Pengikut Raden Atmandaru benar-benar membuktikan bahwa mereka sungguh-sungguh menjadi ancaman bagi keutuhan Mataram. Bila dibandingkan dengan kemampuan kanuragan pasukan khusus, bisa jadi mereka ada selapis di bawah prajurit pimpinan Agung Sedayu. Tetapi perbedaan itu tidak akan mempunyai arti apabila mereka memiliki ketangguhan jiwani seperti yang terjadi pada malam itu. Gelar Wulan Tumanggal, meski berbentuk lengkung, namun mampu berubah-ubah sesuai perintah pemimpin-pemimpin kelompok.
Mereka bertukar tempat, menarik mundur lalu mendadak menyerang dari sisi yang lain. Sering pula pasukan Raden Atmandaru tiba-tiba mengosongkan sejumlah bagian dan seolah-olah menghilang! Kemudian muncul di belakang barisan pengawal Pedukuhan Janti. Sebenarnya mereka tidak lenyap dari permukaan bumi, hanya saja mereka bergerak lebih cepat setelah membuat kekacauan di dalam ruang yang sempit. Setelah perhatian pengawal kademangan teralihkan, maka segera pasukan penyerbu itu bergeser tempat. Mereka bukan orang-orang yang menganggap diri lebih pintar dari yang lain walau dapat dikatakan liar dan ganas, kepatuhan pada pemimpin kelompok telah mengubah segalanya.
“Luar biasa!” seru Ki Gatrasesa dalam hatinya. “Mereka benar-benar lincah dan luwes mengolah gelar perang. Mereka pun tidak dapat dikatakan penakut karena sering menghindari perkelahian satu lawan satu.”
Semakin pertempuran mendekati fajar, gangguan dari pasukan Raden Atmandaru kian menjadi-jadi. Apabila sebelumnya mereka hanya memukul sangat keras untuk menggertak dan melumpuhkan pengawal kademangan, maka lengking tinggi Ki Garu Wesi menjadi bende yang menggema sangat dahsyat. Lengking suara yang menyakitkan telinga menjadi tanda bahwa mereka dibolehkan untuk melukai dan membunuh!
Sulit untuk mengetahui secara pasti jumlah masing-masing pihak yang bertempur. Ki Gatrasesa, meski telah membuat perkiraan dalam pikirannya, mengukur jumlah musuh berdasarkan panjang garis api. Ia tidak mempunyai keyakinan pasti mengenai jumlah karena serangan kilat dan gangguan luar biasa itu menempatkannya dalam kesulitan. ”Apakah jumlah mereka menjadi lebih banyak karena ada tambahan dari arah yang tidak aku tahu? Ataukah mereka telah berkurang? Aku pun tidak tahu. Keadaan gelap dan orang berilmu tinggi itu sangat dan sangat membuat pertempuran ini semakin sulit,” gumamnya dalam hati.
Sementara itu, atas keterangan dari seorang pengawal, penghubung dari pedukuhan induk akhirnya dapat mendekati Ki Gatrasesa. Ketika ia melihat Ki Gatrasesa berada di bawah gempuran senjata tajam, maka jarinya erat menggenggam pedang. Ia memutuskan untuk berpasangan agar kedudukannya semakin dekat dan pesan Agung Sedayu dapat disampaikan.
Namun ia mengurungkan niat!
Sekelebat bayangan melesat di atas kepala banyak orang, lalu bayangan itu tiba-tiba menyambar Ki Gatrasesa yang berada di tengah lingkaran!
Tendangan datang beruntun seperti puluhan ekor ular yang mematuk mangsa yang sama. Ki Gatrasesa melihat bahaya menghampirinya dan sepasang lengan telah bersilang di depan dadanya.
Dan, benturan tenaga itu membuat Ki Gatrasesa terhuyung mundur beberapa langkah. Dalam waktu itu, penyerangnya telah melejit lurus ke atas. Lalu pada saat satu kaki penyerang itu telah menyentuh tanah, serangan hebat kembali menerjang Ki Gatrasesa.
Penyerang itu berseru dengan kata-kata yang memanaskan telinga, “Hey, apakah engkau yang memimpin pasukan semut ini? Aku telah mengawasimu sejak benturan terjadi, dan sepertinya engkau berkelahi seperti orang yang baru dapat berjalan kaki.”
Namun Ki Gatrasesa tidak peduli dengan ucapan penyerang itu. Pemimpin pasukan kademangan ini mengepakkan dua tangannya untuk menangkis hantaman yang mengurungnya bergelombang. Penyerang yang belum mengenalkan diri itu mengakui dalam hatinya, bahwa pertahanan musuhnya sangat kuat. Maka dari itu, serangannya pun meningkat selapis lebih kuat dan lebih cepat.
Gerak kanuragan yang aneh pun kerap membingungkan Ki Gatrasesa. Adakalanya lengan dan kaki penyerangnya menghantam dari dua sisi yang berbeda dalam waktu bersamaan. Kadang-kadang ia menggunakan kepala untuk menyerang bagian tubuh Ki Gatrasesa yang lunak.
Sepanjang waktu perkelahian satu lawan satu, Ki Gatrasesa diam-diam mengeluh. Lengan dan kakinya terasa kesemutan dan timbul rasa panas setiap kali mereka membenturkan tenaga. “Orang ini lebih kuat dariku,” akunya dalam hati. Namun Ki Gatrasesa masih segan mengeluarkan senjata karena penyerangnya pun masih bertangan kosong.
Seolah dapat menjenguk isi hati musuh, penyerang itu menyeringai tipis sambil berkata, “Jangan sungkan mengeluarkan senjata. Engkau belum tentu dapat melukaiku meski memegang senjata pusaka.”