Demikianlah pada malam itu mereka bertiga bermalam di padang terbuka dengan ditemani angin dingin yang turun dari dua puncak gunung yang mengapit mereka. Ketinggian ilmu Ki Buyut Mimbasara atau Ki Kebo Kenanga ini menjadikannya mungkin untuk membuat dinding yang sulit ditembus oleh terjangan badai. Tenaga inti Ki Kebo Kenanga berhimpun lalu membentuk lingkaran sebagai tameng dari hawa yang sangat dingin dan angin yang berhembus kencang, maka dari itu Pangeran Benawa berlanjut lelap dalam seolah berada di pembaringan dan ruangan hangat. Sekali-kali Pangeran Benawa mengigau dengan memanggil-manggil kakeknya dengan suara lirih. Meskipun Ki Buyut adalah orang yang telah sangat dalam menyelami pengertian-pengertian kehidupan, tetapi ia manusia biasa. Ia terenyuh saat mendengar lirih suara cucunya meneyebut namanya berulang-ulang.
Dalam hatinya, Ki Kebo Kenanga mengakui bahwa pada saat itulah ia dapat merasakan kedekatan yang luar biasa dengan Pangeran Benawa. Tak mampu lagi ia menahan basah air mata yang menggenang pada pelupuknya.
“Tidak akan ada bahaya yang aku biarkan mendekatimu, dan bila aku telah tiada, aku akan menjagamu dalam arti yang berbeda, Pangeran,” bisik lirih Ki Buyut dengan suara bergetar penuh perasaan. Bahkan rerumputan dan angin pun larut dalam suasana seperti mereka dapat mendengar dan mengerti luapan perasaan ayah Jaka Tingkir.
Di samping Ki Kebo Kenanga, sekali-kali harimau mencoba menggerakkan tubuh namun ia terkekang oleh ikatan tenaga inti KI Kebo Kenagan yang mengunci otot dan urat syarafnya. Untuk beberapa saat Ki Buyut mengamati gerak gerik hewan tangguh itu lalu katanya, ”Aku akan membebaskanmu dari keadaan ini. Namun aku ingin kau dapat mengingat wajah cucuku dengan baik karena mungkin kau akan berjumpa lagi dengannya kelak. Suatu hari. Suatu saat.” Tiga langkah yang menjadi jarak yang memisahkan mereka tidak menjadi penghalang bagi Ki Buyut untuk membebaskan simpul-simpul saraf yang terkunci. Cukup sekali ia mengibaskan tangannya dan harimau itu telah bangkit di atas empat kakinya. Setelah ia mengibas-kibaskan bulu dengan menggoyangkan tubuhnya, harimau itu meregangkan otot-otot yang mungkin dirasakan olehnya menjadi kaku.
Sejenak kemudian harimau berjalan dengan gagah mendekati Ki Buyut yang duduk bersilang kaki dengan kepala cucunya yang berbantal pada pahanya. Tiba-tiba saja kepala harimau itu merunduk saat kian dekat dan berbaring di sisi yang berlainan dengan Pangeran Benawa. Hal yang menakjubkan pun terjadi! Harimau loreng itu mendorong-dorongkan kepalanya pada bagian kiri lambung Ki Kebo Kenanga, mendekam dengan leher memanjang seperti menyerahkan nasib pada Ki Buyut.
“Baiklah, aku mengerti keinginanmu. Kau dapat tinggal bersama kami di Pajang dan kau pun dapat meninggalkan kami kapan saja jika kau inginkan.” Telapak tangan Ki Buyut membelai kepala harimau itu penuh kasih. Seolah mengerti maksud kata orang yang telah menolongnya, harimau itu menjulurkan kepala lebih dekat pada Ki Buyut dan menjilatkan lidahnya pada telapak tangan orang yang membelainya.
Sepanjang malam Ki Kebo Kenanga menenggelamkan diri dalam kesempurnaan yang dirasakan telah meliputi hatinya. Ia melarutkan sesuatu yang dikenalnya sebagai pengakuan atas diri sendiri, melebur pengakuan itu pada kehampaan dan kesunyian. Kehadiran Pangeran Benawa pun semakin mendapatkan tempat tersendiri dalam hatinya dan perasaan itu –kasih dan sayangnya- pun lebur dalam kelembutan alam yang menyapanya. Di tengah keheningan cipta, Ki Buyut merasa bahwa ia bukan lagi sesuatu yang berarti bagi orang lain. Ia tak lagi merasa sebagai siapa dan telah melupakan apa yang telah diperbuatnya sepanjang hidup. Segenap jiwa dan nalar Ki Buyut Mimbasara atau Ki Kebo Kenanga nyaris menjangkau bibir samudera yang telah disediakan oleh Sang Pencipta bagi mereka yang mau mengenalnya.
Menjelang fajar, Pangeran Benawa pelan-pelan membuka kelopak mata kemudian tersenyum lega melihat lelaki penuh wibawa dan menyiratkan kegagahan berada di sampingnya. Rasa takut yang dirasakan olehnya cukup lama mencegkeram hatinya pun sirna. Kegelisahan yang mendekapnya bila tak bertemu kembali dengan orang tuanya seolah menyingkir seperti kabut gelap terhembus angin.
Wajah Pangeran Benawa tampak bersinar cerah. “Eyang!” serunya lemah sambil memegang tangan Ki Kebo Kenanga. Kegembiraannya bertambah saat mengetahui bahwa harimau yang akan memangsanya telah berada di ujung kakinya.
Meskipun sempat terperanjat, ia cepat menguasai diri, tersenyum lebar lalu katanya, ”Kau akan ikut kami berdua kembali ke Pajang?”
Seolah mengerti maksud Pangeran Benawa, harimau itu mengaum kemudian kembali.menempatkan kepalanya di dekat kaki sang pangeran. Kegembiraan jelas terpancar dari raut wajah Pangeran Benawa. Ia menggeser tubuhnya yang masih lemah lantas mendekatkan wajahnya berhadapan dengan muka lebar harimau yang besar itu.
“Aku tidak pernah takut padamu, Kajoran!” pelan suara Jaka Wening.
Ki Buyut mengerutkan alis, lalu, ”Kajoran? Kau beri harimau itu sebuah nama?”
Pangeran Benawa mengangguk pelan. “Ia akan menemaniku sepanjang hari, Eyang.”
Kakenya mengangguk kemudian bangkit lalu berkata, ”Marilah, kita berjalan pulang sambil berburu sedikit makanan. Tentu kalian berdua merasa lapar setelah berkelahi karena kalian belum saling mengenal.” Panegran Benawa mengerutkan dahi karena bagian terakhir yang diucapkan kakeknya sepenuhnya belum dapat ia mengerti, tetapi ia menganggukkan kepala karena memang sebenarnya sangat lapar.
Demikianlah saat sinar matahari dapat menyentuh batang ranting yang basah, mereka bertiga beriringan menuju kota Pajang. Dalam waktu itu, empat ekor kelinci hasil perburuan Ki Buyut yang bekerja sama dengan Kajoran telah mengisi perut lapar mereka.