Terbatasnya penglihatan, karena terhalang pagar berduri yang menjadi dinding api dan asap yang menyebar, digunakan Ken Banawa untuk memerintahkan Gumilang mempersiapkan pasukan berkuda. Pasukan Gumilang akan menjadi belalai gajah dalam susunan Dirada Meta.
Dalam barisan Gumilang terlihat seseorang berusia setengah baya dan tidak mengenakan pakaian prajurit.
“Kahyangan setra gandamayit,” desah perlahan keluar dari bibir orang tua yang berwajah tenang dan sorot mata yang menyejukkan.
“Itulah yang kita hadapi untuk hari-hari belakangan ini, Paman Mpu Drana,’ kata Gumilang kepada orang tua yang mengenakan pakaian yang dilibat selendang putih.
“Tempat ini akan menjadi sangat menyeramkan. Tujuan suci dan perbuatan mulia akan segera terbungkus dalam kebengisan dan kekejaman,” kata Mpu Drana.
Gumilang termangu. Ia membayangkan pemandangan yang mengerikan. Ratusan atau ribuan jasad mungkin akan membusuk, mungkin pula api menghanguskan sebagian tubuh, kemudian bau daging terpanggang akan merebak memenuhi angkasa.
“Gumilang, siapkan orang-orangmu. Bawa mereka dan bergeraklah memasuki barisan mereka ketika nyala api tidak terlalu besar seperti sekarang ini,” kata Ken Banawa.
“Baik, Paman.” Gumilang bergegas memutar kudanya diikuti oleh Mpu Drana, lalu ia mengatakan pesan kepada beberapa senapati yang tergabung dalam kelompoknya.
Ki Sentot yang menyaksikan dinding api telah menghalangi pandangan mata bergegas memacu kudanya mendekati Ki Gede Pulasari. “Ki Gede, lepaskan gajah. Perintahkan mereka menerobos kepungan api,” kata Ki Sentot.
“Saya berpikir seperti itu,” ucap Ki Gede Pulasari, lalu berpaling dan berteriak lantang, ”Bawa gajah-gajah ke depan. Siapkan diri kalian, kita terobos dinding api itu!”
Dan ketika Ki Gede Pulasari menghentak kuda ke barisan di depannya, maka terlihatlah delapan ekor gajah berjalan menyibak barisan prajurit. Pada belalai gajah-gajah itu telah terpasang rantai kecil yang mempunyai bandul duri tajam pada setiap ujungnya. Tiga atau empat orang berada di setiap punggung gajah sambil mempersiapkan anak panah.
Pada saat yang hampir bersamaan, ratusan anak panah menerjang barisan Ki Sentot. Seperti angin yang menyusup pada lubang-lubang di dinding, ujung tajam senjata jarak jauh dari kubu Sumur Welut melesat rendah menerobos dinding api.
Terdengar jerit kesakitan dan orang-orang mengumpat karena serangan panah yang tidak disangka-sangka. Sebagian orang terluka karena anak panah yang menancap pada kaki, lengan bahkan perut mereka. Sebagian prajurit Ki Sentot juga menemui kematian karena anak panah yang menembus dada mereka.
“Ken Banawa benar-benar gila,” desis Ki Sentot ketika menyaksikan sejumlah prajuritnya roboh. Mereka yang terluka segera digeser ke belakang kemudian digantikan barisan yang berada di belakang mereka.
“Angkat perisai kalian. Merapatlah dan maju!” perintah Ki Gede Pulasari. Para prajurit segera membentuk garis lengkung setengah lingkaran yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil. Sekejap kemudian terbentuklah dinding perisai yang tak mudah ditembus. Mereka mengendap semakin dekat.
Namun justru asaplah yang menjadi musuh berat bagi kedua pasukan ini.
Napas menjadi sesak dan mata pedih karena asap yang menyebar telah menjadi satu persoalan tersendiri yang harus dihadapi oleh kedua pasukan yang berseberangan. Meskipun begitu, tekad membaja yang terhunjam dalam setiap dada prajurit mampu mengabaikan kehadiran asap yang sebenarnya mengganggu pergerakan mereka.
Perlahan namun pasti pasukan gajah kian dekat dengan dinding api. Pawang gajah berusaha menenangkan gajah-gajah yang terlihat gelisah melihat deret api yang tampak di mata mereka.
“Kiai, jika kita terlalu lama menunggu api sedikit reda maka boleh jadi gajah-gajah itu justru akan menghantam balik ke barisan kita,” seru Ki Sentot.
“Tidak, Ki Sentot. Aku butuh sedikit waktu untuk menenangkan gajah-gajah itu,” jawab Ki Gede Pulasari.
Keadaan sedikit merugikan pihak Kiai Sentot karena angin tiba-tiba berhembus ke arah mareka!
Ketika kebingungan melanda para prajurit Ki Sentot, mendadak mereka dikejutkan sorak sorai dan tepuk tangan dari sayap utara. Seseorang berbadan besar dengan otot pada lengan yang kuat tampak meluncur cepat di atas bahu para prajurit. Orang ini menjinjing kapak bertangkai panjang dengan rambut terurai sebahu berlari lebih cepat dari kijang di hutan dengan menggunakan bahu para prajurit yang berada di depannya sebagai pijakan.
“Ki Cendhala Geni,” desis Ki Jayanti yang berada tak jauh dari tempat Ki Cendhala Geni berada.
“Iblis bunting! Apa yang akan dilakukan orang tua itu?” gumam Ki Gede Pulasari.
Seolah tahu isi pikiran Ki Gede Pulasari, maka Ki Sentot pun menoleh kepadanya sambil berkata, ”Biarkan ia meluapkan kegelisahannya, Kiai. Mungkin itu akan beguna bagi kita. Lihatlah, kapaknya telah membuka celah bagi kita untuk menyerang Sumur Welut.”