Kabut pagi masih begitu pekat menyelimuti jalan-jalan Kademangan Janti seperti menghalangi berakhirnya cahaya kegelapan malam yang mencapai muaranya. Sementara Matahari masih belum menampakkan wajahnya yang bersembunyj dibalik ufuk, meskipun cahayanya kian meronta membelah kepekatan kabut itu.
Hawa dinginpun masih begitu kuat mencengkeram tubuh hingga ke tulang yang memang selalu terjadi pada setiap musim rendeng seperti itu. Namun waktu nampaknya selalu tidak ingin tertahan pada putarannya. Pelan namun pasti seruak cahaya matahari mulai membelah hamparan pagi, hingga pada saatnya mulai menghalau kabut yang perlahan terlihat mulai meninggi.
Sesekali mulai tampak gerak kehidupan mewarnai sudut-sudut kademangan itu. Suara kokok ayam jantanpun mulai terdengar riuh seperti berlomba menunjukkan keperkasaan mereka. Sementara suara-suara percakapan halus sesekali terdengar diantara rumah-rumah penduduk kademangan itu. Juga suara suara senggot berderit yang memang senantiasa mewarnai terbitnya matahari.
Kademangan yang berada di sisi timur agak keutara kaki gunung Merapi itu memang daerah yang demikian subur oleh karena pancaran mata air teramat jernih yang bagaikan tak pernah terhenti menyembul di beberapa ruas tanah di antara sudut-sudut pedukuhan tersebut. Oleh karena tidaklah mengherankan jika hamparan sawah pedukuhan-pedukuhan sekitar Kademangan bagai tak pernah sekalipun mengering.
Namun belum lagi cahaya matahari itu naik suasana indahnya pagi itu seakan terusik oleh Suara derap kaki-kaki Kuda yang berlari kencang melintas di jalan-jalan bulak panjang kademangan tersebut. Debu-debu yang mengepul terlihat seperti mengotori segarnya hawa pagi di sepanjang jalan yang dilaluinya.
Sesekali rombongan berkuda yang berjumlah empat orang itu menghentikan kuda mereka lalu saling berpandangan seperti sedang berbicara diantara mereka. Sesekali terlihat jari mereka menunjuk-nunjuk arah jalan yang mungkin menjadi tujuan mereka, terlihat empat orang penunggang kuda itu begitu asing dengan kademangan Janti tersebut, namun terlihat pula betapa raut muka mereka menyiratkan keseriusan yang menandakan pentingnya sebuah persoalan hingga mereka memasuki wilayah kademangan itu.
Dari bentuk pakaian mereka tentu orang akan dapat melihat bahwa keempat orang penunggang Kuda itu tentu orang-orang yang biasa berkecimpung dalam dunia perguruan silat meskipun belum jelas dari golongan apa orang-orang itu.
“Adi Warangan. Apakah kau yakin kita tidak salah jalan?” — bertanya seorang yang nampaknya menjadi pimpinan diantara mereka. Apa lagi dilihat dari usianya yang nampak paling tua diantara mereka. Wajahnya cukup menyiratkan sebuah kewibawaan diantara mereka, meskipun raut wajahnya sedikit tersirat hawa kecemasan yang cukup dalam.
“Sepertinya kita tidak salah jalan kakang” — sahut orang yang dipanggil dengan nama Warangan itu, lalu katanya lagi, – – “aku yakin kita telah memasuki jalan masuk kademangan Janti. Tapi entahlah aku tidak tau dimana letak perguruan Sekar Jagad itu” — sambungnya.
Pemimpin rombongan itu menarik nafasnya, lalu katanya, — “mari kita teruskan jalan, mungkin selepas bulak panjang ini kita segera dapat menemui salah seorang dari penghuni kademangan ini untuk bertanya”
Demikianlah rombongan penunggang kuda itu memacu kembali laju kuda-kuda mereka. Belum jelas maksud kedatangan mereka ke kademangan itu, akan tetapi dilihat dari gerak geriknya tentu ada satu persoalan yang teramat penting bagi mereka, sehingga membuat laju kuda-kuda mereka semakin kencang menyusuri jalan-jalan yang dilaluinya. Sampai pada akhirnya rombongan itu tiba-tiba berhenti beberapa tombak jarak di depan regol pintu masuk kademangan.
Mereka terpaksa berhenti sesaat setelah jalan yang dilaluinya terhalang oleh belasan domba yang melintas memotong jalan itu. Sementara seorang anak laki-laki yang mulai terlihat beranjak remaja berlari-lari membawa sebatang tongkat kecil menyusul langkah domba-domba tersebut. Anak itu nampak khawatir melihat domba yang di angonnya itu mengganggu jalan.
Sesekali terdengar suara khas nya melengking seperti mengatakan sesuatu pada domba-domba yang di gembalakannya.
“he, cah angon. Apakah kau orang kademangan ini?” – bertanya pemimpin rombongan itu.
Akan tetapi anak itu seperti tidak menghiraukannya, bahkan sibuk mengumpulan domba-dombanya yang terlihat ada yang terpencar sambil berteriak-teriak dengan suara khas seorang penggembala.
Beberapa kali pula pemimpin rombongan berkuda itu memanggil anak itu dan bertanya sampai pada akhirnya anak gembala itupun berpaling sesaat setelah domba-domba yang di gembalakannya kembali tenang memakan rerumputan tak jauh dari tempat itu.
Anak itu kemudian termangu-mangu melihat rombongan orang-orang yang baru dilihatnya itu sehingga justru diam mematung sembari menatap kehadiran mereka.
“he cah angon..!! Apakah kau mendengar ucapanku?!” — kembali pemimpin rombongan itu berkata Sehingga menyadarkan anak itu.
“ya tuan” — anak gembala itu tergagap, – “ya tuan saya mendengar” – lanjutnya dengan suara bergetar.
“apakah kau anak kademangan ini?”
“iya tuan, saya orang kademangan ini”
“siapa namamu?”
“Thole, tuan.. orang-orang memanggilku demikian”
“baiklah Thole.. Sekarang aku mau bertanya apakah ini Kademangan Janti?” – lanjut pemimpin rombongan itu.
“benar tuan, ini Kademangan Janti”
“Apakah kau tahu di mana letak Perguruan Sekar Jagad?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, anak gembala yang mengaku bernama Thole itu kembali termangu-mangu. Dipandanginya wajah keempat orang berkuda itu satu demi satu. Pandangan matanya yang terlihat lembut itu seakan menelisik secara tajam kearah merka hingga sejengkal ruaspun seperti tidak terlepas dari pandangan matannya.
“he, cah angon…kau mendengar ucapan kami?” – – tukas orang yang lain diantara keempat penunggang kuda itu. Hingga anak itu kembali terkejut.
“iya, tuan iya saya mendengarnya,” sahut anak itu.
“Kau tahu di mana letak Perguruan Sekar Jagad?” pemimpin rombongan itu bertanya lagi.
Keterangan :
Kisah ditayangkan di blog ini atas izin penulis.
Kisah ditampilkan sesuai aslinya.
Semoga dapat berlanjut hingga tuntas.
Rahayu
–Ki Banjar Asman–