertemu di halaman belakang barak pasukan khusus,” ucap Ki Demang Brumbung di sela perkelahiannya.
Sukra sering melihat perkelahian orang-orang yang mempunyai kepandaian beragam, dan ia mengerti bahwa tiga lingkaran pertarungan di sekitarnya bukan tempat yang sesuai dengannya. Namun ia harus mendapatkan keyakinan sebelum memenuhi perintah Ki Palosan atau Ki Demang Brumbung. Salah satu pertimbangannya adalah, jika ia dapat lolos dan mencapai Slumpring, akankah Ki Patih Mandaraka bersedia menerima laporannya? Bila di Slumpring telah hadir Ki Rangga Agung Sedayu, tanggung jawabnya akan tuntas dengan baik. Bagaimana bila tidak ada Agung Sedayu dan Ki Patih menganggap laporannya sebagai angin lalu?
“Kau dapat mencobanya!” Ki Krembung Wantah membentak Sukra, lalu ia melepaskan serangan liar pada Ki Plaosan. Ketika mendapatkan celah, Ki Krembung Wantah menghujani Sukra dengan satu srangan mematikan!
Ki Plaosan berkelebat cepat, menutup jalur serangan, sedangkan Sukra berusaha tenang pada sat menghindar serangan. Sukra mejatuhkan diri ke samping lalu menggulingkan tubuh, mencoba mengambil tempat lebih dekat pada Ki Plaosan. Dalam waktu itu, kemampuan Ki Palosan dan Ki Krembung Wantah terlihat seimbang. Serangan garang Ki Krembung Wantah tidak mampu menyentuh Sukra yang cerdik bergerak di sekitar Ki Plaosan.
Walau berada di bawah bayang-bayang Ki Plaosan, Sukra seolah sedang mengeluarkan seluruh kemampuan pembelaan diri. Ia bergerak lebih tangkas dan cekatan jika dibandingkan saat perkelahiannya melawan Pager Waja. Selain itu, kibasan lengannya serasa lebih bertenaga ketika ia mencoba membalas serangan Ki Krembung Wantah. Namun Ki Plaosan tidak dapat terus menerus melindunginya. Lurah prajurit ini mendesak Sukra agar segera menjalankan perintah meninggalkan Gedangasin. Sukra sadar mengenai hal itu, maka ia membuka jalan keluar dengan cara mendekati lingkaran perkelahian Kiai Bagaswara. Harapannya adalah agar lelaki sepuh itu dapat mengganggu semua perhatian yang ditujukan padanya.
Sejak Sukra berlindung di dekat Ki Plaosan, sebenarnya Kiai Bagaswara mulai membagi perhatian. Pengalamannya mengingatkan bahwa Sukra akan bergerak mendekatinya, Perintah dua prajurit Mataram untuk Sukra adalah tanda baginya agar membuat persiapan untuk membuka jalan dengan cara keras.
Pertahanan Kiai Bagaswara terbangun sangat baik. Ki Patak Ireng benar-benar kesulitan mengendalikan keseimbangan. Perkelahian itu sesuai dengan perkiraan Ki Patak Ireng, bahwa lawannya yang lanjut usia sesungguhnya menyimpan kemampuan yang luar biasa. Di dalam lingkaran mereka, Kiai Bagaswara mampu mempengaruhi jalan pikiran musuhnya melalui tata gerak yang hebat. Kiai Bagaswara melakukan percepatan gerak dan tenaga yang meningkat secara pasti. Perubahan itu membuat Ki Patak Ireng terlena. Ia tidak lagi dapat mengawasi perkembangan yang terjadi selain pada pertarungannya sendiri. Tanpa dapat disadari oleh musuhnya, melalui gerak tubuh dan kaki yang tidak wajar, Kiai Bagaswara berhasil menggeser Sukra menjauhi gelanggang pertarungan.
“Sekarang!” Seruan Kiai Bagaswara ditujukan pada Sukra agar bergegas menemui Ki Patih Mandaraka.
“Sial!” umpat Ki Patak Ireng. Dalam hatinya, ia berkata, “Ini cara yang luar biasa. Namun belum cukup untuk mendapatkan pujian dariku.” Sambil mengeraskan tekad, Ki Patak Ireng meningkatkan ilmu, memburu Sukra.
Namun serangannya segera terhalang oleh Kiai Bagaswara yang menunjukkan kemampuan tinggi sebagai pemangku padepokan. Kepandaian Kiai Bagaswara benar-benar luar biasa sehingga Ki Patak Ireng dapat terjebak bila tetap melanjutkan niatnya dalam menyergap Sukra.
Setapak demi setapak Sukra dapat menjauh dari hujan serangan dua pengikut Raden Atmandaru berkat perlindungan Kiai Bagaswara dan Ki Plaosan. Tetapi pergeseran itu ternyata berada dalam pantauan Ki Rangga Ramapati. Pemimpin prajurit Mataram itu merasa terancam kedudukannya bila Sukra dapat melepaskan diri dari jari-jari maut mereka bertiga. Seketika ia meloloskan sepasang keris panjang berlekuk tiga belas.