Sama sekali tidak ada ketimpangan dalam serangan gencar dan garang dari Gumilang. Ia mampu menutup celah yang muncul dari setiap perkembangan unsur geraknya. Kemampuannya meningkat pesat dalam bimbingan Ken Banawa dan gurunya, Ki Dipa Balawan, yang masih sering dikunjunginya. Setiap kali ia mendatangi tempat gurunya, orang dapat menilai perhatian besar anak muda ini pada keadaan seseorang yang berjasa besar bagi dirinya.
Meski Patraman belum menemukan titik lemah senapati muda Majapahit, tetapi ia bukanlah anak muda yang baru saja mampu berkelahi, Patraman sudah banyak terjun langsung dalam perkelahian seorang demi seorang maupun sebagai prajurit Majapahit. Dengan nyeri yang masih tertinggal di dalam bahu kanannya, tubuhnya membumbung, melesat lurus ke depan dengan satu sabetan mengarah pada wajah Gumilang!
Patraman dengan cerdas membawa Gumilang bergeser lebih jauh dari Arum Sari. Rencananya adalah Arum Sari dapat dilarikan secepatnya oleh Laksa Jaya. Dalam waktu itu, seruan-seruan yang berasal dari pertarungan antar pengikut menunjukkan kedudukan yang berat sebelah.
Sekilas pandang Patraman menyapu lingkaran kecil di sebelahnya.
“Baiklah, aku harus mengakhiri perkelahian ini secepatnya. Semakin cepat semakin baik. Aku di atas angin sekarang!” pikir Patraman. Ia masih belum menuntaskan perkelahian dengan sesama perwira Majapahit.
Tiba-tiba.
Terdengar keluhan pendek tertahan dan seseorang roboh bermandikan darah yang keluar dari batang lehernya. Sebatang keris yang berukiran pohon jati pada gagangnya telah menembus leher Laksa Jaya.
Hati Patraman berdesir, sejenak rasa tidak percaya mengurungnya ketika melihat Laksa Jaya roboh tak berkutik. Namun itu tidak lama, deru angin yang berasal dari gerak pedang Gumilang menarik paksa dirinya. Tubuhnya merendahkan sedikit ke kiri agar lepas kejaran pedang Gumilang.
Sewaktu ia bergerak surut, Patraman tidak mengingkari bahwa dirinya dicengkeram kegelisahan, pesan penting datang mengapung di atas kepalanya dengan sebuah kata: gagal!
Sekilas diliriknya kedudukan Ki Cendhala Geni yang ternyata masih seimbang dengan Ken Banawa. Dan pandangannya juga melihat Ubandhana yang mulai keteteran melawan Bondan. Atas kedudukan terbaru yang dilihatnya, Patraman pun merencanakan untuk melepaskan diri dari kejadian yang menemuinya sepanjang hari hingga malam ini.
Semasa Laksa Jaya beringsut mendekati Arum Sari, Bondan yang terlibat perkelahian seru dengan Ubandhana menangkap gerak dari ujung matanya. Di bawah ancaman ujung tombak musuh yang seperti memiliki mata, Bondan menjulurkan udengnya ke pergelangan tangan lawannya yang memegang tombak. Ubandhana menyadari meskipun itu bukan serangan yang berujung kematian tetapi tangannya bisa saja patah karena sentakan bertenaga dari Bondan. Untuk itu ia menarik serangannya dengan cepat, tetapi kesempatan sekejap itu dapat dimanfaatkan Bondan dengan lontaran keris ke arah Laksa Jaya.
“Terlambat!” batin Ubandhana. Kesadaran yang tertinggal ketika ia memasuki perangkap lawannya. Walau ia cermat mengamati gerak tandang Bondan dan berusaha menggagalkannya, tetapi Bondan bergerak lebih cepat. Tak lengah dengan perkembangan itu, Ubandhana sigap memutar tombaknya seperti baling-baling. Bondan telah bersiap menerima terjangan Ubandhana sekalipun kini hanya bersenjatakan ikat kepala. Walau demikian, Ubandhana tidak mengurangi kewaspadaannya karena ia mengetahui ketangkasan Bondan saat bersenjatakan udeng.
Sekalipun secara mata lahiriah hanya selembar kain yang mungkin tak berarti, tetapi itulah yang menjadi kekuatan udeng sesungguhnya. Udeng Bondan menyambar, meliuk-liuk dan sesekali menyengat pergelangan tangan musuhnya, malah terkadang memburu dada dan kepala salah seorang yang pernah mengeroyoknya. Bondan memutuskan untuk segera mengakhiri pertarungan agar dapat segera menuntaskan perhitungan yang belum selesai dengan Ki Cendhala Geni.