“Aku adalah api itu sendiri dan aku akan membakar habis pasukan Majapahit sekalipun jumlahnya sehamparan tebasan parang,” kata Ki Cendhala Geni.
“Begitukah?”
“Begitulah. Selama ini aku merusak ketenangan dan kejayaan Majapahit dengan sebuah alasan, bahwa aku tidak ingin keturunan Sri Rajasa menjadi abadi dalam ketenangan. Sejauh ini langkahku telah berhasil, aku berpikir begitu. Tetapi, entah sebuah kebetulan atau sesuatu yang tidak aku mengerti, aku memasuki masa sulit pada waktu terakhir.” Raut wajah Ki Cendhala Geni menatap langit rumah. Di dalam hatinya selama itu menyala api kebencian, rasa benci yang cukup hebat hingga setiap kakinya menjejak, di situ ketenangan dan kedamaian terusir. Pandangan hidup, semangat dan harga dirinya telah melebur dalam satu hasrat. Hingga batas tertentu, ia berbekal keyakinan akan sanggup meratakan kotaraja.
“Aku mendengar usahamu di Kahuripan, dan itu pekerjaan yang cukup bagus,” kata Ki Sentot, “namun engkau tidak dapat disalahkan apabila memutuskan untuk membantu lurah prajutrit itu.” Tidak ada nama Patraman yang disebut oleh pemimpin Bulak Banteng itu, dan mengertilah orang-orang apabila penculikan Arum Sari tidak pernah ada dalam pertimbangan Ki Sentot Tohjaya. Bahkan mungkin ia menganggap peristiwa itu hanya sebuah usaha kecil untuk mengetahui kesigapan prajurit Majapahit.
Ki Cendhala Geni yang mengenal wataknya dengan baik, akhirnya hanya dapat memaki nalarnya yang pendek. “Bodoh! Aku terlalu percaya pada siasat Pang Randu tanpa ada jalan lain yang sebenarnya dapat aku pikir sendiri. Tapi tidak ada yang patut disesali karena aku juga tidak terlalu kecewa dengan kegagalan itu. Yang terpenting buatku adalah masih dapat menjaga api dan berpindah kubu demi tujuan akhir. Kahuripan dan Bulak Banteng hanya sekedar jalan yang aku lewati.”
“Tetapi aku mengenal sangat baik seseorang yang bernama Ki Cendhala Geni. Ia akan kembali dengan kekuatan dan semangat yang lebih hebat. Ia akan menggapai tujuannya,” berkata Ki Sentot Tohjaya seakan mengerti jalan pikiran Ki Cendhala Geni.
“Ya, aku juga mempunyai keyakinan yang sama dengan Ki Sentot,”
Dua orang setengah baya ini pun lantas bangkit lalu berjalan menuju dermaga kecil di tepi pantai. Puluhan kapal telah disiapkan untuk membawa pasukan sehamparan tebasan parang dan beberapa ekor gajah. Persiapan akhir terlihat jelas sedang dilakukan oleh Ki Sentot dan pengikutnya.
“Besok setelah turun senja, kita berangkat menuju perbukitan Gunungsari. Kapal-kapal kita belokkan ke utara memasuki sungai kecil dan kita tambatkan lebih ke dalam. Kita berkemah di perbukitan Gunungsari,” begitu perintah terakhir Ki Sentot Tohjaya kepada para senapati dan perwira yang mengikutinya.
*****
Di malam yang sama, Bondan dan Gumilang bergerak mendekati Bulak Banteng.
“Mengherankan. Ada yang janggal di tempat ini,” kata Bondan ketika mereka mulai mendekati wilayah pedukuhan terluar. Keadaan begitu sepi dan gelap gulita. Pendengaran Bondan yang tajam secara samar-samar mendengar suara riuh dari kejauhan.
“Marilah, kita bergeser ke sana. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita dapatkan,” kata Bondan sambil menunjuk sumber suara yang didengarnya. Kemudian mereka berdua berjalan sambil merunduk melintasi pategalan yang ditumbuhi tanaman jagung yang belum begitu tinggi.
Puluhan kapal yang dihiasi ratusan pelita segera terlihat oleh Bondan beserta kawannya.
“Rupanya mereka menempuh perjalanan dengan kapal,” bisik Gumilang kepada Bondan. Keduanya semakin mendekati dermaga. Dalam jarak selemparan anak panah, mereka merayap bergeser maju untuk melihat semakin dekat.
“Tunggulah di sini. Aku akan maju lebih dekat lagi,” kata Bondan.
“Berhati-hatilah.”
Bondan pun merunduk maju dan secepat anak panah tubuhnya melayang dan hinggap di sebuah dahan pohon sengon yang cukup besar. Terlihat olehnya seseorang membawa kapak besar sedang berbincang dengan beberapa orang. Setelah meyakini yang telah dilihatnya, Bondan pun beringsut kembali ke tempatnya semula.
“Mari kita tinggalkan tempat ini,” ajak Bondan.
“Apakah kita sudah cukup memperoleh pengamatan?”
“Aku kira sudah cukup dan segera kita laporkan kepada paman,” jawab Bondan.
Keduanya meninggalkan tempat itu dengan sesekali menengok ke belakang untuk mengawasi jika ada yang memergoki mereka.
“Mungkinkah kita akan melepaskan panah api ketika mereka memasuki muara Kalimas, Bondan?” tanya Gumilang ketika mereka menghentak kuda sedikit lebih cepat.
“Aku yakin dengan kemampuanmu tetapi kita juga harus menyesuaikan diri dengan rencana paman, Gumilang,” jawab Bondan sambil memberi tanda untuk lebih berhati-hati dalam perjalanan menembus malam. Meskipun bulan belum bulat sepenuhnya tetapi sinarnya sedikit membantu perjalanan mereka di bawah kepekatan malam.