SuaraKawan.com
Sastra Kawan

Puisi : Tarian Liar Keheningan

Fajar pagi mengecup lembut wajahku yang berkilau keperakan.
Aku menatap penuh rindu pada matahari.
“Rupanya kau tengah jatuh cinta?” ejek ranting yang tengah bergesekan di antara daun-daun.
Aku menunduk sambil mengerling penuh arti pada matahari, yang tersenyum ramah.
Wajahku, menghangat.
Aku tersipu malu.
Ingin rasanya bersembunyi di balik lembar-lembar daun teratai, yang menghiasi tubuhku.
Pandanganku terhalang oleh kepak sepasang angsa tengah berkejaran. Sayapnya membuat riak lembut di tubuhku. Aku tersenyum kecut, terganggu.
“Ah, aku kehilangan wajah pujaanku.” Lenguhku lesu.
Huh! Gumpalan awan hitam telah membuat wajahnya tertutupi. Lenyap.
“Sial! Kangenku belum tuntas!” umpatku sengit.
Tiba-tiba aku terlonjak. Geli.
Duh, sungguh terlalu!
“Kalian membuat kaget!” teriakku kesal. Edan!
Tanpa aba-aba, dua ekor angsa sinting. Menyusup liar ke dalam tubuhku.
Berceloteh mesra saling berkejaran.
Sambil sesekali berlomba adu cepat dengan ikan-ikan yang tengah berenang hilir mudik.
Kadang mereka, berloncatan indah di atas batuan cadas yang mencengkeram tubuhku.
Antara jengkel dan geli, akhirnya aku memilih menikmati ulah konyol angsa yang tengah kasmaran.
“Ahh, bahagianya mereka.”
Sungguh aku si perindu nan malang. Aku harus berpuas diri, dengan hanya bisa menatap wajah pujaanku dari jauh,” keluhku kesal, sambil mengeliatkan tubuhku.
Membentuk riak-riak kecil, menerpa tubuh bocah bertelanjang dada.
Bocah-bocah kecil berteriak girang. Bermain air, berlarian dan berkejaran, sambil membawa jala berburu ikan-ikan.
Aku tersenyum bahagia.
Walau mereka tak paham arti senyumku.
Tak apa.
Sesekali terdengar canda riang. Mulut mungil terbahak melepas tawa. Tangan-tangan kurusnya tak henti menepuk-nepuk tubuhku Bersemangat mengajakku bermain. Gembira dengan cara mereka. Mungkin agar aku dapat sejenak melepaskan sepi. Beberapa bocah berenang ke tengah.
“Hati-hati!” teriakku cemas.
Aku tak pernah bosan-bosan memperingati mereka.
Aku tak ingin pusaran ganas di tengah tubuhku membelit dan menyeret mereka.
Sumpah!
Aku tak sanggup, setiap kali harus menerima tatapan luka penuh sorot kesedihan dari para perempuan yang kehilangan buah hatinya.
Mendadak terdengar jeritan keras. Teriakan minta tolong.
Aku bergerak cepat, bergegas mencari sumber suara itu.
Sepasang tangan tersembul di antara tubuhku. Timbul-tenggelam.
Sekuat tenaga, aku mencoba menolongnya. Berusaha meraih tangan mungil itu.
Terlambat.
Pusaran ganas itu lebih dulu menyeret tubuh bocah malang itu.
Tangan bocah itu lenyap. Tenggelam.
Aku terkulai lemas. Geram, menangisi, beberapa lembar nyawa melayang sia-sia.
Aku tak henti merutuki diriku sendiri. Kecewa.
Mengapa harus terlambat menyelamatkanya?
Ini yang kesekian kali.
Aku gagal dan gagal lagi.
Aku selalu marah pada diriku. Pada pusaran sialan yang harus menjadi bagian diriku.
“Jangan menuduh aku kejam!” rintihku pedih.
“Sungguh! Aku pun benci pada pusaranku ini!” raungku pilu.
“Pusaran sialan!” makiku benci.
“Kau tak henti-henti menyusahkanku!”
“Maaf, aku bukan tak mau menolong,” keluhku tertunduk lesu.
“Aku tak berdaya”
“Takdir seringkali memilih caranya sendiri.”
“Aku tak mampu mencegah kecelakaan itu” isakku pilu.
Malam dingin kian mencekam. Kabut kelam memeluk rembulan yang tersenyum gelisah. Wajahnya kecewa, tak dapat lagi bercermin di wajah beningku.
Wajahku coklat keruh.
Lebih dari sepekan hujan deras menganas. Layaknya air bah yang ditumpahkan dari langit. Petir meradang hebat, lidah-lidah kilat menggila.Ujungnya menyambar dan menghanguskan beberapa ranting.
Badai hebat merobohkan sisa batang-batang pohon, yang belum tuntas di tebang.
Akar-akar besar mencuat dari pohon besar yang tumbang, tergeletak berserakan di jalan-jalan.
Tiba-tiba, air sungai di seberang jalan meluap. Menerjang menyapu semua yang menghadangnya.
“Banjir! Banjir! Banjir bandang!”
Teriakan panik penduduk desa riuh reda.
Bencana, kejam menghajar seantero alam.
Wajah-wajah muram menatap dari balik kaca jendela yang berembun. Air menerjang ke dalam rumah-rumah hingga sepinggang badan manusia.
Seisi rumah terendam banjir.
Rusak! Hancur!
“Aduhh, di mana tubuhku?
“Apa yang terjadi?
“Bau apa ini?” teriakku panik.
Aroma kematian menguar dari tubuhku. Banjir telah menukar tubuh dan wajahku.
Gelap!
Aku tak mampu melihat apapun.
Hanya lamat-lamat terdengar teriakkan sedih yang menyayat. Beberapa tubuh terseret pusaran arus dan tengelam di lubang arus tubuhku.
Sejenak, meledaklah raungan pilu. Menjerit memanggil
-manggil nama-Nya.
“Aku bukan pembunuh!” jeritku pilu didera putus asa.
“Jahanam! Pusaran busuk ini sungguh menyiksaku.”
“Hidupku hancur karena ulah terkutukmu!”
Aku tak tahu lagi.
Apa yang tengah terjadi pada diriku.
BSD CITY, 30.05.19
#Pearl Angels

Related posts

Puisi : Sekeping Hati

Redaksi Surabaya

Bulan Telanjang 12

Ki Banjar Asman

Puisi : Menapak Senja Ketika Malam

Redaksi Surabaya