Aku tidak menghitung waktu yang berlalu. Saat itu aku tengah berada di dalam duniaku sendiri. Samar-samar aku mendengar suara ibu menyebut namaku. Ah, sulit bagiku untuk membangkitkan kesadaranku seperti semula, seperti waktu sebelum aku berada di tengah-tengah benteng yang dibangun dalam khayalku.
“Dyah Murti, keluarlah!” seru ibu.
Ya, benar. Itu memang suara ibuku, Lis Prabandari Keswari. Aku merasakan otot-otot tubuhku begitu kaku. Sejenak aku menyesuaikan diri. Perlahan aku membuka pintu, lalu melihat keadaan di sekitar rombongan kami. Ternyata ada tiga rombongan, termasuk kami, yang berhenti di tanah datar sebelum jalur berduri. Mungkin dua rombongan itu juga berencana melewatkan malam di tempat yang sama dengan kami.
Satu rombongan yang berada di ujung utara mempunyai tiga gerobak yang ditarik lembu dan satu kereta kuda. Banyak lelaki yang menjadi bagian rombongan. Mungkin mereka adalah sekelompok orang yang mengawal pedagang atau barang dagangan.
Satu rombongan lagi berada di belakang kami. Sepertinya mereka juga iring-iringan pedagang. Aku menebak seperti itu karena sejumlah lelaki segera mengawasi kami dan rombongan terakhir yang tiba di tempat ini. Rombongan ini terdiri dari satu kereta kuda dan delapan penunggang kuda. Aku berhitung…satu..dua…mungkin rombongan kedua ini berjumlah lebih dari sembilan orang.
Sais kami menyapa orang-orang yang berasal dari rombongan yang berbeda. Lelaki yang berusia sedikit lebih tua dari ibu memang orang yang ramah. Ia berjalan dari satu orang ke orang yang lain beserta seorang pengawal yang ditugaskan kakekku. Aku melihat mereka bercakap ramah. Sekali-kali sais kami menunjuk ke tempat kami. Mungkin ia ingin menawarkan sesuatu atau mengajak dua rombongan itu berhimpun dengan satu api unggun. Kakekku pernah berkata bahwa satu api unggun yang dikelilingi banyak orang akan melahirkan kebersamaan yang akhirnya dapat menjadi kekuatan bila terjadi hal yang buruk. Dan, terlepas dari yang dilakukan sais kami, sepertinya ibu memandang baik. Aku dapat mengerti itu karena ibu pun hanya memandang pergerakan sais kami tanpa raut wajah melarang.
Puas mengamati keadaan, aku alihkan pandangan.
Ah, itu ibuku, perempuan dengan pakaian ringkas berwarna putih. Di bawah remang senja, ia begitu sempurna sebagai wanita. Namun aku tersentuh oleh keadaan ganjil. Lis Prabandari Keshwari berdiri dengan dua kaki membentang. Tubuh tegak menghadap ke arah tertentu. Oh, itu adalah jalur yang kami lewati sebelum mengambil masa istirahat di tanah datar ini.
Dari lorong itu mencuit nada tinggi dan melengking sangat nyaring. Tak lama kemudian terdengar ringkik kuda dan roda-roda yang berputar cepat.
“Pengawal! Sikap siaga! Dentang satu!” perintah ibu pada pengawal.
Aku tidak dapat mengerti arti ucapan ibuku, dan tentu saja, itu adalah perintah-perintah yang hanya dimengerti oleh prajurit.
Dari ujung lorong menyeruak lima ekor kuda tegar dan kuat. Menyusul di belakang mereka ada dua kereta kuda. Masing-masing kereta ditarik empat ekor kuda yang nyaris serupa dengan lima ekor di depan. Tegar dan begitu kokoh dipandang mata!
Lima penunggang kuda itu semuanya berpakaian gelap walau tidak sewarna. Dan, pertanyaanku adalah berapa orang yang berada di dalam dua kereta?
“Dyah Murti! Masuklah ke dalam kereta,” perintah ibu padaku.
Aih, baru aku keluar dan menikmati pemandangan, dalam sekejap telah diperintahkan masuk. Aku tidak pernah membangkang perintah wanita berpakaian putih itu. Sejenak kemudian aku berada di dalam kereta dengna tirai yang sedikit tersingkap. Aku ingin tahu kejadian selanjutnya.
“Apakah kalian semua adalah rombongan Rakai Panangkaran?” tanya seorang lelaki yang berwajah cukup menarik. Lelaki itu berkulit terang dengan alis mata yang cukup tebal. Namun aku tidak suka padanya. Ia memancarkan pamor yang ganas! Aku membentur kengerian saat melihat sinar matanya.
Tidak seorang pun dari kami yang memberi jawaban. Dari dalam kereta, aku melihat orang-orang dari rombongan lain menyisihkan diri. Sepertinya mereka mencoba menjauh dari permasalahan yang mungkin saja dapat menjadikan mereka sebagai sasaran yang salah. Atau mungkin juga mereka tidak ingin menjadi korban sia-sia. Atau masih ada mungkin dan mungkin yang lain. Aku tidak tahu.