SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 33

Menyadari bahwa orang yang dilabraknya bukanlah lawan yang sepadan, Sukra segera membentengi diri dengan gerakan-gerakan yang berunsur dari jalur perguruan Ki Jayaraga. Ia menyesap pengajaran Glagah Putih dengan sangat baik. Petunjuk-petunjuk dari Agung Sedayu mampu menutup celah dan kelemahan yang ada pada banyak unsur gerakan. Dan, ternyata dalam pertarungan itu, Sukra mengejutkan orang-orang yang mencemaskan keadaannya. Sukra tidak berkelahi tanpa perhitungan, sebaliknya, justru lebih banyak menunjukkan segala kelebihannya sebagai seorang pengawal yang diandalkan oleh Ki Gede Menoreh.

Dengan demikian, Ki Krembung Wantah tidak menganggap sebelah mata cara Sukra bertarung.

Namun Ki Krembung Wantah mengerti bahwa lawannya yang berusia muda lebih banyak mengandalkan tenaga wadag. “Ini tidak bisa diremehkan,” kata Ki Krembung Wantah dalam hati. Sejenak ia mengimbangi Sukra dalam perkelahian yang sesuai dengan kemampuan anak muda Menoreh itu. Beradu tenaga wadag serta berloncatan lincah dengan bertumpu pada kekuatan dan kecepatan kaki, hingga ia dapat mengukur batas tertinggi kekuatan Sukra.

Tidak boleh ada waktu yang terbuang dalam pertarungan serta menjadikan kegagalan sebagai semangat adalah pesan Raden Atmandaru pada pengikutnya. Pesan yang sanggup menggeser suasana jiwani menjadi penuh  dengan gerakan-gerakan yang cepat dan meyakinkan. Termasuk dalam perkelahian menghadapi Sukra, Ki Krembung Wantah menganggap bahwa anak muda itu adalah bahaya atau penghadang tangguh. Semakin ia mengulur waktu mempermainkan Sukra, maka tidak menutup kemungkinan Ki Patih Mandaraka atau Ki Plaosan mencampuri pertarungannya. Maka, segala kejengkelan dan kekecewaan yang didapatnya di Gedangasin ketika gagal menghabisi Ki Demang Srumbung pun tumpah. “Nah, engkau adalah sasaran yang paling menyenangkan setelah engkau melepaskan diri dari kami di Gedangasin,” geram Ki Krembung Wantah. “Meskipun tidak mungkin dihargai tinggi oleh junjungan kami, tetapi kematianmu adalah keuntungan kami.”

“Diam sajalah! Terlalu banyak tenaga yang kalian buang untuk bicara,” tukas Sukra di sela-sela gerakannya yang sangat gesit menghindari serangan balik.

Ki Krembung Wantah mendengus marah. Sejenak kemudian, udara panas meretas dari ayunan tangannya. Dalam sekejap muncul pusaran angin yang agak banyak di sela-sela pertarungan itu. Udara panas perlahan mengepung Sukra dari segala penjuru.

Sukra merasakan perubahan itu, dan juga mengetahui asal udara panas memancar, tetapi ia tidak dapat menghentak kemampuannya lebih cepat. Sukra membutuhkan sebuah benda panjang agar dapat mengimbangi tekanan yang mulai menghebat. “Andai saja ada sebatang kayu. Hanya itu yang aku tahu,” Sukra membatin. Ya, Sukra tahu cara mengungkapkan sesuatu yang luar biasa dalam dirinya. Ia menganggap itu adalah sesuatu karena dipelajarinya dari menirukan tata gerak dasar Sekar Mirah. Meski demikan, ketika mendapati Sukra berlatih tanpa kawan, Sekar Mirah bersedia menuntunnya dan menggembleng Sukra dengan cara yang berbeda dengan Glagah Putih maupun Agung Sedayu. Namun benda yang diinginkannya sangat jauh dari kedudukannya, sementara badai angin panas semakin rapat mengelilinginya.

Ruang gerak Sukra semakin sempit. Sepasang kakinya merasakan seolah sedang berada di dekat perapian, begitu pula ketika dua tangannya membentur bagian tubuh Ki Krembung Wantah.

Dalam waktu itu, Ki Patih Mandaraka bergumam dalam hati, “Seseorang harus mencampuri urusan Sukra.” Sekilas ia mengerling pada Kiai Bagaswara, dan tampak olehnya sepasang mata Kiai Bagaswara menghunjam pada lingkar perkelahian Sukra. “Bagus. Aku dapat mengandalkannya.”

Menyadari bahwa ada seseorang tengah mengawasi keadaannya, Kiai Bagaswara menyambut tatap mata Ki Patih Mandaraka dengan anggukan kepala. “Saya sedang menunggu waktu yang tepat, Ki Patih,” kata Kiai Bagaswara melalui hati.

Namun, belum berpindah ke kejapan mata berikutnya, tiba-tiba, Sukra merasakan getaran tenaga yang sangat halus memasuki tubuhnya melalui persendian dan pangkal lengan. Begitu lembut dan menyejukkan!

Dan, akibatnya kemudian adalah Sukra meledak!

Beberapa pusaran angin mendadak ambyar ketika Sukra mengebutkan sepasang tangannya. Ada yang berbalik arah ketika kaki Sukra memotong jalur pusaran angin.

Itu sangat mengejutkan Ki Krembung Wantah. “Bagaimana dapat terjadi? Anak ini tidak berada pada tataran iblis seperti itu!”

Kiai Bagaswara terperangah menyaksikan perubahan perkelahian yang mendadak meningkat sangat tajam. Sukra, dengan cara hebat, mampu mengembalikan keseimbangan. Namun pemangku padepokan itu segera bahwa di dekatnya ada Ki Patih Mandaraka. Bisa saja terjadi keajaiban jika Ki Patih menghendaki, hatinya mengatakan itu. Maka Kiai Bagaswara mengalihkan pandangan, dan terlihat olehnya Ki Patih Mandaraka sedang menggerak-gerakan jari seperti ada belasan tali yang menghubungkannya dengan Sukra.

“Ilmu langka, bahkan aku pikir telah musnah.” Ketika Kiai Bagaswara belum selesai mengendalikan kekagumannya pada Ki Patih, tetuah Mataram itu mengangguk. Anggukan yang berarti perintah baginya untuk mengambil alih tempat Sukra.

Dan, nyaris bersamaan,  terdengar ledakan yang mengguncang rongga dada! Gelombang ledakan yang sanggup mengurangi tekanan Ki Krembung Wantah pada Sukra. Pada waktu itu, Agung Sedayu telah mengurai cambuk lalu melecutkan sendal pancing dengan kekuatan yang nyaris tidak terhingga. Menghadapi dua lawan yang mungkin setara dengan kemampuannya, Agung Sedayu tidak memperdulikan keadaannya sendiri. Di bawah tekanan demam yang tanpa henti mengoyaknya dari dalam, Agung Sedayu berusaha menutup ruang gerak dua lawannya agar tak mempunyai celah untuk memburu Ki Patih Mandaraka.

Related posts

Kiai Plered 11 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Panarukan 5

Ki Banjar Asman

Bulan Telanjang 6

Ki Banjar Asman