Untuk sesaat mereka bingung bercampur heran seusai Dharmana memerintahkan mundur, tetapi ketika Ki Panuju mengulang perintah maka mereka sedikit mengerti. Semangat pengawal pedukuhan merosot walau tak securam tebing Merapi. Hati mereka ingin bertanya, mengapa diperintahkan mundur? Apakah pertanyaan dapat ditunda? Ke mana mereka mundur?
Tidak banyak waktu yang mereka miliki. Waktu yang tersisa semakin sempit karena Dharmana tidak menunggu mereka mengambil sikap atau bersuara keberatan.
Pada bagian lain.
Sepak terjang Sayoga benar-benar merepotkan Ki Dirgasana yang masih banyak menghindar, sementara waktu, maka keadaan itu dimanfaatkan oleh Ki Panuju mendekati Dharmana. Lurah prajurit Mataram itu mengerahkan segenap tenaga untuk mengoyak barisan prajurit Raden Atmandaru yang mulai berada di atas angin.
“Ke mana tujuan kita?” tanya Ki Panuju.
“Watu Sumping,” jawab Dharmana sambil menganggukkan kepala.
Ki Panuju mengulangnya dengan gumam, “Watu Sumping.” Sinar matanya menyiratkan bahwa sesungguhnya Ki Panuju belum mengerti. Dharmana lantas memberi tanda agar Ki Panuju berada di belakangnya dalam jarak tertentu.
Tempat yang disebutkan oleh Dharmana terletak di dekat banjar pedukuhan. Sebuah tanah lapang yang terdapat batu datar besar dan sekilas berbentuk seperti bagian telinga. Orang-orang Gondang Wates menandainya dengan sebutan khas. Dengan begitu, orang akan dapat membayangkan letaknya setiap kali nama tempat itu diucapkan. Dan itu pula yang membedakannya dengan kebanyakan tanah lapang lain di pedukuhan.
Berulang-ulang Dharmana memberi tanda agar segera mundur. Melihat kesungguhan Dharmana serta Marmaya memberi perintah dan mencegah pengawal melakukan serangan balik, mereka tidak lagi memperoleh alasan keberatan. Meski setengah hati dan pertanyaan yang belum terjawab, pengawal pedukuhan cepat menyusun gelar untuk menyumbat langkah pengejaran musuh. Garuda Nglayang menjadi pilihan terbaik menurut Marmaya. Maka, segera tiga orang menempatkan diri sebagai ekor yang menghambat arus serangan musuh mereka. Mereka bergantian, sesuai saran Ki Panuju sebagai orang yang lebih berpengalaman. Tiga atau empat orang akan mengganti kedudukan mereka, lalu yang digantikan akan berada di belakang atau menempati lambung dari gelar. Dan secara keseluruhan pemimpin gelar akan terus membawa pasukannya mundur hingga Watu Sumping.
Dalam waktu itu, Ki Panuju berpaling ke jurusan tempat Sayoga bertarung sengit. Dilihatnya anak muda Menoreh itu masih berbaku senjata dengan Ki Dirgasana. “Tidak mungkin Sayoga tidak mengetahui gerak mundur ini, tetapi bila aku terjun ke dalam lingkaran itu, apakah kami berdua dapat melepaskan diri dari keroyokan lawan?” Ki Panuju bimbang hati, meski begitu ia memutuskan untuk melambatkan langkah. Bahkan sekali-kali ia menempatkan diri sejajar dengan bagian ekor dari Garuda Nglayang. Kehadiran Ki Panuju di bagian belakang pengawal pedukuhan ternyata memberi kesempatan bagi Dharmana dan Marmaya untuk menata ulang siasat berikutnya di Watu Sumping.
Jarak mereka masih cukup jauh sementara kelebat bayangan Sayoga semakin samar dilihat.
“Kakang, bagaimana dengan Sayoga?” Marmaya bertanya.
Dharmana tidak lekas menjawab. Ia merasa bersalah karena meninggalkan Sayoga seorang diri di depan gardu jaga. “Mungkin aku membuat keputusan yang salah,” desahnya lirih.
