SuaraKawan.com
Bab 9 Rawa-rawa

Penculikan 26

Gumilang menatap lekat wajah Patraman.Begnsid dan haus darah, pikir Gumilang ketika itu. Gumilang merasakan getar kemarahan jelsa terpancar dari dua sorot mata musuhnya. Gumilang sadar sepenuhnya bahwa Patraman akan mengerahkan seluruh sisa-sisa tenaga untuk membinasakannya.

“Patraman, menyerahlah! Ada penyelesaian untuk mengakhiri masalah ini selain kematian,” perintah Gumilang.

“Persetan! Hidup sebagai orang yang dikurung adalah kehinaan abadi. Aku sudah bersiap untuk mati bersamamu, Gumilang!” geram Patraman. Gumilang meremang dengan kalimat terakhir Patraman yang seolah-olah telah menjadikannya sebagai orang yang tidak lagi mempunyai jantung yang berdetak.

Bentakan keras terdengar bersamaan ketika keduanya saling serang lagi.

Pada satu kesempatan ketika keduanya surut terdorong ke belakang, Gumilang melayang cepat menerjang Patraman. Jantung Patraman berdesir saat melihat pedang Gumilang telah berada dalam genggaman tangan kiri. Perubahan yang demikian cepat benar-benar mengacaukan perhatian Patraman, sekalipun begitu ia cepat menyesuaikan diri tetapi perubahan itu terlalu cepat. Semakin dekat Gumilang dan selangkah lagi keduanya akan bertumbuk keras.

Kaki Gumilang tiba-tiba berubah haluan! Ia menghunjam tanah dan tubuhnya melayang melintasi kepala Patraman. Patraman cepat melontarkan diri ke bagian kiri namun satu gerakan kejutan terjadi!

Pada saat itu Gumilang sangat cepat menukar senjatanya dengan tubuh masih melayang di udara. Terdengar pekik tertahan. Patraman roboh dengan pedang menembus dadanya. Setelah mencabut pedang, Gumilang mengamati pertarungan Bondan dengan Ki Cendhala Geni.

“Bondan dalam keadaan sulit,” katanya pelan.

Serangan demi serangan beruntun Ki Cendhala Geni, disertai pengalaman bertarung yang panjang menjadikan Bondan terancam bahaya. Sekalipun ia sanggup mengelak dari sabetan kapak namun angin yang ditimbulkan kapak mampu membuat kulitnya terasa pedih. Sedikit demi sedikit Bondan mulai terdesak.  Ketika kaki kanan Ki Cendhala Geni menjulur ke lambungnya, Bondan menarik langkah mundur, seketika ia melihat cahaya putih mengarah ke lehernya. Bondan berhasil mengelak namun ujung kapak masih menyentuh pundaknya dan meninggalkan selarik luka menganga.

Dengan keris yang tak lagi berada dalam genggaman, Bondan sungguh-sungguh merasa sangat sulit menempatkan kedudukan agar seimbang. Ia menyadari tubuhnya akan semakin lemah bila darah tak segera dihentikan. Namun begitu ia tidak berpikir untuk bergerak mundur atau menjauh sesaat meski luka di pundaknya mempengaruhi daya tahannya.

Bondan berloncatan menghindar serangan sambil mencari jalan keluar ketika ikat kepalanya nyaris tidak mampu mengimbangi kapak Ki Cendhala Geni. Dalam kebingungan Bondan mencari jalan keluar, tiba-tiba Gumilang telah menerkam Ki Cendhala Geni.

Bentakan dahsyat mengawali serangan Gumilang.

“Baguslah jika demikian! Dua tikus Majapahit ini pasti akan berbahagia bila mati bersama-sama!” Ki Cendhala Geni menggeram penuh amarah. “Sangat menyenangkan ketika aku dapat membunuh dua pengecut yang mengaku ksatria!”

“Tuan! Lihatlah pesisir!” seru Ubandhana sambil menghindari serangan Ken Banawa.

Ki Cendhala Geni melayangkan pandang ke arah yang ditunjuk Ubandhana. Ia melihat bahwa pengawal Majapahit berhasil mendesak anak buah Patraman. Kini ia menghitung kemungkinan akhir dari pertempuran kecil ini. Jika prajurit Majapahit berhasil menumpas habis pasukan pendukungnya, kemungkinan besar yang terjadi adalah mereka membagi kelompok guna membantu Ken Banawa dan kedua anak muda yang bertarung melawannya.

Meskipun kemampuan Ki Cendhala Geni sangat mumpuni tetapi ia harus memperhatikan akibat buruk jika Ubandhana terbunuh.

Ubandhana berpikiran sama dengannya.

Tidak ada perintah atau tanda yang diberikan, dalam sekejap,  kedua orang ini serentak menyerbu lawan masing-masing.

Ubandhana meningkatkan daya serangnya.

Related posts

Lembah Merbabu 21

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 13 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Berhitung 11

Ki Banjar Asman