SuaraKawan.com
Bab 3 Di Bawah Panji Majapahit

Di Bawah Panji Majapahit 3

Ranggawesi yang tiba lebih dahulu masih mengamati suasana yang lengang. Api unggun terlihat di beberapa sudut perkampungan dan hanya beberapa orang yang duduk melingkarinya. Ranggawesi melihat kerlap-kerlip dari kejauhan yang merupakan pertanda bahwa pemimpinnya telah tiba di sisi yang lain.

Pada saat itu Ki Lurah menggerak-gerakkan lempengan emas kecil yang terselip pada pinggangnya. Lempengan ini memantulkan cahaya yang ditimbulkan oleh nyala api kecil. Mereka pun bergerak maju mendekati perkampungan itu setelah melihat tanda yang dikirimkan pemimpinnya.

Binatang malam enggan berbisik-bisik ketika para prajurit mengendap maju mendekati sarang penyamun. Senandung malam yang biasa dilantunkan kawanan jangkrik pun seolah tergulung dalam dekapan malam.

Tiba-tiba terdengar suara kentongan yang dipukul dengan beruntun. Lalu mendadak muncul sejumlah orang dari belakang mereka. Para prajurit yang dikejutkan oleh suara kentongan bernada titir itu tiba-tiba telah berada dalam kepungan para penyamun. Kata-kata kasar dengan cepat memenuhi udara malam. Senjata berkelebat dan tampak berkilau muram oleh pantul sinar lemah rembulan.

Perkelahian yang tidak mempunyai keteraturan akan terjadi. Setiap orang tidak dapat memilih lawan, tempat dan waktu untuk bertarung. Gelap meliputi prajurit Majapahit dalam segalanya.

Sudah kepalang tanggung bagi Ki Guritna untuk membuka gelar perang dalam menghadapi gerombolan penyamun yang dengan cepat menyerang mereka. Satu-satunya jalan baginya adalah memecah perhatian mereka dengan membakar perkampungan sekelompok orang yang sering menganggu keamanan para penduduk padukuhan.

“Jangan terburu membalas serangan mereka! Bakar apa saja yang bisa kalian bakar. Renggutlah napas mereka yang terakhir. Kita bertempur dalam api!” perintah Ki Guritna yang berada ditengah barisan. Para prajuritnya bergegas menjalankan perintahnya. Panah api yang telah disiapkan sebelumnya serentak berhamburan melesat mencapai rumah-rumah kayu para penyamun yang beratap jerami.

Seluruh gubuk atau rumah berdinding kayu dan beratapkan jerami dari yang berukuran kecil yang puncak atapnya setinggi tiga kali orang dewasa dengan cepat terbakar. Pasukan Ki Lurah Guritna segera bertempur dengan gagah berani dalam kepungan api yang tingginya seperti bukit kecil. Puluhan senjata pun berkelebat di antara api yang berusaha menjilati mereka.

Untuk tetap menjaga kemampuan dan menunjang kekuatan yang akan membayangi kekuasaan Sri Jayanegara maka para pengikut Ki Cendhala Geni menyiapkan banyak rencana. Menguasai keamanan Sumur Welut adalah satu jalan, sedangkan tujuan akhir mereka adalah merebut tahta Sri Jayanegara. Keteguhan dan keyakinan itu semakin kuat setiap harinya. Bahwa Sri Jayanegara tidak berhak menjadi raja adalah anggapan yang terus menerus didengungkan oleh para pemimpin kelompok mereka, dan menurut sekelompok orang ini seharusnya yang menjadi penguasa Majapahit adalah keturunan Jayakatwang.  Demikianlah pengertian yang mereka langgengkan dari waktu ke waktu.

Kawanan yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Ubandhana ini sebenarnya cukup lama melakukan kejahatan di pedukuhan sekitar wilayah Sumur Welut. Tetapi sejak kematian Mantri Rukmasara maka persediaan mereka menjadi semakin sedikit. Mpu Nambi dengan sigap dan pemikiran matang secara pasti mampu mengurangi ruang gerak gerombolan Ubandhana. Walau Pang Randu memberi kebebasan hukuman bagi mereka namun mereka tidak lagi leluasa sebagaimana sebelumnya. Kedekatan kelompoknya dengan Pang Randu tidak mengubah kegeraman Ubandhana. Pada kesempatan yang berbeda, di depan Pang Randu, ia pernah mengatakan bahwa Sumur Welut akan menjadi ladang api.  Walau pun ia berucapa seperti itu, Pang Randu paham bahwa Ubandhana hanya bagian kecil dari kawanan tikus tanah.

Ubandhana yang sudah mengetahui pergerakan pasukan kecil itu memang mempersiapkan rencana khusus untuk menyambut mereka. Ia memerintahkan anggotanya untuk bersembunyi di balik semak-semak yang rimbun atau di dahan-dahan pohon. Namun ia terkejut karena sebelumnya mengira bahwa Ki Guritna akan menghadapi para penyamun yang ada di belakang mereka, tetapi ternyata perwira ini tetap memerintahkan maju dan meninggalkan penyamun yang menyergap mereka dari arah belakang.

Kejutan berikutnya yang diterima Ubandhana adalah perintah membakar perkampungan yang telah dibangun untuk dijadikan sarang.

“Benar-benar prajurit gila! Bukannya berbalik badan berhadapan dengan anak buahku tapi justru meluruk maju dan membakar semuanya!” geram Ubandhana penuh amarah.

Related posts

Merebut Mataram 18

Redaksi Surabaya

Kiai Plered 75 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 47 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman