SuaraKawan.com
Bab 2 Nir Wuk Tanpa Jalu

Nir Wuk Tanpa Jalu 3

Keinginan muncul dari dalam hatiku. Aku ingin bertanya tentang tujuan ayah dan ibu yang mengurungku di ruang ini. “Saya ingin tahu, Ibu.” Aku terpaku dengan ucapanku. Bagaimana aku menyebut perempuan d hadapanku ini sebagai ibu?

“Katakan, Anakku.”

Suara itu terasa seperti tenaga besar yang membetot seluruh kesadaranku. Kebingunganku tentang sebutan ibu pun mendadak musnah. Aku hanyut oleh tenaga. Oh,  tenaga? Barangkali tenaga adalah ungkapan yang tepat untuk sesuatu yang sedang melarutkan kesadaranku pada dunia lain yang mungkin tidak terbatas.

“Mengapa ibu saya menempatkan saya di ruang ini? Saya tidak ingin berprasangka buruk padanya karena memang beliau tidak pernah berbuat buruk pada saya, anak satu-satunya.”

“Adalah aib yang cukup besar dan akan meruntuhkan nama baik Rakai Panangkaran, ayahmu, apabila engkau terlihat melenggang bebas menjelajahi setiap penjuru kotaraja tanpa aturan-aturan yang  seharusnya engkau jalani terlebih dulu. Di dalam ruangan ini, engkau akan banyak belajar tentang kebiasaan-kebiasaan yang ada di lingkungan istana.”

“Bagaimana dapat terjadi? Ibu, sedangkan hanya beberapa dayang yang  keluar dan masuk dengan membawa kain serta makanan tanpa kalimat yang mereka ucapkan.”

“Kejadian-kejadian hebat dapat terjadi tanpa perlu ada kata yang diucapkan. Engkau telah mengalami itu.”

Aku tidak ingin membantah ucapannya. Dewi Rengganis benar. Sebelum dia pergi, sejumlah persoalan menjadi bahan utama perbincangan kami.

Tidak ada asap atau kabut yang menyertai bayangan Dewi Rengganis yang lenyap seketika. Satu ucapannya yang tajam membekas dalam benakku. “Kejujuran kadangkala membutuhkan kulit yang sangat tebal. Sebagian orang merasa malu ketika berkata jujur atau berbuat penuh kejujuran. JIka engkau bertanya ‘mengapa?’ Karena lebih banyak orang yang gemar mengenakan perhiasan yang bukan miliknya. Melapisi kulitnya yang telanjang dengan kain milik orang lain. Lalu, mereka bangga dengan perbuatannya itu.”

Dengan kesederhaan cara berpikir, aku dapat menerima ucapan itu. Aku mengerti – setidaknya sedikit mengerti – karena beberapa lelaki kasar yang merasa dunia telah menjadi miliknya pernah berusaha merebutku dari tangan Lis Prabandari. Namun, pada akhirnya, mereka mati. Meski aku yakin dengan sudut pandangku, tetapi aku tidak berani mengatakan ‘pendapatku benar’.

Rombongan dayang tetap menjalani kegiatan secara wajar dari waktu ke waktu hingga hari pembebasan tiba. Ibuku, Lis Prabandari, berada di ujung belakang barisan dayang. Aku melihat beliau tersenyum. Sorot mata beliau menyiratkan kelegaan yang luar biasa, aku mengira seperti itu. “Engkau membuat kami kagum, Dyah Murti.”

Aku tidak mengerti.

“Sedikit perawan yang mampu melewati kegelapan dan udara dingin di dalam ruangan ini. Kebanyakan mereka telah meminta pemutusan waktu kurung. Engkau adalah anakku, engkau menunjukkan kepantasan sebagai keturunan Rakai Panangkaran.”

Ibuku masih bertutur kata tetapi aku belum mengerti.

“Sebentar lagi…hmmm…aku harap tidak lama lagi ayahmu memberi perkenan untuk bertemu dan bicara denganmu.”

Bukankah memang seharusnya begitu, Ibu? Namun aku tidak tega menyatakan itu.

