Utusan Ki Gatrasesa semakin kuat membentak kuda agar semakin laju. Di ujung penglihatannya, regol pedukuhan induk telah terlihat. Cahaya obor tidak mampu menjangkau daerah sekitar gardu jaga, sepertinya Agung Sedayu memang memerintahkan mereka agar berlindung di balik remang. Sekelompok penjaga tampak menyebar dalam keadaan waspada. Tidak banyak yang mereka lakukan selain mengamati keadaan sekeliling dengan perasaan tegang. Sekali-kali mereka saling bercakap namun itu hanya sebatas kegelisahan menunggu serangan Raden Atmandaru yang belum juga menerjang.
“Di semua padukuhan pun terlihat sama. Jika keadaan ini tetap terjaga, sebenarnya nyaris tidak ada jalan bagi tikus untuk menyelinap,” bisik penghubung itu pada dirinya. Namun ia membantahnya sendiri, “Tetapi yang dihadapi Sangkal Putung bukanlah segerombolan hama yang mudah dihalau!”
Seorang pengawal yang bertubuh besar dan tengah bersandar pada pohon menapak maju. Ia telah melihat penghubung semakin dekat ke arah mereka. Ketika beberapa kawannya terlihat akan menghadang laju utusan dari Pedukuhan Janti, pengawal bertubuh besar itu bersuara lantang, “Biarkan ia lewat. Penunggang itu membawa panji Ki Gatrasesa!”
Seketika para penjaga gerbang menepi. Mereka merendahkan lutut dengan senjata yang siap melesat. Meski mereka percaya pada kata-kata temannya yang bertubuh besar, sikap waspada tidak dapat mereka tinggalkan. Karena waktu tempuh dari Pedukuhan Janti ke pedukuhan induk dapat menjadi sebab yang mengerikan. Tetapi kekhawatiran itu tidak terjadi, penghubung dari Janti melambaikan panji sambil berpaling hormat pada pengawal yang berteriak. Ia tidak mengurangi laju kudanya. Kurang dari waktu sepenginang sirih penghubung telah sampai di banjar pedukuhan.
Agung Sedayu melompat turun dari banjar pedukuhan menyambut utusan Ki Gatrasesa. Sejenak mereka bertukar sapa, kemudian kata Agung Sedayu, “Marlah, kita bicara di banjar.”
Sambil melangkah ke bagian tengah banjar, Agung Sedayu berkata pada penghubung, “Aku telah mengirim utusan ke Pedukuhan Janti. Keadaan di sana setidaknya telah memberiku gambaran kasar tentang yang kalian hadapi. Api di pedukuhan kalian terlihat dari gardu pengamat.”
“Saya berpapasan dengannya tetapi agar tidak ada kecurigaan di antara kami, saya bersembunyi.”
Agung Sedayu memandangnya heran, sesaat kemudian ia manggut-manggut. Untuk beberapa lama, senapati Mataram ini hanya berdiam diri setelah penghubung dari Janti menyampaikan pesan dari Ki Gatrasesa. Ia merasakan kesulitan untuk menerka arah serangan Raden Atmandaru. Pikirnya, jika tujuan utama Raden Atmandaru adalah menjadikan Sangkal Putung sebagai lumbung dan pijakan pertama untuk menduduki Mataram, maka alasan apakah yang menguatkan Pedukuhan Janti menjadi sasaran pertama? Apakah Raden Atmandaru bermaksud memotong bantuan dari Tanah Perdikan yang menyimpan kekuatan besar di dalamnya, termasuk pasukan khusus? Atau sebenarnya ia menghadapkan wajah pada Tanah Perdikan dan Mataram hanya sebagai pengalih perhatian saja? Sungguh tidak mudah memperkirakan tujuan Raden Atmandaru sebenarnya.
Ataukah mungkin Raden Atmandaru berkeinginan menguasai Sangkal Putung lalu memisahkannya dari Mataram? Semua alasan itu masuk akal!
Agung Sedayu mengingat pembicarannya dengan Ki Tunggul Pitu. Meskipun Ki Tunggul Pitu tidak mengatakan sebenarnya tentang tujuan junjungannya, Agung Sedayu dapat meraba bila Mataram adalah akhir perjalanan Raden Atmandaru. Namun keyakinan itu sedikit bergeser ketika mengetahui serangan pertama Raden Atmandaru justru berawal dari titik terjauh.
“Bila benar Pedukuhan Janti menjadi titik serangan yang pertama, itu berarti Raden Atmandaru mengambil jalan yang lebih jauh.” Agung Sedayu menghela napas dalam-dalam.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Bab 4 Kiai Plered” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”cat” orderby=”rand”]
“Tapi bukankah itu akan membuang waktu dan kesempatan baginya karena bantuan Mataram dapat tiba setiap saat,” sahut penghubung Ki Gatrasesa.
Mendengar ucapan itu, Ki Rangga Agung Sedayu bertanya pada hatinya, “Apakah masih ada waktu untuk mengubah gelar dan kedudukan para pengawal? Aku tidak tahu. Dan sepertinya perubahan dapat menyebabkan kegaduhan di antara mereka. Yang lebih buruk lagi, mereka akan semakin resah.”
Perlahan Agung Sedayu bertanya, “Apakah kalian telah gelisah menunggu?”
“Benar, Ki Rangga. Gelisah telah menjadi musuh yang harus kami hadapi pertama kali pada malam ini.”
Kekhawatiran tanpa sebab tiba-tiba datang lalu mengganjal pikiran Agung Sedayu. Lantas ia memanggil seorang pengawal kemudian memerintahkannya agar mengundang Pandan Wangi untuk datang ke banjar. Dalam waktu itu, Agung Sedayu dapat menangkap pertanyaan yang tidak terlontar dari penghubung, lalu katanya, “Aku tidak dapat mengandalkan Ki Jagabaya maupun Ki Sarwaguna untuk mempertahankan pedukuhan induk. Pandan Wangi dapat membantuku di salah satu sisi atau mungkin menggantikanku di sini.”