SuaraKawan.com
Bab 1 Bulan Telanjang

Bulan Telanjang 15

Aku tengadah, menatap langit yang mulai dirambati suram. Aku tengok ke tempat api unggun, apakah seseorang telah menyakan api? Ah ya, aku melihatnya. Lidah api tampak olehku seperti lentik jemari tengah menjentik. Pandanganku beralih ketika ibu terdengar bercakap-cakap.

“Bila kalian bertanya, siapakah kami? Tentu aku akan menjawab sejujurnya. Namun kalian memilih kalimat yang salah, maka bagiku itu adalah pertanyaan yang tak memerlukan jawaban,” ibuku berkata tegas.

Kebanyakan orang yang berada di sekitar tanah datar itu hanya memandang, bergantian sorot mata mereka berpusat. Saat itu, aku yakin, bahwa mereka berpusat mata pada ibuku. Aku tidak ingin mengira mereka memandang ibuku dengan heran karena perempuan itu terlihat begitu gagah dan perkasa. Bagaimana mungkin seorang perempuan berdiri seorang diri lalu menantang? Mungkin itu ada dalam pikiran orang-orang, tetapi aku hanya ingin tersenyum. Senyum bangga karena perempuan itu adalah ibuku.

“Perempuan,” kata pemimpin orang berkuda yang mengejar kami, “heran, terkejut dan kagum adalah perasaanku saat melihatmu tegak di jalur kami. Aku sedikit menduga, mungkinkah kau adalah istri Panangkaran? Kami banyak mendengar tentangmu, oh bukan, maksudku adalah kampung halaman kalian.”

Aku tidak dapat melihat jelas paras muka ibuku, tetapi aku mendengarnya berkata, “Baik. Aku tidak ingin membuang waktu dengan tanya jawab tanpa guna ini. Nah, aku adalah Lis Prabandari, istri dari Rakai Panangkaran. Dan mereka tidak mempunyai hubungan dengan kami. Bukan teman, saudara ataupun kerabat jauh. Mereka mungkin bermalam di tempat yang sama dengan kami. Jelas?”

“Bila mereka ingin bermalam dengan kalian, aku pun ingin berada dalam satu kain denganmu.” Gelak tawa pun berhamburan usai lelaki itu berkata-kata.

Oh, tentu saja, tentu saja mereka mungkin dipenuhi bayangan tak senonoh karena tubuh ibuku tidak dibalut kain panjang yang longgar. Pakaian yang dikenakannya begitu ringkas meski tidak menonjolkan lekuk tubuhnya. Hmmm, walaupun aku tidak banyak tahu tentang pergaulan lelaki dan perempuan tetapi Han Rudhapaksa tak bosan meningatkanku pada kebiasaan buruk kebanyakan laki-laki.

“Ki Sanak, segera katakan maksud kalian agar kami lekas mengambil masa untuk mengendurkan urat tubuh,” seru sais dari balik punggung ibu.

“Agar perkenalan kita malam nanti tidak terhalang oleh kecurigaan, kami akan mengenalkan diri. Aku adalah Ki Jalapitu, salah seorang guru orang kepercayaan  Kayu Merang. Empat orang di belakangku merupakan pengawal dari Jatiraga,” ucap Ki Jalapitu. Kemudian ia menunjuk dua kereta sambil berkata, ”Di sana, ada sejumlah perhiasan dan beberapa bahan yang diserahkan oleh Kayu Merang untuk Dyah Murti.”

Namaku disebut Ki Jalapitu? Apakah aku tidak salah dengar? Bila mereka berasal dari Jatiraga, bagaimana Dyah Murti dapat dikenal di sana, sementara kakiku tak pernah jauh dari Kalingan? Aku menanti perkembangan di dalam kereta walau tak sabar untuk keluar dari serunang kecil ini.

“Katakan lebih jelas, Ki Jalapitu,” sais berucap sambil berjalan sedikit lebih maju. Sehasta di depan ibu, kira-kira begitu yang terlihat dari jendela keretaku.

“Pemimpin kami, Yang Agung dan Dipertuan Singha Murti, ingin berbesan dengan Rakai Pangkaran, pemimpin besar wangsa Ki Sanak.” Ki Jalapitu melompat turun dari punggung kuda lalu memberi hormat dengan membungkukkan badan.

Aku tidak dapat melihat air muka sais, hanya suaranya yang menggetarkan udara, “Bila kalian bermaksud seperti itu, bukankah dapat membicarakannya di Medang? Pemimpin kami mungkin berkenan menyambut kalian di Prambanan jika Ki Sanak bermaksud baik.”

“Hmmm, aku bermaksud baik. Sangat baik tetapi ucapanmu sama sekali tidak menunjukkan penghormatan pada kami selaku tamu jauh. Ini adalah wilayah Medang, tetapi sepertinya sengaja ingin menghalau kami dengan tutur kata halus. Sais, aku sebut engkau dengan nama itu menurut pakaianmu. Sais, dengan hadiah yang ada pada kami, Kayu Merang ingin memuliakan Dyah Murti. Nyi Prabandari  pun berhak mendapatkan penghormatan dari kami.”

“Begitu pandai engkau berucap kata, Ki Jalapitu,” tanggap Lis Prabandari.

Ah, aku hanya dapat mendesah dan semakin kagum pada ibuku.

Ki Jalapitu menyapukan pandangan, lalu melirik angkasa.

Aku pun demikian. Mencoba menjenguk garis cakrawala yang muram tanpa terasa. Gelap mulai menggeleparkan kuasanya dan sesaat lagi kami semua akan dirundung malam. Cahaya api unggun melakukan perlawanan dengan nyala mulai membesar.

Orang-orang Han Rudhapaksa mendekatkan tangan pada hulu senjata. Sebagian orang yang datang setelah kami pun demikian, meski tidak semua bersiap dengan memegang senjata tetapi aku dapat menduganya. Suasana perlahan berjalan menuju waktu yang mencekam. Apakah akan terjadi pertumpahan darah. Bibirku mengering. Tenggorokku tercekat. Aku belum pernah melihat perkelahian selain pada latihan-latihan yang kerap dilakukan oleh pengawal Tanah Kalingan.

“Sepandai kami berkata-kata, sepandai itu pula kami akan memaksa Dyah Murti agar pergi bersama kami ke Jatiraga,” sahut Ki Jalapitu lalu suaranya melengking dan tiba-tiba empat penunggang kuda meloncat maju, menyerbu pada empat jurusan!

“Oh!” pekikku tertahan. Aku menutup mata. Tak mampu membayangkan bahwa sesaat lagi banyak nyawa akan meregang dari tubuh-tubuh yang bersimbah darah dan berkelojotan seperti ayam sembelihan

Related posts

Puisi : Sate Merindu

Redaksi Surabaya

Sampai Jumpa, Ken Arok! 12

Ki Banjar Asman

Bulan Telanjang 12

Ki Banjar Asman