Ki Getas Pendawa dan Pangeran Parikesit lantas membuat tandu untuk membawa dua tawanan itu ke Kadipaten Pajang. Beberapa waktu kemudian alat sederhana berbahan potongan kayu telah siap. Alat yang cukup untuk menjadi tempat membaringkan tubuh seseorang lalu dua sesepuh itu menariknya bergantian. Dan demikianlah sebelum matahari singgah di puncak langit, mereka telah menjadi tontonan orang-orang sepanjang jalan yang dilewati. Pangeran Parikesit sengaja mengambil jalur yang ramai di antara pedukuhan yang dilalui dan ketika singgah di sebuah kademangan, ia pun meminta bantuan demang untuk menyertakan beberapa pengawal kademangan. Bagi Rambesaji dan Batara Keling, perlakuan Pangeran Parikesit benar-benar seperti merobek wajah mereka. Betapa Pangeran Parikesit selalu mengatakan pada orang yang mereka jumpai bahwa ia sedang membawa dua orang yang menjadi dalang di balik banyak kejahatan di wilayah Pajang.
Saat mereka mencapai gerbang kota Pajang, Ki Getas Pendawa menemui prajurit jaga lalu memberi perintah, ”Katakan pada pemimpinmu bahwa Pangeran Parikesit telah meringkus Batara Keling dan Rambesaji tetapi kami akan membawa mereka ke Padepokan Cambuk Seketi. Pangeran telah memutuskan untuk tidak memasuki kota. Kami akan mengambil jalan memutar.”
Segera prajurit jaga itu meneruskan pesan yang disampaikan oleh Ki Getas Pendawa, sementara para pengawal dari kademangan pun dipersilahkan untuk istirahat barang sejenak sebelum mereka diizinkan kembali ke kademangan. Namun oleh Pangeran Parikesit, para pengawal kademangan ini ditugaskan untuk menyebarkan berita penangkapan Batara Keling dan Rambesaji sejauh wilayah yang mereka jangkau dalam perjalanan pulang.
“Sebarkan berita penangkapan dua orang ini ke setiap pedukuhan dan kademangan yang kalian lewati. Temuilah bekel dan jagabaya bahkan kalian boleh berkeliling pasar untuk menyatakan penangkapan ini.” Beberapa keping logam kemudian diangsurkan Pangeran Parikesit pada pemimpin pengawal lalu katanya, ”Ini bekal sekedarnya bagi kalian karena mungkin kalian akan menempuh waktu yang sedikit lebih panjang.”
Para pengawal kembali menganggukkan kepala, pemimpin mereka kemudian mengucap beberapa kata. Tak lama kemudian mereka pun minta diri kembali ke kademangan. Pangeran Parikesit pun mengambil jurusan lain. Ia bersama Ki Getas Pendawa disertai prajurit Pajang meneruskan perjalanan menuju padepokan Ki Kebo Kenanga.
Gerbang Demak.
Adipati Hadiwijaya merasa getar aneh perasaannya. Sebenarnya ia tidak merasa curiga dengan kedatangan Adipati Arya Penangsang, tetapi ia tidak dapat mengalihkan pertanyaan yang menyembul kuat dari relung hatinya. Dan sepertinya Adipati Hadiwijaya masih menunggu saat yang tepat karena tidak ingin dua prajurit di belakang mereka dapat mengetahui isi percakapannya. Sekitar lima puluh atau enam puluh tombak sebelum mencapai tepi hutan, Adipati Hadiwijaya menghentikan langkah kaki. Ia membalikkan badan kemudian katanya pada dua orang prajurit, ” Bila kalian tak merasa terhalang, akankah kalian berdua berburu untuk kami?”
”Kami bersedia, Kanjeng Adipati!” tegas pengawal yang berambut dua warna. Tak lama kemudian mereka bersiap dengan alat-alat perburuan lantas pergi menyusur lebat pohon yang tegak berdiri di batas hutan. Lorong panjang yang menembus hutan telah terlihat. Sebidang luas padang yang dipenuhi rerumputan pendek seolah menjadi pembatas meski sebenarnya mereka masih berada di dalam hutan yang sama.
Sedikit di belakang Adipati Hadiwijaya, Adipati Arya Penangsang lembut menarik napas dalam-dalam. Air mukanya terlihat begitu tenang dengan pikiran yang dapat menerka maksud pemimpin Pajang itu. Dalam waktu singkat, Pendengaran tajam Adipati Hadiwijaya sudah tak mendengar lagi derap kaki dua prajurit dari Demak yang bertugas mengawal mereka berdua.
”Saya merasa belum berterima kasih pada Anda, Kakang Penangsang,” kata Adipati Hadiwijaya.
Kepala berikat kain berwarna gelap itu menggeleng pelan, kemudian Adipati Arya Penangsang berkata, ”Tidak perlu Kakang katakan itu.”
Debar jantung Adipati Hadiwjaya terpacu sedikit lebih kencang. Ia telah menempatkan diri dalam masa yang lama dan berpikir bahwa tidak sepatutnya pemimpin Jipang itu menggunakan sebutan kakang terhadapnya. Dan Adipati Hadiwijaya merasa bahwa saat itu adalah waktu yang tepat untuk berbicara mengenai perasaannya dan banyak berita yang ia dengar.
”Saya tidak merasa terhormat dengan kedudukan yang sebenarnya bukan untukku,” kata Adipati Hadiwijaya membuka perbincangan dengan suara penuh kesungguhan.
Kening dari orang yang pernah mengajarkan landasan ilmu Jendra Bhirawa pada Pangeran Benawa sesaat berkerut. Ia mendongakkan wajah lalu katanya, ”Tidak ada alasan untuk membuat keberatan itu diterima. Kakang Hadiwijaya adalah ayah dari seorang anak yang kelak akan aku jaga sendiri menggapai tahta Demak. Saya memanggil Anda seperti itu karena penghormatan saya pada derajat Jaka Wening.”