SuaraKawan.com
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 72 – Gondang Wates

Beberapa anak buah Ki Sarjuma atau Ki Dirgasana melihat tandang Sayoga. Mereka ingin menghentikannya dengan lontaran anak panah atau melemparkan benda-benda di sekitar, tetapi Sayoga begitu dahsyat meluncur dan menerjang! Tubuh pemuda itu berloncatan gesit dan tiada henti mematuk prajurit lawan yang menghalang di jalurnya. Seperti memiliki sepasang mata, kekacauan  berbalik arah.

Pandang mata Ki Panuju mengikuti bayangan Sayoga dengan perasaan lain. Ia bertanya-tanya dalam pikirannya, bagaimana Sayoga dapat membedakan lawan sedangkan kepekatan malam sulit diurai?

Dan sepertinya pertanyaan itu tidak akan mendapatkan jawaban. Perhatian Ki Panuju semakin menitik kecil ketika pedang kayu Sayoga telah berkelebat dan menggaung di udara.

Semakin dekat jarak dengan orang yang diperkirakan menjadi pangkal kacaunya siasat Agung Sedayu, Sayoga menggerakkan pedang dengan tata gerak seolah-olah tengah berada di tengah padang rumput. Sepintas terlihat ngawur. Benar-benar tidak beraturan! Sekali waktu Sayoga menjatuhkan diri, menebaskan pedang dengan tubuh telentang seakan menantang lawan-lawan di sekitarnya!

Tiba-tiba Ki Panuju terserang cemas. Kecemasan yang meningkat sangat tajam. “Apakah Sayoga hilang kesadaran?”

Pikiran dan pertanyaan yang sama pun menghampiri pemimpin di bagian sayap kanan Raden Atmandaru. Sebenarnya ia ingin menunggu Sayoga memasuki ruangan yang berada dalam jangkauannya. Namun tata gerak Sayoga yang mendadak menjadi kacau ternyata menyentuh perasaannya. Ia terpancing, melompat panjang dengan rencana mengikat Sayoga  lalu membantai pemuda itu.

“Bagus!” pekik Sayoga dalam hatinya. Begitu dapat mengenali orang yang tiba-tiba menyerangnya, Sayoga bersuara lantang, “Aku melihat pokalmu di Janti. Kita berhitung sekarang!” Sayoga melejit lalu menggebrak dahsyat.

Ki Sarjuma terkejut. Sedikit terbelalak, ia memandang Sayoga tak percaya. Tidak ada waktu baginya untuk menggerutu atau mengomel seperti biasa yang dilakukannya. Ia sadar telah terseret dalam pusar perkelahian yang berpusat pada Sayoga. “Benar-benar licin dan belut yang sangat berbahaya!” geram Ki Sarjuma.

Ki Sajuma sungguh-sungguh dengan ucapannya. Lawannya yang berusia muda itu benar-benar meningkat pesat. Olah gerak Sayoga menjadi luar biasa dan jauh berbeda dibandingkan perkelahian pertama kali di Menoreh. Sekalipun watak dasar tata gerak Sayoga tidak mengalami banyak perubahan, tetapi ragam kembangnya begitu banyak dan sulit ditebak. Satu hal yang belum beranjak dari jalan pikiran Ki Sarjuma adalah gerak pedang Sayoga. Ini seperti  mengingatkannya pada seseorang yang menggentarkan hati di masa lampau. Murid siapakah sebenarnya anak ini?

Segera teringat olehnya keajaiban yang mengejutkan saat pertarungan mereka beberapa waktu sebelumnya. Ki Sarjuma bertarung dengan lebih hati-hati. Ia segera meningkatkan kekuatannya selapis demi selapis. Berbanding dengan perkelahian yang semakin menanjak, Ki Sarjuma berbulat rasa utuk menutup napas Sayoga pada malam itu juga. Bila anak muda itu lolos dari cengkeramnya, maka kedudukannya akan menjadi buruk di masa mendatang. Bagaimana seseorang dengan kemampuan sepertinya dapat takluk di bawah tangan anak yang masih sering kabur kanginan?  Pikiran Ki Sarjuma pun tertuju pada perkelahiannya sendiri, terpusat pada Sayoga. Baik perasaan malu, marah dan kecewa segera membaur lalu mengaduk-aduk rongga hatinya. Mantaplah dan semakin kuat ia mendatangkan gelombang serangan yang berbahaya.

Namun Sayoga bertarung dengan cara luar biasa dan itu benar-benar tidak memberinya waktu untuk membagi perhatian. Tidak mudah merobohkannya dalam waktu singkat. “Angel, angel tenan!” desis Ki Sarjuma dalam hati lalu meneriakkan sejumlah perintah pada orang-orang kepercayaannya. Kemudian ia menghadapi Sayoga dengan segenap yang melekat pada dirinya.

“Apakah engkau tidak akan menangisi hilangnya masa mudamu?”

“Sudahlah, diam. Aku tidak ingin bercakap-cakap denganmu malam ini.”

Nada merendahkan keluar dari bibir Ki Sarjuma. “Hanya orang-orang bodoh yang berpegang teguh pada Agung Sedayu dan Panembahan Hanykrawati.”

“Biarlah itu menjadi urusan kami.”

Sayoga berusaha mendesak Ki Sarjuma dengan tikaman pedang yang bergantian dengan sepasang kaki membadai mengirim tendangan. Percakapan mereka, usaha Ki Sarjuma mengoyak ketahanan batin Sayoga pun terhenti. Ia mulai sibuk melindungi diri dengan tangkisan-tangkisan yang tak kalah cepat dengan gerak kaki Sayoga. Sejenak ia meloncat surut, menghindar terjangan pedang kayu Sayoga yang bergerak silang dari bawah.

Berkat ilmunya yang mampu membuat sepasang tangannya sanggup mempunyai watak benda tajam, Ki Sarjuma membalas serangan Sayoga. Dalam waktu beberapa kejap mata, perang tanding mereka melonjak sangat dahsyat. Mereka seolah berkelahi dengan banyak senjata. Sepasang lengan Ki Sarjuma bercuitan setiap kali mengejar pergelangan tangan Sayoga. Dan sebaliknya, pedang kayu Sayoga terus-menerus berusaha melibat dan menghimpit lawannya dengan lambaran tenaga inti yang tidak dapat dikatakan rendah.

Sekali debuk terdengar dan menggetarkan isi dada ketika lengan Ki Sarjuma bertumbuk pedang kayu Sayoga. Sejenak mereka saling memutar lengan, berkejaran dalam lingkaran untuk melumpuhkan sendi-sendi tangan lawan. Lalu keduanya mundur dengan hentak kaki yang sangat kuat.

Kelamnya malam tidak menghalangi Ki Sarjuma untuk melontarkan serangan rahasia melalui satu sisi kakinya. Ia menendang permukaan tanah, lalu melesatlah serpihan tanah dan kerikil menyambar seluruh tubuh Sayoga.

Pengalaman membuat Sayoga lebih tangguh dan mempunyai kewaspadaan lebih tinggi. Sayoga bergeser selangkah samping. Memutar tubuh dengan gerakan indah lalu meluncur deras dengan tusukan pedang pada bagian tubuh berbahaya.

Related posts

Berhitung 13

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 22 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Lembah Merbabu 23

Ki Banjar Asman