SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 13

Ki Patih Mandaraka tidak mengucapkan sepatah kata, sepertinya ia sedang menunggu perkembangan. Menurut Ki Patih, tentu sesuatu yang penting dan mungkin juga menentukan apabila orang yang belum terlihat itu ternyata mengenal Agung Sedayu. Sepak terjang senapati pasukan khusus Mataram itu memang selalu menjadi perhatiannya. Oleh karena itu, ketika terselip kata mengenai janji, Ki Patih Mandaraka segera membuka pikirannya.

Selagi mereka menunggu kehadiran orang yang didahului oleh suara, Agung Sedayu menilai dalam hatinya bahwa tingkat kepandaian orang asing itu tidak dapat diabaikan. Ia tidak berteriak seperti kebanyakan orang bersuara keras. Nadanya terdengar begitu jelas dan tidak ada gema dari ucapannya. Mengirim suara dari jarak jauh, sementara langkah kakinya belum terdengar? Ini kepandaian luar biasa, pikir Agung Sedayu dengan hati semakin berdebar-debar.

Dan mereka berdua benar-benar berhenti untuk menunggu kedatangan pemilik suara itu.

Bondan – Bab 8 Siasat Gajah Mada

Sekejap kemudian, dua orang berusia lebih muda dari Ki Patih Mandaraka tiba-tiba berada di hadapan mereka berdua. Tubuh mereka begitu ringan hingga jejak kaki pun tidak terdengar oleh pendengaran. Sepertinya mereka datang dengan tubuh melayang atau mereka mampu membuat bobot tubuh seringan daun kering. “Selamat malam,” kata seorang dari dua pendatang ketika mereka terpisah jarak belasan langkah. Suara yang keluar dengan nada seperti sebelum mereka menampakkan diri menunjukkan lapisan ilmu yang sulit dinalar. “Ki Patih, menyenangkan dapat berjumpa dengan Anda di tempat ini. Saya pikir meski bukan waktu yang tepat untuk berbincang tentang sesuatu yang penting, tetapi melihat Anda sehat, itu adalah kegembiraan kami.”

“Apakah saya mengenal Anda atau teman Anda?” tanya Ki Patih dengan air muka yang tidak berubah. Tenang, bahkan cenderung dingin.

Seseorang melangkah, sebelumnya orang ini berada di belakang pembicara pertama, katanya, “Sama sekali di luar perkiraan ketika bertemu Anda di malam gulita seperti ini, Ki Rangga.”

“Oh,” Agung Sedayu menahan seru. Ketika mampu menguasai diri dengan cepat, kata Agung Sedayu, “Ki Tunggul Pitu. Sungguh, sangat menarik bila  kita berdua mempunyai pikiran yang sama.” Gelora hati Agung Sedayu kembali menggeliat dan itu hampir terlontar dari nada suaranya. Dengan alasan apa mereka menghadang mereka berdua di jalur mudah? pikir senapati Mataram.

Namun yang berkata kemudian bukan Ki Tunggul Pitu.

“Ki Patih,” kata pembicara pertama, “sebenarnya saya tidak bertujuan buruk dengan menyempatkan diri menemui Anda pada keadaan seperti ini. Ia berucap sambil merentangkan tangan lalu memutarnya, lanjutnya, “Namun bukan berarti saya juga tidak mempunyai maksud. Ki Patih, kami berdua hanya ingin meminta Ki Patih tidak kembali ke Mataram. Saya pikir kita tidak perlu mengambil jalan kekerasan karena itu adalah permintaan yang sederhana dan mudah dilakukan oleh Ki Patih berdua.”

Ki Patih Mandaraka terlihat sungguh-sungguh menyimak kata demi kata dari orang pertama yang belum mengenalkan diri. Dalam benaknya, Ki Patih Mandaraka mencoba mengingat Ki Tunggul Pitu yang namanya disebut oleh Agung Sedayu. Sepintas dipandangnya Agung Sedayu yang berdiam diri. Ketajaman pendengaran Ki Patih Mandaraka meningkat sangat tajam sewaktu tiga orang sekitarnya bertukar kata. Setelah meyakinkan diri bahwa tidak ada orang lain yang berada di dekat mereka, Ki Patih Mandaraka dapat menduga bahwa dua orang asing itu adalah orang-orang yang sangat percaya diri.

