“Di mana aku singgah pada sisa malam ini?” tanya Sukra dalam hati.
Sukra memandang sekeliling lingkungannya yang belum pernah dilihatnya. Kehidupan berlangsung seolah tidak ada ancaman, sangat bertolak belakang dengan Tanah Perdikan dan pedukuhan induk. Perasaan Sukra dipenuhi rasa ingin tahu. Ia memang melihat gardu-gardu jaga masih dipenuhi peronda yang kebanyakan berusia lebih banyak darinya. Di penghujung malam itu, Sukra juga menyaksikan para petani berduyun-duyun menuju tempat jual beli dilangsungkan. Para pedagang dari dusun-dusun yang bertebaran di sekitar Randulanang juga terlihat memasuki pusat pedukuhan. Sayup-sayup ia mendengar orang mulai menawar dan menjajakan barang-barnag dagangan.
“Hari pun belum memerah tetapi mereka telah sibuk berniaga,” ucap Sukra lirih dengan mata penuh keheranan. Ketika melihat bangku panjang di samping sebuah kedai, Sukra memutuskan untuk berada di sana sementara waktu sambil menunggu pagi berlari dan orang-orang lebih ramai memenuhi jalanan. Bagi Sukra itu adalah suasana yang tidak menyenangkan. Menunggu sesuatu yang dianggap mencurigakan atau mencari perbuatan dan gerakan yang dapat dilaporkan pada Agung Sedayu menjadi dua hal yang sama-sama sulit diukur. Namun demikian, Sukra merasa tidak yang pantas mengajukan pertanyaan pada orang-orang yang dilihatnya. Itu sangat bodoh, pikirnya. Ia tidak mengenali seorang pun di Randulanang. Satu-satunya pengalih perhatian dan menjadi penenang adalah Gendhis. Ki Tunggul Pitu menyebutkan nama sebuah tempat dengan tanda-tanda yang dapat dikenali sekelilingnya.
Sukra segera mengurai sila, lalu bertanya pada pedagang yang melintas di depan kedai, kemudian melangkah dengan ayunan panjang disertai bunga-bunga hati yang bermekaran.
Sukra bergerak menjauhi pasar induk, memasuki tikungan dengan jalan tak lebih dari dua pedati bersisian, dan tiba-tiba melihat pemuda yang menghisap perhatiannya. Sukra menepi lalu memandang pemuda itu dengan segenap pikiran. Meski tidak begitu mengenal atau memang belum pernah melihat wajah pemuda itu, ada sesuatu yang membuatnya bertanya. “Ia berjalan pongah tetapi banyak orang yang terlihat segan dan hormat padanya. Sepertinya orang-orang tidak mempermasalahkan gaya bicara dan bahasa tubuhnya. Mungkinkah ia anak seorang bekel? Bila benar, aku kira itu wajar. Meskipun tetap saja tampak ganjil bagiku,” desis Sukra dalam hati.
Mungkin Sukra hanya merasakan waktu itu cukup singkat sebelum melihat tiga orang berjalan dengan tergesa-gesa ke pemuda tadi. “Gendhis?” Suara Sukra menggelepar ketika sepasang matanya telah memastikan mereka bertiga. Seketika Sukra tergerak untuk menghampiri gadis jelita itu, tetapi langkahnya tertahan sewaktu Gendhis bertiga bergegas mendekati regol yang dilalui pemuda pongah sebelumnya. Gendhis, yang diiringi dua lelaki yang berjalan sedikit di belakangnya, secara mengejutkan seolah menyumbat peredaran darah pemuda dari Menoreh itu.
“Betul-betul tak aku kira dapat melihatnya pada pagi ini, tetapi siapa sebenarnya gadis itu? Jika memperhatikan bangunan di balik regol, sudah pasti itu bukan rumah orang biasa,” pikir Sukra. Sesaat ia menunggu perkembangan sebelum memutuskan : membuntuti Gendhis hingga memasuki halaman bangunan atau menunggu di ujung persimpangan.
Selagi mereka berjalan ke arah regol, Sukra memandang semuanya dengan pengamatan tajam. Jarak Sukra tidak terlampau jauh dari regol. Bentangan jarak yang memadai untuk melihat gerak gerik yang penuh makna. Ia sadar bahwa pengintaian kali ini jauh berbeda dengan yang pernah dilakukannya bersama Agung Sedayu. Di Randulanang, keselamatan Sukra sangat tergantung pada kemampuannya membaca keadaan. Bila ia tertangkap basah, tidak ada orang yang dapat menolongnya keluar dari perkelahian. Dan, itu berarti napasnya akan berakhir di pedukuhan yang tenang di permukaan. Pikiran Sukra belum dipenuhi percabangan yang lebih rumit dari kemungkinan-kemungkinan itu. Berhati-hati adalah pesan tegas bagi Sukra dari hatinya.
Dari tempat yang terlindung rimbun daun kamboja, Sukra menatap lekat wajah pemuda yang tersenyum penuh arti dengan sorot mata aneh ketika berpapasan dengan Gendhis bertiga.
“Aku adalah pemuda terkemuka di pedukuhan ini. Simbara, itu namaku. Kalian bertiga akan bertamu di rumahku? Benar begitu?” Ucapan Simbara terdengar sedikit jelas dari tempat Sukra. Udara di sekitar mereka tidak begitu ramai dengan hilir mudik suara-suara yang biasa menggaung.
Gendhis mengerutkan kening. Ia tidak begitu senang – tampaknya – dengan sikap Simbara. Sebelum ia menjawab, seorang pengawalnya menyahut lebih cepat, “Bisa jadi itu benar, Raden. Maafkan kami yang belum mengenal Raden tetapi nama Raden sudah datang lebih dulu di telinga kami.”
Gadis jelita itu terdengar mendengus meski pelan. Cemberut terlihat jelas pada garis-garis wajahnya. Walau tidak setuju dengan ucapan pengawalnya, Gendhis dapat mengerti bahwa mereka harus menjalankan siasat demi siasat dengan cara yang halus. Ia memaksakan diri untuk menyungging senyum dengan bada sedikit membungkuk, lalu diikuti dua pengawalnya.
“Paman sekalian, Paman sedang mengiringi dan menjaga karunia cantik yang pernah ada di pedukuhan ini. Aku minta Paman berdua benar-benar menjaga dengan hati dan nyawa milik Paman. Akan tiba saat bagiku untuk menjemput karunia itu dengan kereta kencana. Semua perempuan memimpikan kereta yang ditarik enam ekor kuda dan kemewahan yang menyentuh garis-garis langit. Aku kira tidak ada keberatan bagi Paman melakukan itu bagiku. Benar, Paman?”
“Sesuai kehendak Raden.” Mereka berlalu setelah Simbara menyibak jalan dengan sikap anggun.
Dalam waktu itu, Dua pengawal Gendhis sanggup membuatnya lupa diri sesaat. Mereka lolos dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin meluncur tak terkendali dari mulut Simbara. Sedangkan mereka wajib menjaga tujuan gerakan secara tersembunyi dan tak tersentuh udara. Menyapa Simbara dengan sebutan yang jarang diucapkan oleh orang-orang biasa. Gelar yang jarang diumumkan kecuali dalam pagelaran atau kegiatan khusus, namun ‘Raden’ telah meniup Simbara hingga menembus batas cakrawala.