Ki Patih Mandarakan tidak dapat membiarkan dirinya terus menerus berada di bawah maut yang ditebar Ki Sekar Tawang melalui Kiai Plered. Sulit untuk bertahan dengan keganasan yang benar-benar di luar batas kemanusiaan. Setelah berloncatan menghindar, berjungkir balik untuk menjaga keseimbangan, Ki Patih Mandaraka mendadak melontarkan tubuh, melenting tinggi dan tiba-tiba keris Kyai Kutharaga berputar membendung serangan Ki Sekar Tawang.
Keris peninggalan Sultan Hadiwijaya telah berada di genggaman Ki Patih Mandaraka, dan mereka berdua saling mengisi untuk mengimbangi Ki Sekar Tawang yang begitu buas menerjang. Sedangkan pada lingkaran pertarungan lain, Agung Sedayu dan Ki Tunggul Pitu masih berkelahi dengan sepasang tangan kosong yang bebas dari senjata. Meski begitu , perkelahian keduanya tidak kalah mengerikan. Dua pasang lengan sama-sama saling mengeluarkan angin yang mampu membuat kulit pohon terkelupas. Walau seujung tumpul ibu jari, itu adalah senjata mengerikan. Setiap sentuhan sanggup merobek kulit yang terlapisi ilmu kebal. Setiap tebasan telapak tangan akan merobek dada lawan. Dua orang itu, Agung Sedayu dan Ki Tunggul Pitu, sepertinya telah melupakan ucapan yang pernah mereka pertukarkan sebelumnya.
Bagi Agung Sedayu, sama saja. Berjalan sebelah menyebelah dengan Ki Tunggul Pitu atau berlawanan arah dengannya, sama saja akibatnya. Maka melalui kelincahan dan kecepatan geraknya, Agung Sedayu berusaha menjaga jarak agar dapat menentukan saat yang tepat untuk menyelesaikan pertarungan jiwani yang melelahkan. Di saat yang sama, di dalam perkelahian yang berlangsung sangat ketat, bayangan Swandaru dan Sekar Mirah tiba-tiba melintasi pikirannya.
Apa yang akan terjadi pada Sekar Mirah apabila ia mengetahui Swandaru telah berbalik arah? Apakah anaknya akan dapat selamat dari intai bahaya yang datang bersama Swandaru serta dua pengiringnya?
Musibah, bukan, tetapi bencana datang mengancam keselamatan Agung Sedayu!
Bermula dari perhatian yang ambyar karena bayangan adik seperguruannya dan Sekar Mirah, Agung Sedayu tak lagi secermat sebelumnya. Tidak secepat sebelumnya. Ia lebih banyak menerima serangan atau menghindar. Sesekali ia terhuyung mundur atau terdorong ke samping akibat terjangan lawan yang sebenarnya bukan serangan yang sangat kuat. Keringat memang membasahi kening Agung Sedayu, tetapi bukan berasal dari pertempuran sengit. Pembasahan itu muncul karena pikirannya yang dilanda serangan tajam dari sangkaan yang buruk.
Kesempatan yang tidak dilewatkan oleh Ki Tunggul Pitu. Lelaki itu berdaya meningkatkan serangan yang lebih tajam ketika Agung Sedayu justru menuruni lembah kematian. Suasana perkelahian mendadak terasa aneh. Perubahan itu tidak lepas dari pengamatan Ki Patih Mandaraka yang sedang terlibat sengit melawan Ki Sekar Tawang. Meski tidak berulang terus menerus, orang kedua Mataram itu dapat melihat betapa senapati tanggon kebanggaannya terperosok kesalahan yang tidak perlu.
“Sedayu! Angger Agung Sedayu!” teriak Ki Patih Mandaraka sambil menjauhi Ki Sekar Tawang tetapi dalam batas yang memungkinkan untuk mendorong Agung Sedayu. “Apakah engkau tidak bertarung dengan dirimu sendiri? Aku tidak melihat seorang murid Kiai Gringsing di tempat ini. Aku melihat seorang peragu lagi penakut! Sedayu, engkau harus dapat menolong dirimu sendiri!”
Mendengar ucapan yang diteriakkan bersamaan dengan tenaga cadangan, jantung Agung Sedayu terbetot oleh sebuah kesadaran. Mustahil baginya menyelamatkan Sekar Mirah dan anaknya selagi ia teikat perkelahian hidup dan mati di Slumoring. Oleh karena itu, sambil mengeraskan rahang dan menggigit bibir, Agung Sedayu beranjak bangkit. Melawan tekanan dan berusaha memutar balik serangan. Tidak dapat serta merta ia melakukan semuanya secara bersamaan. Tumit Ki Tunggul Pitu menebas datar pinggangnya, lalu diikuti hantaman dengan lengan terjulur deras mengarah dada pemimpin pasukan khusus itu.
Bergerak ke samping atau meloncat surut bukanlah jawaban yang tepat, pikir Agung Sedayu. Segenap kemampuan diarahkan pada dua tempat yang menjadi sasaran serangan lawan. Agung Sedayu mencoba menghentikan rentetan serangan dengan membenturkan pelindung tubuh yang tak tampak mata. Udara panas memancar sangat kuat dari sekujur tubuh Agung Sedayu. Ia mengerahkan kekebalan hingga batas puncak yang dimiliknya!
Keputusan Agung Sedayu tidak berada di dalam jangkauan nalar orang yang menjadi lawannya. Ki Tunggul Pitu terkesiap! Ia terkejut karena tidak menyangka Agung Sedayu dapat bertindak bodoh. Pikirnya, itu adalah jebakan senapati Mataram. Maka, dua serangan itu dibatalkan! “Bila ia menerima serangan dan begitu bodoh membiarkan tubuhnya terpental, barangkali ada serangan maut darinya yang akan memenggal leherku,” bisik Ki Tunggul Pitu.
Guru dari Gendhis pun melempar tubuh ke samping, dengan pikiran yang masih penuh dugaan. Ia pikir, seruan Ki Patih Mandaraka adalah upaya untuk mengecohnya. Dengan sikap kaku membeku, ia berdiri tegak, memandang Agung Sedayu yang bersikap sama dengannya.