Agung Sedayu tidak mempunyai jawaban apabila pertanyaan itu benar-benar dilontarkan Ki Warna padanya. Sesaat suasana di antara mereka pun membeku. Namun selalu ada cara untuk mencairkan suasana. Agung Sedayu mengalihkan pembicaraan agar percakapan mereka dapat berangsur-angsur membaik.
“Paman,” kata Agung Sedayu, “selalu ada yang berbeda setiap kali saya melewati jalan ini.”
“Begitukah?” Ki Warna merasakan getar yang aneh pada suara Agung Sedayu.
“Ya. Setiap pohon seolah mempunyai pesan bagi setiap orang yang melintas. Sepertinya mereka ingin berkisah bahwa di tempat ini pernah terjadi perang. Di tempat ini pula, harapan Sangkal Putung bermuara. Yang mengesankan adalah tidak ada orang yang menebang pohon-pohon di sekitar tempat ini. Paman dapat melihat itu.”
“Saya setuju dengan Anda, Ki Rangga. Jalanan ini pun pernah menjadi saksi ketika kelaparan datang mengancam kademangan ketika pasukan Tohpati mengurung kami berpekan-pekan.”
Agung Sedayu dan Ki Warna menepi. “Hijau dan tenang,” ucap Agung Sedayu saat tatap matanya bertumbuk pemandangan yang terhampar di hadapannya.
“Sawah dan lereng di sekitar kademangan begitu hijau. Derit roda pedati dan suara gembala adalah perputaran sebenarnya dari kehidupan di Sangkal Putung. Kita mendengar itu, Paman. Kemakmuran kademangan menimbulkan kesan yang berbeda pada pedagang dan pengembara.”
“Seperti yang kita lihat, anak-anak tumbuh sehat dan baik-baik saja. Begitu pula mereka yang berusia lanjut pun mendapat perlakuan hormat, maka dengan begitu setiap orang dapat menilai Sangkal Putung sedang dalam keadaan terbaik. Ki Rangga, alasan-alasan itulah yang mendorong kami untuk meminta Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah segera kembali ke Sangkal Putung. Daerah sekaya ini, tentu saja, tidak dapat dibiarkan berputar tanpa pemimpin.”
Udara dengan aliran panjang merayap cepat memasuki saluran pernapasan Agung Sedayu. “Sesaat lagi, kita akan ditimpa musibah besar,” desis hati Agung Sedayu.
“Ki Rangga,” kata Ki Warna, “saya tidak dapat berlama-lama lagi. Kebutuhan hidup tengah memanggil dengan teriakan-teriakan kencang.”
Senyum Agung Sedayu mengembang. “Ya. Marilah, kita sedang ditunggu perkara-perkara yang selalu sabar menanti penyelesaian.”
Ki Warna pun minta diri, kemudian berlalu dengan derit pelan roda pedati meninggalkan perbatasan Sangkal Putung.
“Kalau siang ini Raden Atmandaru mengirim lima puluh orang untuk memanaskan keadaan, tentu Sangkal Putung akan rata dengan tanah begitu cepat. Dan apa yang harus aku katakana di depan Sekar Mirah tentang kakaknya?” Jalan pikiran Agung Sedayu mengguncang jiwanya dengan getaran yang sulit dibayangkan. Mengundurkan diri dari keprajuritan Mataram menjadi jalan yang terbuka baginya. Karena, dengan begitu, ia dapat menuntaskan pencarian kitab gurunya dan Swandaru. Tetapi, apa yang akan diucapkan oleh istrinya?
“Ah, mungkinkah Sekar Mirah telah mendapatkan kabar hilangnya Swandaru? Ya, mungkin saja. Mungkin Pandan Wangi pun telah menerima berita itu. Sering kali sebuah peristiwa datang lebih cepat daripada angina yang berhembus,” Agung Sedayu bcara sendiri tanpa suara. Bayang-bayang buruk datang menghantuinya. Meskipun ia tidak merasa takut pada perpisahan tetapi itu bukan akhir baginya. “Bagaimana mungkin aku meninggalkan Sekar Mirah yang tengah membawa karunia dalam tubuhnya?”
Ki Gede, Ki Waskita dan Ki Jayabaya? Agung Sedayu menghunjamkan mata pada langkah kakinya. Ia berpikir keras mengenai jalan keluar tanpa mengabaikan perasaan buruk yang menghampirinya. Agung Sedayu telah melewati banyak jalan terjal dalam hidupnya. Dari perpisahan yang terjadi di medan perang hingga akhir dari sebuah perkampungan. Tetapi, kali ini, ia seolah menemukan jalan buntu setiap kali berpikir tentang Swandaru dan kitab gurunya. Bahkan, perjanjiannya dengan Ki Tunggul Pitu telah diyakininya akan menjadi akhir dari kehidupannya sebagai prajurit.
“Namun itu belum terjadi,” bantah Agung Sedayu. Ia mencoba menepis kemungkinan terburuk. Ia berusaha mengabaikan kemungkinan hukuman mati yang diterimanya dari Panembahan Hanykrawati. Membayangkan pengkhianat dihukum mati dengan cara diseret atau disula sebenarnya masih dapat diterimanya sebagai sebuah wawasan, namun pada awal hari itu, ketegaran hati Agung Sedayu seolah lenyap dari sinar matanya.
“Apakah ini yang dikatakan orang-orang sebagai kehidupan yang tidak beruntung?” pikir Agung Sedayu murung. “Aku dikelilingi oleh orang-orang yang selalu melimpahkan kasih sayang yang besar. Aku beristri seorang putri demang dengan wilayah yang tidak dapat dikatakan kekurangan. Aku dipercaya untuk mengawasi sebuah tanah perdikan. Dan? Lihatlah aku, lihatlah aku yang disebut orang sebagai senapati jaya kanuragan tengah berada di sudut jalan.”