Merebut Mataram 59

oleh

Ki Plaosan tahu bahwa Ki Panji Secamerti akan menempuh jalan bahaya dengan sepasang senjata di tangannya. Begitu pula Ki Panji yang sudah dapat menduga isi hati musuhnya ketika sebatang keris telah mengumbar sesuatu yang ganjal. Sebentar lagi tidak akan ada yang berloncatan ke segala tempat. Tidak akan ada lagi salah satu dari mereka yang berbuat bodoh.

Dua orang tersebut kemudian menjadi lebih berhati-hati. Dalam waktu itu, belum seorang pun dari mereka yang menggunakan ilmu meringankan tubuh dari jalur perguruan masing-masing. Mereka berdua masih bertumpu pada gaya serang dan pola pertahanan yang umum dipelajari oleh prajurit, meski demikian, itu bukan berarti tidak sanggup mendatangkan bencana. Sekali-kali tidak, bahkan dari sorot mata mereka sebenarnya telah memancarkan keinginan untuk saling mengalahkan dengan cara yang dahsyat! Sejauh ini, mereka saling memberi perhatian yang seksama, meneliti untuk berusaha mempelajari ragam yang mungkin akan dikembangkan lawan.

Cukup lama menunggu karena Ki Panji Secamerti seperti ingin menguji ketahanan jiwani Ki Lurah Plaosan. Menurutnya, sebenarnya sulit mengalahkan Ki Plaosan dengan tata gerak yang biasa karena mereka sama-sama tahu. Namun untuk mengembangkan gerak dasar menjadi rangkaian gerak yang berunsur sangat tajam pun tidak mudah dilakukan. Tenaga yang timbul dari kibas senjata Ki Plaosan dapat merobek kulit bila ia melakukan kesalahan walau mereka terpisah jarak empat langkah.

Cukup lama pula menunggu bagi Ki Plaosan untuk menyerang! Terlebih daya tahannya mulai terkuras karena pertempuran sebelumnya di Slumpring. Meski mempunyai sejumlah waktu untuk pemulihan, tetapi perang tanding melawan Ki Panji Secamerti telah ditetapkan baginya pada permulaan malam itu. Mendadak Ki Lurah Plaosan membagi kekuatan ilmu pada dua jalur serangan. Jari-jari tangan kiri kadang terkepal untuk melepaskan pukulan jarak jauh. Sekali waktu, Ki Plaosan menggunakan dua jarinya untuk menusuk sepasang mata, pusat dada maupun bagian bawah perut Ki Panji Secamerti dengan menggunakan lapisan-lapisan tenaga cadangan yang dimilikinya.

Belasan tahun mereka menyesap ilmu di perguruan olah kanuragan, dan sekarang, mereka merasa waktunya telah tiba : kini saatnya untuk menghentak tata gerak yang jauh lebih rumit untuk menekan lawan. Perkelahian meningkat sengit ketika dua prajurit – yang tergolong lapisan utama Mataram – mulai menggeser kaki dengan langkah-langkah yang derap kaki binatang. Sesekali kaki-kaki mereka terlihat seperti melukis sebuah bangunan di atas permukaan jalan.

Sejenak kemudian mereka terlihat seperti bergerak-gerak sendiri, menangkis dan menyerang, lalu tiba-tiba meloncat surut, menerjang lalu berhenti pada jarak tertentu dari garis pertahanan lawan. Untuk sesaat, orang-orang akan menertawakan gerakan mereka yang lebih mirip tingkah laku tanpa kewarasan. Namun mereka akan terkejut bila melihat beberapa batang dan ranting tiba-tiba berderak patah, tanah yang bergetar lalu terkelupas dan membentuk garis lurus atau bentuk yang lain. Begitu hebat sehingga bila ada orang yang berdiri tanpa dilapisi ketahanan tinggi, maka lengan atau bagian tubuhnya yang lain akan terpisah atau tergores ujung senjata dua senapati Mataram yang sedang berjibaku nyawa!

Ujung-ujung keris telah menggeleparkan tenaga dan serangan yang aneh. Mereka berdua seolah bertarung di tempat yang tidak nyata, walau kenyataannya adalah mereka berada beberapa puluh tombak dari istana Kepatihan.

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Cerita Silat Online” background=”” border=”” thumbright=”no” number=”4″ style=”list” align=”none” withids=”” displayby=”tag” orderby=”rand”]

Mendadak dan menyimpang dari tata gerak mula-mula, dua senapati yang berlainan kubu itu saling serang dan bertempur sangat hebat hingga udara nyaris bergemuruh seperti badai. Kelebat senjata sudah tidak terlihat lagi karena tertelan mentah-mentah oleh gelapnya malam. Walaupun demikian, tak sejengkal pun mereka bergerak maju. Yang ada hanyalah dua bayangan yang menggerak-gerakkan sepasang kaki dan lengan, mereka bertempur dari jarak tak lebih sepuluh langkah namun tak kurang dari empat langkah. Hawa tenaga yang berpendar dari dua keris seolah terlibat saling dorong dan memotong, dan akibatnya adalah permukaan jalan – yang telah dipadatkan dengan bebatuan kecil – mulai rusak. Daya hancur yang hebat dari pertempuran itu, mungkin, tidak dapat terelakkan lagi.

Cukup lama perkelahian aneh itu berlangsung sangat seru. Melebihi perkiraan Ki Panji Secamerti dan Ki Lurah Plaosan sendiri. Masing-masing dari mereka tertegun dengan kekuatan lawan. Tak sempat muncul pikiran atau pertanyaan dalam hati mereka karena lengah berarti awal perjalanan memasuki dusun-dusun gersang yang dipenuhi arwah orang mati!

