Kemarahan pengikut Raden Atmandaru semakin menjadi-jadi, oleh karena itu, perkelahian meningkat semakin hebat. Kesungguhan mereka dalam menghadapi Agung Sedayu yang sendirian tidak lagi dapat dipandang sebelah mata. Meski sendirian, senapati Mataram bukan lawan yang mudah ditundukkan. Ki Patak Ireng – yang tidak mengetahui bahwa lawannya telah terluka akibat sentuhan Kiai Plered – berkelahi begitu sengit. Ia mempunyai kemampuan yang memadai untuk merepotkan musuhnya dengan serangan-serangan berbahaya. Begitu pula Ki Sekar Tawang yang menimbang penilaian sebelum menghentak ilmunya selapis lebih tinggi.
Dalam waktu itu, Agung Sedayu kerap mengeluarkan lontaran tenaga yang tidak menimbulkan suara dari ujung cambuknya, namun demikian, dentum cambuk berkali-kali mampu menahan serangan dua pengeroyoknya. Cara bertempur dua anak buah Raden Atmandaru memang menakjubkan. Kelincahan dan kecepatan gerak mereka sanggup membatasi ruang gerak Agung Sedayu. Namun itu bukan pertanda bahwa mereka telah mengendalikan keadaan. Belum, mereka berdua seolah masih menahan diri untuk bersama-sama menghempaskan Agung Sedayu. Perubahan gerak Ki Patak Ireng terlihat begitu nyata. Dari serangan yang begitu ganas dan sangar, tiba-tiba ia lebih cenderung untuk memutari Agung Sedayu.
Yang terjadi pada saat itu adalah Ki Sekar Tawang begitu cerdik memanfaatkan keadaan Agung Sedayu yang sangat payah. Tangan kanan Raden Atmandaru itu mengerti bahwa pemimpin pasukan khusus itu sedang melawang kekuatan asing yang sedang berusaha melemahkannya dari bagian dalam. Sepasang lengannya berayu memberi tanda agar Ki Patak Ireng mengendurkan tekanan, dangayung bersambut!
“Aku akan mengikutinya, karena kemampuan senapati gila itu pasti mempunyai batas,” desis Ki Sekar Tawang dari hati. Menurut penilaiannya, Agung Sedayu sesungguhnya telah kalah pada perkelahian malam itu. Anggapan yang berkembang pada banyak orang adalah terluka berarti kalah. Ki Sekar Tawang teguh berpandangan seperti itu. Ia semakin kuat ketika merasakan pancaran tenaga Agung Sedayu tidak lagi merata. “Luar biasa! Namun apa yang terjadi dengannya? Sesekali tenaganya menghentak melebihi raksasa, tetapi tak jarang ia gagal mengeluarkan tenaga pada lapisan yang sama. Apakah tuah Kiai Plered menyimpan daya rusak yang sedemikian hebat? Dan, apapun itu, keadaan Sedayu adalah keuntungan dari segi mana pun. Sesaat lagi ia akan terkulai, lalu mati kemudian dilupakan,” katanya dalam hati.
Sementara dari jarak yang cukup dekat, Ki Patak Ireng mengacaukan suasana dengan mengeluarkan suara-suara yang sangat bising. Tidak saja keluar dari mulutnya, tetapi juga dari jejak-jejak kakinya ketika berlari dan berlompatan di sekitar Agung Sedayu. Serangan Ki Patak Ireng jauh berkurang tetapi getar suara yang dihasilkannya seperti benang halus dan tajam yang mampu menyayat pembuluh darah, terutama ketika ia bertepuk tangan tanpa nada — bilah-bilah tajam seolah mencuat dan melesat menyayat setiap ruas yang ada pada bagian dalam tubuh Agung Sedayu. Sekali waktu, Ki Patak Ireng melenting, melompati kepala Agung Sedayu dan seolah-olah akan mematuk kepala, lalu mendadak ia mengubah arah serangan atau bahkan membatalkan begitu saja. Tentu saja tata gerak itu sering memaksa Agung Sedayu terus menerus mengubah kedudukan, dan semakin rapat memutar cambuk untuk menutup setiap celah pertahanannya.
Goresan yang kecil. Sayatan yang tidak lebih panjang dari jari telunjuk benar-benar mengganggu tandang Agung Sedayu. Lambat laun gangguan itu merayap dan hampir mencapai saraf-saraf penglihatannya. Sapta Pandulu pun dikerahkan hingga batas puncak, namun begitu, ruang penglihatan Agung Sedayu seakan diliputi oleh sesuatu yang berbentuk ganjil. “Apakah aku melihat sarang laba-laba?” bertanya Agung Sedayu pada hatinya. Ia mencoba mengusap alis dan kelopak tetapi tidak ada benda yang menempel di bagian itu. Untuk sejenak, Agung Sedayu mengurangi tekanan. Senapati itu mulai menjaga jarak dari Ki Sekar Tawang. Agung Sedayu semakin terganggu dengan serabut lembut yang seolah-olah menutupi pandangannya.
Sikap yang menandakan gelisah sepertinya dapat diketahui oleh Ki Sekar Tawang. Ia terluka, meski tampak berkelahi penuh kesungguhan dan segenap kemampuan, tetapi itu hanya pengalihan. Agung Sedayu belum mempunyai wawasan matang mengenai pusaka-pusaka yang dimiliki Mataram. Oh ya, tentu saja, tentu saja, kepicikan Mas Jolang tidak akan memberinya kesempatan untuk mengenali Kiai Plered dan senjata lainnya. Ah, Agung Sedayu, betapa kecil nilaimu bagi Mas Jolang, demikian yang dipikirkan oleh Ki Sekar Tawang.
Maka, tanpa keraguan, Ki Sekar Tawang menghentak bagian puncak dari ilmunya, Sekar Lembayung!
“Matilah kau!” demikian Ki Sekar Tawang ketika melompat dengan tamparan tajam pada bagian depan tubuh Agung Sedayu.
Ledakan sangat keras memecah angkasa Slumpring.
Gelegar suara yang menyerupai letusan petir dan disertai hamburan tenaga cadangan membuat jalanan menjadi retak memanjang hingga belasan langkah. Agung Sedayu terpental, menjatuhkan diri, lalu berguling-guling setelah ujung cambuknya sanggup memecah serangkum tenaga yang sangat dahsyat.
Sebelum Agung Sedayu beranjak bangkit, Ki Patak Ireng dengan seringai bengis, tiba-tiba muncul dari balik debu yang mengepul tinggi, berusaha menghimpitnya sambil membetot ujung cambuk. Ki Patak Ireng akan merebut senjata andalan Perguruan Orang Bercambuk dari tangan Agung Sedayu.