Toh Kuning tercenung mendengar ucapan Ki Arumpaka yang selangkah maju mendekatinya. Namun Toh Kuning masih tetap waspada. Pada saat itu ia mendengar suara Pamekas, ”Jangan hiraukan orang itu, Ki Lurah. Ki Lurah tidak boleh terpedaya dengan kata-katanya.”
“Aku akan menjadi bagian dari apa yang kau katakan tetapi aku mempunyai jalan yang berbeda denganmu,” sahut Toh Kuning. Ia maju setapak lalu katanya, ”Ki Arumpaka, aku akan membiarkanmu pergi dari sini. Dan kau dapat beritakan pada dunia tentang Toh Kuning. Murid Begawan Purna Bidaran yang akan datang menggantung setiap penentang raja. Atau kau mungkin telah berpikir tentang sebuah pilihan untuk tetap berada di tempat ini lalu mati dan dilupakan orang-orang.”
“Aku merasa geli dengan ucapanmu,” sahut Ki Arumpaka. Diam-diam ia mengalirkan tenaga inti yang menjadi puncak tertinggi ilmunya. Ia berkata dalam hatinya, ”Aku akan menjadi lebih baik apabila dilupakan orang.”
Tiba-tiba Ki Arumpaka mendesah dan dapat didengar orang sekitarnya. Mereka dapat melihat percikan api berwarna biru keluar dari cambuk Ki Arumpaka yang menjuntai menyentuh tanah.
“Ia memang orang luar biasa!” Toh Kuning memuji dalam hatinya. Ia telah bersiap. Puncak ilmu yang diterima dari Begawan Bidaran mengisi senjatanya. Toh Kuning sedang menunggu saat yang tepat untuk melepaskan ilmu tertingginya.
Ki Arumpaka mengangkat cambuknya dan menghentak sendal pancing lalu memutarnya seperti baling-balig. Tidak ada suara ledakan yang timbul dari hentakan itu tetapi gelombang tenaga telah membuat lubang memanjang, dan menerbangkan debu-debu tanah yang kemudian menjadi selubung rapat menutupi tubuhnya. Tidak ingin lawannya dapat lolos dari sergapan, Toh Kuning menjejakkan kakinya ke tanah dan melompat maju sangat cepat dengan kedua tangan mendorong ke depan.
Untuk sekian kalinya terjadi tumbukan dua tenaga yang menggetarkan semesta. Suara ledakan mendentum tidak memekakkan telinga. Namun beberapa pohon menjadi tumbang dan rumah itu runtuh sebagian bangunannya. Toh Kuning kembali terpental namun dapat menjaga keseimbangan dalam keadaan berdiri, sedangkan kakinya terbenam sedalam betis ketika ia menjejakkan kakinya di atas tanah.
Tidak terdengar teriakan atau suara Ki Arumpaka.
Namun orang-orang yang masih dapat melihat akhir pertarungan hebat itu segera mengerumuni tubuh lemas yang tergolek dalam selubung debu. Ki Arumpaka tergolek tanpa nyawa lagi dengan senyum mengembang.
Toh Kuning mengerutkan kening saat melihat raut wajah Ki Arumpaka. Namun ia tidak dapat berpikir jauh karena perhatiannya segera teralihkan oleh kesibukan orang-orang yang mengurus para tawanan dan mereka yang terluka.
*****
Sementara itu di istana Tumapel, Akuwu Tunggul Ametung tidak mengalami kesulitan seperti halnya pasukan khusus pimpinan Toh Kuning saat meringkus kawanan Ki Arumpaka.
“Kalian tidak akan mendapat hukuman mati karena perbuatan kalian di Bukit Katu atau di tempat lainnya,” kata Tunggul Ametung setelah para tawanan dikumpulkan di halaman sebelah kiri istana.
Pengikut Ki Arumpaka bertukar pandang dengan gelisah. Mereka telah membayangkan Akuwu Tunggul Ametung akan menjatuhkan hukuman mati. Sehingga rasa heran membuncah dalam dada mereka dan mereka masih menunggu kata-kata Tunggul Ametung selanjutnya.
“Aku akan mengirim kalian ke tempat-tempat yang mempunyai banyak kegiatan,” Tunggul Ametung menatap satu per satu orang yang duduk dibawah. Ia meneruskan kata-katanya setelah menyebut nama-nama tempat yang ia maksudkan,”Aku akan memberikan kalian sebagai hadiah bagi Sri Baginda. Kalian akan tetap hidup dan bekerja di beberapa bendungan dan membuat tanggul.”
Para tawanan segera merasakan kengerian dalam hatinya. Mereka akan menerima hukuman yang lebih mengerikan daripada hukuman mati. Meskipun mereka tetap hidup namun bekerja untuk membuat bendungan dan tanggul adalah siksaan abadi. Mereka telah menyaksikan sendiri keadaan di tempat-tempat itu. Rasa lapar dan haus, kepanasan dan kedinginan serta pukulan-pukulan para prajurit yang mereka benci akan menjadi teman sepanjang hari.
“Kau takut menghukum kami dengan kematian, Akuwu,” kata seorang tawanan.
“Diam!” bentak Tunggul Ametung. Kemudian ia berkata, ”Kalian adalah hadiah terbaik dan bukti terbaik untuk menjadi contoh bagi mereka yang menentangku.”
Seorang prajurit kemudian minta izin untuk melaporkan perkembangan yang digapai pasukan khusus. Ia berkata pelan dan nyaris tidak dapat didengar oleh orang lain. Tunggul Ametung manggut-manggut dan sekali-kali terlihat senyum di bibirnya. Sebentar kemudian prajurit itu meninggalkan akuwu setelah selesai memberi laporan.