Namun, sepertinya, Ki Lurah Plaosan tidak dapat mempertahankan diri pada lapisannya teratas. Kemudian, melalui loncatan panjang yang dilakukannya berulang kali, Ki Plaosan terlihat sedikit mengendur. Itu adalah keadaan yang berada di luar dugaan Ki Panji Secamerti. Dan itu berarti Ki Secamerti makin leluasa menyerang, menghimpit dan menggilas musuhnya dengan cara mengitari Ki Plaosan dengan hujan serangan yang semakin rapat. Putaran yang dilakukannya semakin cepat. Sejauh itu, Ki Plaosan sedikit memaksakan diri karena berlaku surut bukan pilihan yang terbaik. “Aku terkuras tetapi ia semakin trengginas. Bukan main!” desah Ki Plaosan dalam hati. Hanya satu yang tersisa dalam diri lurah Mataram ini : bertempur sampai tak mampu lagi bergerak!

Ketika pendengaran sudah tak lagi dapat diandalkan olehnya, maka sejurus kemudian, walau cadangan tenaga mulai menipis, Ki Plaosan menghanyutkan diri pada gelombang serang yang terkumpul pada senjatanya. Seolah-olah Kiai Wohing Pati, demikian nama keris Ki Plaosan, dapat mengerti kehendak pemegangnya, maka dalam sekejap daya gempur Ki Plaosan kembali menguat. Sebenarnya Kiai Wohing Pati bukan benar-benar benda yang hidup, tetapi Ki Plaosan telah manunggal atau mampu meleburkan watak dan semangatnya pada senjata satu-satunya yang dimiliki. Dengan begitu, tanpa membiarkan diri terlena oleh kekuatan asing – yang sebenarnya juga berasal dari kedalaman hatinya-, Ki Plaosan tergugah oleh hentakan-hentakan asing yang menguasai bagian tangan yang mengendalikan Kiai Wohing Pati. Ki Plaosan seperti mendapatkan kekuatan baru untuk beradu benturan, melayani tusukan-tusukan tajam tanpa berpikir lagi mengenai kedaan wadag yang semakin lemah.

“Ini berbahaya!” desis Ki Patih Mandaraka, “ tetapi sulit untukku memasuki perkelahian mereka. Keduanya sangat berbeda dengan Ki Demang Brumbung maupun Sukra. Semoga aku dapat bersikap seperti Kiai Gringsing ketika berdiam diri dalam perang tanding Agung Sedayu dengan Ki Tumenggung Prabandaru.”

Sekalipun Kiai Wohing Pati adalah pusaka yang hebat, tetapi perkembangan menjadi semakin buruk bagi Ki Lurah Plaosan ketika Ki Panji Secamerti tiba-tiba mengubah cara bertempurnya. Segala sesuatu seperti kembali ke beberapa waktu sebelumnya, pertarungan lambat! Pada saat itu, Ki Panji Secamerti menggetarkan permukaan jalan melalui sepasang kakinya. Setiap kali tumitnya menghentak tanah, maka tubuh Ki Plaosan pun bergetar lalu kedudukannya menjadi goyah. Setiap kali Ki Plaosan goyah, maka cabikan keris Ki Panji Secamerti pun menyentuh kulitnya.

Selarik cahaya melesat, menembus pusar badai tenaga cadangan yang masih berputar-putar di sekitar lingkar perkelahian Ki Lurah Plaosan.

“Licik!” seru Ki Panji Secamerti ketika sebatang anak panah melsat sangat deras mencapai keningnya.

“Ki Lurah Plaosan bukan lawanmu, Ki Panji,” kata Ki Demang Brumbung dengan suara keren.

“Aih, apakah senapati-senapati Mataram kini telah menjadi pengecut?” Ki Panji Secamerti meloncat surut lalu memandang ke tempat Ki Patih Mandaraka berdiri.

Ki Patih Mandaraka, yang merasa pertanyaan itu memang ditujukan padanya, tidak segera memberi tanggapan. Ia berjalan tenang, maju selangkah demi selangkah dan diikuti oleh tatap mata Sukra yang menyiratkan gelora sangat hebat. Lalu kata Ki Patih Mandaraka, “Aku kira perkelahianmu bukanlah sebuah perang tanding. Itu hanya satu kebetulan dalam pertempuran yang melibatkan banyak orang. Aku yakin Ki Panji setuju denganku.”

“Ya, aku dapat mengerti maksud Ki Patih. Jadi, baiklah, aku akan menghadapi kalian bertiga. Maju bersama atau bergantian? Silahkan,” ucap Ki Panji sambil membungkukkan badan.

Malam begitu cerah dengan barisan mendung tipis yang berbaris rapi melintas di atas mereka. Sekali-kali sinar rembulan lepas menerpa permukaan daun. Alam sekitar mereka seperti sedang tidur nyenyak dan tidak terganggu bising pertempuran Nyi Ageng Banyak Patra yang masih berkutat menahan laju Ki Manikmaya. Begitu pula nyalak anjing yang terdengar seolah enggan membangunkan seisi hutan kecil yang mengapit jalan penghubung istana Kepatihan.

Menghadapi Ki Plaosan sudah menghisap banyak kekuatannya, membendung terjangan Ki Demang Brumbung mungkin menjadi perkara mudah, tetapi bagaimana dengan singa tua Mataram? Sedikit resah datang menjadi hantu dalam pikiran Ki Panji Secamerti. Namun tantangan telah dikumandangkan dengan lantang dan udara malam serta merta mengabarkan berita itu pada kawan-kawannya.

No More Posts Available.

No more pages to load.