SuaraKawan.com
Bab 3 Membidik

Membidik 35

Seorang prajurit yang berada di barisan depan memberi isyarat, mereka tidak lagi merayap maju namun menyebar tanpa merusak susunan yang benar-benar rapi serta terukur. Kini, jarak mereka hanya selemparan tombak dari batas luar permukiman.

Seketika, pada saat lengking suitan berhenti berkumandang, mereka berhenti. Lelaki, yang menurut Agung Sedayu adalah Raden Atmandaru, tegap melangkah mengitari baris depan dari ujung ke ujung. Lantang ia berkata, “Aku melibatkan kalian hingga kita tiba di tempat ini. Aku tidak menjanjikan pada kalian tentang tanah dan harapan. Aku tidak berkata pada kalian tentang pangkat dan jabatan. Tetapi aku berkata pada kalian bahwa tidak semestinya seorang panembahan menginjak harga diri seorang saudaranya, benar begitu?”

Gemuruh orang serempak menyahut dengan seruan panjang, “Hey!”

“Bila kita berada di sini untuk merebut tahta Mataram, bukankah itu dapat kita lakukan dengan mudah. Benar begitu?”

“Hey!” Sekali lagi mereka menjawab dengan gemuruh panjang.

Tiba-tiba suasana di batas luar Sangkal Putung berubah menjadi lautan semangat orang-orang yang seolah menggantungkan sebuah harapan pada sesuatu. Sorak sorai bersahutan menggantikan lengking dan lolongan panjang. Tanpa henti mereka meneriakkan kata-kata, “Hidup Raden Atmandaru.”

Raden Atmandaru mengangkat kedua tangannya. “Tidak! Tetapi itu tidak kita lakukan sekarang,” seru lelaki yang kini berjalan ke tempat asalnya. “Para pengikutku, kita tidak dapat percaya pada yang kita lihat dan kita dengar. Kita tidak dapat percaya pada kedua mata kita meski kita melihat sesuatu yang berwujud. Segala sesuatu selalu ada tempat untuk menimbang dalam jiwa dan pikiran kita.”

Sejenak ia berhenti lalu mengedarkan pandang berkeliling. Hening mendatangi permukiman Raden Atmandaru. Ketika ia berkata untuk pertama kali, para pengikutnya telah bungkam dan  mendengarkannya. Kata-kata yang dilontarkannya seperti menyiramkan air pada nyala api unggun, namun ia tahu bara tidak pernah padam di balik dada pengikutnya. Tidak ada orang yang bersuara, tidak ada orang yang berteriak, semua kembali seperti saat sebelum ia mengucapkan kata-kata.

Dalam waktu itu, Agung Sedayu tidak berbuat sesuatu, Tidak pula menggerakkan telapak kaki sekadar berjarak sejengkal. Itu seperti menuangkan minyak ke dalam tungku, pikirnya. Ia hanya memandang, mengamati dan diam. Meski demikian, perasaan Agung Sedayu dipenuhi gejolak kagum pada pengikut Raden Atmandadru. Mereka mempunyai kepatuhan luar biasa dan keteguhan hati yang tidak kalah dengan Mataram. Apabila pemimpin mereka menghendaki, maka benarlah yang dikatakan oleh Raden Atmandaru bahwa merebut Mataram adalah pekerjaan yang mudah, demikian jalan pikiran Agung Sedayu yang berjarak begitu dekat dengan mereka.

“Ketika seorang lelaki meninggalkan seorang perempuan berperut besar, aku bertanya pada kalian, hukuman apa yang pantas untuknya?” bertanya Raden Atmandaru pada pengikutnya.

“Mati. Mati. Mati,” teriak mereka serempak dengan tangan terkepal dan mengacung tinggi ke angkasa.

“Tetapi kalian paham bahwa aku bukan orang semacam itu,” kata Raden Atmandaru, “kalian telah mengenalku dalam batasan tertentu namun kalian tidak pernah sekali pun mendapatiku sedang membunuh orang lain. Saudara-saudara, lelaki itu telah mati dan kita berada di tempat ini tidak untuk menghukumnya. Kita sudah melewati masa itu. Yang kita lakukan, yang harus kita kerjakan sekarang ini adalah mengubah Mataram menjadi tanah yang lebih bermartabat. Dan itu adalah aku sebagai orang yang akan melakukannya.”

Kini mereka berteriak-teriak seperti sedang kerasukan sesuatu. Mereka mengucapkan kata-kata yang tidak jelas berulang-ulang. Agung Sedayu melihat kejadian itu sebagai pertanda bahwa tanah Mataram telah terbakar semangat pengikut Raden Atmandaru.

Di tengah-tengah pekik yang bergelora sambil mengayunkan senjata ke udara, mereka menyerukan Raden Atmandaru untuk segera memaksa turun Panembahan Hanykrawati.

Udara kembali dipenuhi suara yang melengking tinggi dan lolongan panjang. Gempita sorak pengikut Raden Atmandaru tiba-tiba mereda. Sekelebat senjata menyilang di angkasa, mendesing dengan nada yang menggetarkan gendang telinga. Tubuh Raden Atmandaru berloncatan ke segala arah dengan menggunakan bagian atas anak buahnya sebagai tumpuan. Kaki dan tangannya bergerak-gerak dengan tata kanuragan tertentu yang hanya dapat dikenali oleh yang berilmu tinggi. Raden Atmandaru seolah menunjukkan kehebatan di depan pengikutnya.

Nyata terpampang di hadapan Agung Sedayu pada malam itu bahwa kemampuan orang yang mengaku sebagai anak Panembahan Senapati benar-benar patut diperhitungkan!

Related posts

Bulan Telanjang 19

Redaksi Surabaya

Membidik 61

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 17

Redaksi Surabaya