“Ibu berharap engkau mempunyai keberanian bila memang harus berbeda pandangan dengan ayahmu. Aku juga ingin seorang Dyah Murti mempunyai kepantasan ketika menyatakan sesuatu yang berbeda dari raja Mataram.”

Aku berdampingan dengan Lis Prabandari. Kami berjalan paling depan. Barisan kami begitu panjang hingga memenuhi lorong-lorong yang menghubungkan bilik gelap dengan ruangan yang dipersiapkan secara khusus untukku. Sekilas aku memperhatikan pakaian yang dikenakan para dayang. Mereka begitu anggun dan cantik. Kebesaran wibawa dan pengaruh dari orang yang memerintah mereka dapat dirasakan hanya dengan melihat barisan para dayang. Aku pikir – atas landasan yang dikemukakan Dewi Rengganis – mereka sama sekali tidak memperlihatkan kelemahan Rakai Panangkaran. Maksudku, apabila seorang musuh sedang mengintai atau menunggu kelengahan penguasa Mataram, maka itu adalah perbuatan yang sia-sia. Gambaran pertahanan yang sangat kuat terbentang dari barisan para dayang walau mereka bukan prajurit bersenjata. Menurutku, para dayang yang berada di lingkungan istana Rakai Panangkaran adalah laskar khusus yang mampu membunuh lawan tanpa perlu menggenggam pedang atau benda tajam lainnya. Ketika aku selangkah keluar darI bilik gelap, sebenarnya aku sangat terkejut melihat selendang dan ragam kain yang menempel pada mereka. Ya, aku terbantu oleh cahaya matahari yang menyebar di banyak ruangan. Ujung selendang mereka adalah jarum-jarum yang sangat halus. Pada bagian tepi selendang atau pakaian panjang mereka adalah dipenuhi tali-tali yang kecil yang sangat kasar dan sepertinya mampu melukai leher seseorang. Mengejutkan sekaligus mengerikan! Kulitku meremang, bagaimana bila salah satu dari mereka atau mereka semua tiba-tiba berkhianat lalu membunuhku di dalam bilik?

Mungkin, mungkin itulah sedikit contoh yang aku sesap dari kalimat Dewi Rengganis, bahwa perbuatan hebat tidak memerlukan banyak kata.

Kami memasuki bilik khusus. Beberapa kesibukan segera terlihat. Sejumlah dayang membuat persiapan yang berbeda dengan yang lain. Mereka memang terbagi dalam beberapa kelompok untuk melaksanakan pekerjaan. Aku duduk dan menunggu. Tidak membosankan karena menunggu adalah kegitan yang sanggup membuat kesibukan-kesibukan lain dalam pikiranku.

Waktu terang kemudian berlalu. Senja datang dengan membawa selimut malam pada banyak tempat yang digenggamnya. Aku, yang disertai empat pengiring,  telah duduk berhadapan dengan ayahku – Rakai Panangkaran.

Bila aku tidak mampu menahan gelora yang berdentam sangat keras di ruang jantungku, aku akan kehilangan kesadaran diri. Wibawa yang memancar dari Rakai Panangkaran sanggup merenggut kesadaranku, membetot kemampuanku berpikir dan meluruhkan segala kekuatan yang menopang tubuhku.

“Aku menerima kedudukan ini dari ayahku dengan sumpah-sumpah yang harus dipenuhi,” kata Rakai Panangkaran mengawali perbincangan di antara kami bertiga. Ya, aku duduk di atas kursi batu dengan hiasan kepala naga yang tepat berada di atas dua pundakku. Lis Prabandari berada di depanku dengan kursi yang berukiran sama dengan yang aku tempati. Singgasana Bhumi Mataram berada di atas panggung batu dan mempunyai jarak dengan kami. Mungkin panggung itu setinggi pinggang orang dewasa. Aku berkhayal, seandainya seorang pembunuh terlatih menempati kursiku, ya, tentu saja dia akan kesulitan melepaskan serangan walau mendadak. Ruang pandang Rakai Panangkaran akan mengenali gelagat asing yang membahayakan. Ah, cukup, aku cukupkan khayalku sampai di situ

Related posts

Sabuk Inten 4

Redaksi Surabaya

Berhitung 2

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 31 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman