Bab 5 Tiga Orang
Dua pekan berlalu.
Di sisi selatan sebuah candi terlihat dua orang lelaki muda sedang berlatih tanding. Telah lewat satu musim hujan sejak peristiwa penyergapan di Alas Cangkring, Bondan telah pulih dan itu tersirat dari gerakannya kala menyerang atau menangkis serangan Gumilang. Sekalipun belum menyamai kecepatan seperti saat sebelum terluka parah, namun Bondan terus menerus berusaha keras meningkatkan ketahanan dan kekuatan sepenuhnya. Usaha yang sangat keras tercermin pada semakin berlipatnya tenaga inti dan kemampuannya membaca pergerakan Gumilang yang sedang berlatih bersama dengannya.
Tak jauh dari keduanya yang sedang berlatih bersama, di sebuah barak prajurit, seorang lelaki yang berusia lebih banyak dari Ken Banawa sedang duduk berhadapan dengan tiga orang lainnya. Raut wajah tegang tampak jelas terlihat dari mereka. Berulang kening mereka berkerut. Sorot mata tajam sering melintas di atas meja kayu yang menjadi pembatas jarak satu-satunya yang ada di ruangan itu.
“Sebenarnya saya tidak ingin mengungkit lagi sebuah perbuatan yang telah terjadi. Tetapi suara dari dalam hatiku selalu mendesak untuk menyatakan yang kebenaran,” kata orang tua berjubah hitam bernama Mpu Tandri, seorang pemimpin pasukan gajah kerajaan.
“Mereka akan mengatakan tentang apa saja, Ki Nagapati. Dan sebenarnya saya sendiri mengkhawatirkan satu kata yang akan keluar dari mulut mereka. Sebuah pembelaan. Kata pembelaan ini dapat menghantam kita kapan saja. Itu akan menjadi alasan Sri Jayanegara menghukum mati kita semua yang ada di barak ini,” Mpu Lenggana, seseorang yang berambut putih seperti perak berkata dengan suara parau.
“Aku mendengarkan,” pendek Ki Nagapati berkata. Tatap matanya memancarkan wibawa yang sangat besar tetapi ia tidak dapat menutupi hatinya yang pilu.
“Ki Nagapati, di lereng bukit sebelah utara dinding kotaraja telah kita siapkan sejumlah orang untuk persoalan ini. Dan mereka memang telah bersedia melakukannya demi keyakinan bahwa mereka benar. Apalagi keluarga kakang Lembu Sora dan kakang Gajah Biru telah memberikan apa saja yang kita butuhkan,” kata Mpu Lenggana.
Kemudian ia melanjutkan, ”Jadi sebenarnya bagi kita menduduki kotaraja adalah hal yang dapat dilakukan tanpa harus mengotori jalanan dengan tubuh yang berserakan. Kakang dapat memerintahkan prajurit dari kesatuan lain untuk membuka pintu benteng dari dalam, kemudian membiarkan pengikut dari bukit bergerak memasuki kotaraja. Bersamaan dengan itu, kita dapat menundukkan mereka yang berada di balik benteng istana.”
“Bukan. Aku tidak bermaksud untuk menduduki kotaraja. Aku dan mungkin keluarga kakang Lembu Sora serta Gajah Biru pun tidak akan pernah setuju untuk merebut kotaraja,” Ki Nagapati sedikit menjelaskan. Nada getir terpancar dari getar suaranya.