“Bagaimana, Ki Patih?” ulang pembicara pertama.

Asusila. Ki Patih Mandaraka berpikir tentang itu untuk orang pertama yang belum mengenalkan diri. “Apakah saya mengenal Anda dan teman Anda?” Ki Patih pun mengulang pertanyaannya.

“Ki Patih akan mengetahui saya sesaat lagi. Sementara ini, saya ingin bicara tanpa ada tekanan atau berpacu waktu. Bukankah Ki Patih usai melawat Sangkal Putung? Dengan begitu, bukankah tidak ada pekerjaan penting yang menunggu dalam waktu dekat?“

Agung Sedayu menahan diri walau jengah dengan sikap teman Ki Tunggul Pitu. Dipandangnya lelaki yang lebih banyak usianya dari Untara dengan tatap mata menyayat.

“Bagaimana jika saya berkata bahwa Ki Patih adalah jalan untuk menuju pusat Mataram? Akankah Ki Patih akan mengakui hal itu?” tanya orang pertama mencecar dengan kata-kata yang menghangatkan suasana.

Agung Sedayu terpaksa mengatupkan bibir ketika Ki Patih Mandaraka mengangkat tangan untuk memintanya tidak berkata-kata. Teman akrab Ki Panjawi itu mengangguk perlahan dan mengulangnya beberapa kali. Lalu kata Ki Patih Mandaraka, “Ki Sanak, sejujurnya aku tidak tertarik untuk memperpanjang kata dengan Ki Sanak berdua. Ini menghabiskan waktu Agung Sedayu, bukan waktuku. Dan, Ki Sanak salah memilih penunjuk jalan.”

Pembicara pertama tertawa kecil lalu memandang Ki Tunggul Pitu. “Kau dengar itu, Kiai?”

Ki Tunggul Pitu tersenyum tanpa mengucap kata.

Lanjut pembicara pertama, “Agung Sedayu bukanlah orang yang tepat sebagai penunjuk jalan. Menurut saya, Agung Sedayu adalah buto regol terbaik Mataram. Ya, Agung Sedayu adalah seekor anjing bagi kebanyakan orang-orang yang kalian kenal. Ditambah bahwa saya tahu banyak tentang murid pertama Kiai Gringsing itu. Bukankah engkau yang memimpin pasukan khusus dan telah membunuh Ki Mahoni?” Sorot mata yang memancarkan kekuatan dari dalam dirinya pun bertumbuk dengan pandangan tajam yang seakan-akan membelah dadanya!

Pertanyaan yang mengejutkan Agung Sedayu. Tiba-tiba ia dihempaskan ingatan tentang perkelahiannya melawan Ki Mahoni. “Belasan atau puluhan tahun yang lalu, siapa sebenarnya orang ini?” tanya Agung Sedayu dalam hati lalu membiarkan pikirannya berkelana mencari jawaban.

“Ki Patih,” lanjut kawan Ki Tunggul Pitu. “Baiklah, jika Anda memilih diam sebagai jawaban, maka aku akan berterus terang. Ki Patih Mandaraka yang dulu dikenal sebagai Ki Juru Martani, aku ingin membatasi gerak Anda di Mataram. Dan akan aku lakukan di tempat ini. Anda tidak boleh memasuki Mataram sebagai seseorang berkedudukan tinggi. Aku tidak lagi akan meminta, tetapi aku perintahkan Anda dan Agung Sedayu agar menjauh dari Raden Mas Jolang. Kalian dapat menghalangiku, itu memang kewajiban. Namun kalian tidak boleh melarangku mengiringkan cita-cita mulia putra Panembahan Senapati.”

 

Related posts

Menuju Kotaraja 4

Ki Banjar Asman

Membidik 57

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 34

Ki Banjar Asman