SuaraKawan.com
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 23 – Pedukuhan Janti

Mangesthi menerjang ke tengah kerumunan orang-orang yang sedang bertempur dengan sengit. Dengan bersenjata sebatang ranting yang erat ,melekat pada tangan kanan, Mangesthi  begitu dahsyat membuat barisan pengawal kademangan menjadi porak poranda. Walau demikian semangat pengawal Sangkal Putung tidak terkikis habis, sebaliknya, mereka kian kencang meneriakkan gelombang semangat yang hebat. Kemampuan tempur yang setingkat lebih rendah dari pasukan Raden Atmandaru memang mengendurkan gelar panjang rancangan Ki Gatrasesa, tetapi para pengawal Sangkal Putung bahu membahu dan saling bergandeng tangan agar tetap tegak mempertahankan batas wilayah.

Adalah Ki Gatrasesa yang menaruh harapan pada pengawal di sayap ini. Selain permukaan tanah yang sulit, kelebihan lain adalah pengawal kademangan dapat mengurung musuh dengan hujan anak panah, tombak maupun bebatuan apabila mereka dapat melewati lembah curam yang menjadi batas pedukuhan. Sepertinya rencana itu memang berjalan lancar. Bahkan tanpa hambatan sama sekali. Pada tempat itu, pengawal kademangan benar-benar menguasai keadaan. Mereka lebih mengenal daerah. Setiap ceruk dan tanah bergelombang berada di luar kepala mereka.

Tetapi Mangesthi menghancurkan harapan Ki Gatrasesa.

Dalam waktu yang tidak begitu lama, dalam kepungan dan hujan senjata para pengawal, Mangesthi gesit berloncatan seolah-olah ia juga mengenal sangat baik keadaan di sayap utara. Kakinya terus menerus mengalirkan gelombang serang sehingga setiap pengawal yang bersentuhan dengannya pun terlempar, melayang lalu terjungkal. Setiap kali ranting, yang menjadi senjatanya, beradu keras dengan senjata pengawal, maka yang muncul ialah rasa heran!

Semenjak ia terlibat dalam pergerakan Raden Atmandaru, Mangesthi membulatkan tekad bahwa ia tidak akan membunuh orang-orang yang berkemampuan jauh di bawahnya. “Mereka tidak akan mendatangkan bahaya bagiku di laga. Aku tidak mempunyai alasan kuat untuk membunuh mereka meski Raden Atmandaru memerintahkan itu,” kata Mangesthi di depan ayahnya, di masa lalu.  Pada akhir malam itu, keteguhan Mangesthi benar-benar teruji. Sekalipun banyak pengawal yang roboh oleh sabetan ranting tetapi tidak ada seorang pun yang terbunuh oleh tangannya.

Ketahanan jiwani pegawal kademangan pun terkikis ketika Mangesthi semakin banyak merobohkan pengeroyoknya tanpa kematian!

Olah tandang Mangesthi cukup membingungkan pengawal kademangan. Pada satu sisi, Mangesthi adalah musuh terberat yang harus ditaklukkan dan serangan pengawal pun cukup hebat. Namun ketika Mangesthi sama sekali tidak membunuh seorang pun dari pengawal, mereka menjadi segan untuk mengepung atau menyerang lebih trengginas.

Ketahanan jiwani pegawal kademangan semakin terkikis.

Bagaimana mungkin sebatang kayu dapat menahan ketajaman besi? Pikiran pengawal kademangan menjadi kacau balau. Apakah kita sedang bertarung dengan ilmu sihir? Begitu pikir beberapa pengawal. Sebagian malah membacokkan pedang pada pohon terdekat, dan senjata mereka begitu tajam karena mampu menembus kulit kayu dalam sekali hantaman. Namun kegamangan tetap menyergap hati pengawal Sangkal Putung. Betapa hati semakin jerih melihat kenyataan bahwa sejumlah golok dan pedang justru patah menjadi dua saat membentur ranting Mangesthi!

Kerisauan para pengawal membuat pasukan Raden Atmandaru kian leluasa memukul mundur mereka selangkah demi selangkah.

“Mungkinkah ilmu kebal dapat dialirkan pada benda mati?” tanya seorang pengawal ketika Wisuda berada di sampingnya.

“Aku tidak tahu,” sahut Wisuda dengan tatap mata yang semakin lekat mengamati pergerakan Mangesthi. “Mundurlah, ajaklah kawan-kawan bergeser mundur. Aku akan hadapi gadis itu.”

Pengawal itu memandang Wisuda dengan tatap mata heran. Namun ia mampu menilai keadaan bahwa mundur akan menjadi jalan terbaik meskipun dapat mengakibatkan pergeseran tempat bertempur.

Selepas memberi pesan itu, Wisuda meloncat panjang, menerjang Mangesthi dengan pedang yang bergulung-gulung membentuk pusaran yang hebat seperti badai!

“Mungkin kita akan lebih menyulitkan mereka bila kita berkelahi di belakang garis batas wilayah,” kata pengawal itu pada pemimpin kelompoknya.

Pemimpin kelompoknya menjawab sambil menangkis kelebat tombak yang mengancam pundaknya, “Jika mereka tidak mengirim orang berkemampuan lebih seperti wanita itu, kita dapat menahan mereka. Tetapi, jika tidak? Tentu tanah kita akan lebih dekat dengtan cengkeraman mereka.”

“Lalu apa yang terbaik untuk keadaan ini?”

Pemimpin kelompoknya tidak segera memberi jawaban. Ia telah mendapat kabar dari penghubung medan bahwa Ki Gatrasesa telah terluka dan telah mendapat perawatan di garis belakang. Dalam keadaan Ki Gatrasesa terkendala untuk meneruskan pertempuran, maka Wisuda adalah orang yang dipercaya Swandaru untuk mengambil alih kendali. Dan seperti itulah yang menjadi kebiasaan mereka ketika melakukan latihan.

“Wisuda?” tanya balik pemimpin kelompok.

“Ia pergi menghadang perempuan ganas itu.”

Pemimpin kelompok utara bergumam, lalu berkata, “Perintahkan mereka mundur sampai deret pohon kelapa!”

Related posts

Kiai Plered – 83 Randulanang

Ki Banjar Asman

Membidik 61

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 60

Ki Banjar Asman