“Ken Arok. Bukan aku tidak berusaha mencarimu tetapi aku tidak mendapatimu di alas Kawitan ketika aku telah sembuh. Aku bertanya pada banyak orang dan kau seperti lenyap ditelan bumi. Ketika aku akan meninggalkan guru untukmenyusuri jejakmu, guru berkata padaku bahwa kematianmu akan bernilai apabila aku berhenti mencarimu. Semenjak itu, aku lebih banyak berada dalam padepokan.” Mata Toh Kuning menatap kegelapan yang tidak bertepi. “Aku akan meraih sebuah bintang dan mengukir namamu di sana.”
“Kau tidak akan dapat melakukannya,” Ken Arok tertawa lirih.
“Aku akan melakukannya karena aku murid Begawan Bidaran,”
Tiba-tiba Ken Arok memandang wajah Toh Kuning dengan raut muka sungguh-sungguh. Ia membuka bibirnya, ”Apakah benar yang aku dengar?”
Kening Toh Kuning berkerut dan ia seperti menjadi lebih tua dari usianya.
“Ya.” Ken Arok mengangguk. ”Aku mendengar kau akan menjadi prajurit Kediri. Lalu apakah kau biarkan Mahesa Wunelang tetap hidup dalam damai?”
“Berita bahwa aku akan menjadi prajurit Kediri memang benar.”
“Lalu kau akan melupakan Mahesa Wunelang yang telah membuatmu malu di hadapan banyak orang? Kau akan bekerja sebagai anak buah orang yang nyaris membunuhmu di hadapan guru?”
“Benar,” tegas Toh Kuning, ”dan aku kira kau tidak keberatan. Sementara kau sendiri terlibat dalam sekumpulan orang yang akan meruntuhkan Kediri.”
“Gila!” seru Ken Arok tak percaya. ”Kau benar-benar gila.”
Ken Arok memegang kepalanya dengan dua telapak tangan. Ia lalu berkata, ”Sudah pasti aku keberatan karena aku akan menghabisi Mahesa Wunelang untuk membebaskan jiwamu. Dan aku tidak termasuk bagian dari rencana meruntuhkan Kediri.”
Toh Kuning melirik lelaki muda yang menjadi sahabatnya sejak masa yang lama. Mereka berdua telah melewati banyak peristiwa dan perasaan dalam kurun waktu yang panjang. Lalu kata Toh Kuning, ”Aku telah membebaskan jiwaku, Ken Arok. Seperti halnya guru yang telah meraih kebebasan maka itulah keadaanku sekarang ini.”
“Tunggu!” Ken Arok berkata dengan keras, ”Apakah aku memukulmu dengan keras?”
“Tidak, tetapi itulah yang terjadi pada diriku sekarang ini.”
“Ini benar-benar malam yang gila bersamamu, Toh Kuning!” seru Ken Arok. Ia butuh waktu untuk mengerti perubahan yang terjadi pada kawan karibnya itu. Sejenak ia menarik nafas panjang kemudian berkata, ”Baiklah. Baiklah. Kita anggap saja itu pasti terjadi, bahwa kau menjadi anak buah Mahesa Wunelang. Apakah kau akan melupakan perbuatannya?”
“Melupakan perbuatannya dan mengampuni Mahesa Wunelang adalah dua sisi dari satu keping emas.”
“Aku masih belum mengerti maksudmu tapi aku akan mencari penjelasan tentang kata-katamu itu pada orang lain.”
“Kau akan bertanya pada siapa?”
Ken Arok tesenyum padanya dan menepuk bahu Toh Kuning lalu berkata, ”Aku akan bertanya padamu jika kau tidak lagi terbentur benda keras.”
“Aku akan berhenti berkelahi.”
“Benarkah?”
“Tidak,” keduanya lalu tertawa terbahak.
Ken Arok menarik napas panjang, lalu katanya, ”Toh Kuning, aku tahu alasan penyerangan prajurit Kediri pada padepokan Branjangan Putih. Bahkan aku telah mengetahui kedatangan kalian saat berhenti di simpang tiga.”
Meskipun ia telah menduga Ken Arok sudah mengetahui pergerakan pasukan Kediri, tetapi Toh Kuning diam untuk menunggu penuturan Ken Arok lebih lanjut.
“Aku mempunyai alasan untuk tidak mengabarkan kedatangan kalian pada Ki Branjangan Putih. Aku melihatmu bersama orang-orang Kediri,” kata Ken Arok kemudian.
“Dan kau lebih memilih untuk mengkhianati orang-orang padepokan,” sahut Toh Kuning.
“Itu bukan pengkhianatan,” sahut Ken Arok membela diri. ”Pengkhianatan adalah caramu untuk menyudutkanku dalam persoalan ini.”
“Kau telah diselamatkan Ki Branjangan Putih dan kau membiarkan orang-orang Kediri datang menyerang kalian. Bukankah itu adalah pengkhianatan?”