Marmaya yang sekali-kali memalingkan muka ke belakang kemudian berkata, “Kita masih dapat kembali untuk menjemputnya. Dapatkah kita lakukan itu?”
Dharmana meragu. Dengan langkah kaki tersaruk-saruk sambil menyentuh luka-lukanya, ia berkata, “Jika demikian, para pengawal akan menjadi bingung dengan penjemputan itu. Bagaimana kita dapat mengerti isi hati mereka yang mungkin menjadi liar nantinya?”
“Betul juga.”
Dharmana dan Marmaya bertukar pandang dengan cemas. Hanya belasan langkah lagi mereka akan menghilang di balik kelokan panjang, lalu Sayoga segera menghilang dari pengamatan mereka. Barangkali memang tidak ada yang terpikir oleh mereka berdua selain mengharap keajaiban saja. Di tengah mereka ada Ki Panuju, boleh jadi keduanya berharap pada lurah Mataram yang belum terlihat lelah sepanjang pertempuran itu.
Udara masih tetap dingin. Rerumputan yang memenuhi pategalan pada dua sisi mereka pun hanya bergoyang. Cahaya bulan terlihat suram dengan mendung yang menggantung membayang.
“Sayoga!” Anak muda inilah yang memenuhi pikiran Ki Panuju, Dharmana dan Marmaya. Masing-masing mungkin mempunyai alasan atau pikiran yang berbeda mengenai keadaan Sayoga. Dalam benak Dharmana, bisa jadi akan menjadi bidikan lunak apabila bala bantuan musuh telah menguasai daerah itu. Pun Ki Panuju yang cukup berhati-hati menentukan pendapat tentang masalah ini. Jalan pikiran Marmaya juga berlainan. Pikir Marmaya adalah lebih baik Sayoga meninggalkan laga dengan mengabaikan ucapan orang di kemudian hari. Tidak ada percakapan di antara mereka terkait perasaan dan pikiran masing-masing selain usaha keras melepaskan diri dari kejaran musuh, lalu tiba dengan selamat di Watu Sumping.
Sedangkan Sayoga sendiri mengikuti secara diam-diam pergerakan mundur pengawal pedukuhan yang dipimpin oleh Dharmana. Ia tidak merasa susah hati, bahkan sebaliknya. “Bila keputusan ini dapat menghindarkan mereka dari ancaman lain, Watu Sumping adalah tempat berlindung terbaik,” batin Sayoga berkata. Sekilas ia mendengar nama tempat itu disebutkan oleh Agung Sedayu ketika memberi pesan pada Dharmana sebelum mereka meninggalkan pedukuhan induk. Hanya saja Sayoga belum mengerti dasar Dharmana memutuskan mundur. “Bukan tempatku bila bertanya tentang alasan kakang Dharmana. Yang aku tahu hanyalah Watu Sumping adalah tempat berkumpul bila perbatasan Gondang Wates berada dalam kuasa musuh,” kata Sayoga dalam hatinya selagi terlibat rapat dalam perkelahian seru melawan Ki Dirgasana.
Sejenak ia meloncat surut dan ternyata membuat Ki Dirgasana menjadi geram.
“Apakah engkau masih memiliki keberanian? Atau kau ingin menyusul kawan-kawanmu yang ingin menetek pada ibu mereka?” Ki Dirgasana bertanya dengan wajah bengis.
Sayoga menjawabnya dengan pengerahan penuh ilmu pedangnya. Semakin cepat senjata Sayoga berputar-putar lalu menggulung tombak Ki Dirgasana. Sekejap, hanya sekejap gulungan pedang Sayoga menghimpit putaran tombak Ki Dirgasana. Yang terdengar kemudian bukanlah dentang logam beradu, tetapi dentum batang pohon besar yang berdebum.
Belum dapat dikatakan sempurna tentang penguasaan Sayoga terhadap ilmu Serat Waja. Namun pertemuan singkat dengan ayahnya di Tanah Perdikan cukup membuatnya sedikit masak. Lepasan Serat Waja pun berubah-ubah sesuai dengan tata gerak Sayoa. Kadang pedang kayu itu begitu lekat menempel tombak Ki Dirgasana, tetapi sering pula mereka bertabrakan lalu memantul liar.