SuaraKawan.com
Bab 6 Lembah Merbabu

Lembah Merbabu 27

“Kau membuatku kagum dan bangga, Ki Jenar,” kata Ki Buyut.

Ki Jenar menundukkan wajah kemudian mengucap, ”Pemberian Ki Buyut adalah kepercayaan. Saya tidak pernah menganggap sepasang ekor kuda itu adalah milik pribadi saya. Saya merawat keduanya sebagaimana dulu keduanya masih berada di padepokan.”

“ Dan kini mereka telah berkembang,” sahut Ki Buyut Mimbasara kagum.

“ Atas doa Ki Buyut.”

Ki Buyut Mimbasara menunjuk seekor kuda yang masih muda dan berwarna gelap, lantas  Ki Jenar yang kemudian dibantu anak muda yang cekatan menyiapkan seluruh keperluan Ki Buyut Mimbasara. Ki Buyut menatap heran pada anak muda itu, kemudian memastikan dengan pertanyaan,” Kidang Tlangkas?”

Anak muda yang disebut namanya kemudian menoleh pada Ki Buyut sambil membungkuk hormat. Ia berkata, ”Pangeran Parikesit memberi saya perintah untuk menunggu Ki Buyut di kediaman Ki Jenar.”

Ki Buyut hanya menarik napas panjang mendengar kalimat singkat Kidang Tlangkas.

Dalam waktu itu, Ki Jenar memandang wajah Ki Buyut berulang-ulang seperti tak percaya bahwa Ki Buyut juga membutuhkan perlengkapan untuk anak usia belasan tahun. Namun ia menahan diri karena  Ki Buyut belum memberitahukan kepentingannya.

Malam turun bersambut kabut menutup jalanan pedukuhan yang mulai lengang. Beberapa orang telah mempersiapkan diri untuk mengambil masa istirahat. Sebagian orang menggunakan peralihan waktu untuk mengheningkan cipta. Mereka mencoba menghadirkan kembali kekuasaan dan kesempurnaan Sang Hyang dalam ciptanya. Sekalipun kehidupan mereka jauh dari pemandu batiniah, tetapi mereka berupaya keras mengingat setiap petuah yang dituturkan oleh penunjuk jalan. Suasana jiwani menyatu dalam setiap detak nadi kehidupan yang ada di pedukuhan.

Dalam keheningan itu, sebagian kecil orang membiarkan jiwanya menziarahi relung-relung yang sulit dimengerti oleh orang lain. Begitu pula yang dilakukan oleh Ki Buyut pada masa itu. Di atas punggung kuda, Ki Buyut berdiam diri menelusuri jejak-jejak yang ada dalam dirinya. Ki Buyut melihat kembali dalam jiwanya dan bertanya, memperhatikan tujuannya dan bertanya kembali. Wajah Pangeran Benawa melintasi ruangan yang ada dalam bentang jantungnya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu membuka matanya.

Ki Jenar yang berdiri di samping kuda, berpaling padanya lalu bertanya, ” Apakah ini semua tentang cucunda Pangeran Benawa, Ki Buyut?”

Ki Buyut menundukkan kepala. Lalu katanya, ” Apakah Kidang Tlangkas memberitahumu tentang bocah lelaki itu?”

“Ia tidak berkata sedikit pun, Ki Buyut. Saya hanya menduga karena Ki Buyut membawa beberapa perlengkapan yang dahulu pernah dipakai oleh Pangeran Benawa.” Ki Jenar berhenti sejenak. Lalu lanjutnya, ”Apabila Ki Buyut berkenan, saya dan Kidang Tlangkas akan berada di sisi Ki Buyut hingga pangeran ditemukan.”

“Tidak,” tegas Ki Buyut, ”kehadiranmu di tempat ini lebih mempunyai banyak arti karena Pangeran Parikesit dan Angger Adipati dapat saja tiba-tiba menuju lingkungan ini. Dan bila itu terjadi, itu artinya ada peristiwa sangat penting yang membutuhkan wawasan yang kau miliki.”

Ki Jenar tidak menggetarkan bibir. Ia melirik Kidang Tlangkas yang berdiri beberapa langkah di belakang mereka berdua. Kidang Tlangkas, yang sebenarnya ingin turut serta dalam pencarian sahabat kecilnya itu, mencoba menahan diri. Ia memalingkan wajah dari mereka, namun Ki Buyut seperti tahu isi hati Kidang Tlangkas, katanya, ” Pencarian ini mungkin akan membahayakanmu. Kau tidak dapat mengandalkanku seorang diri sementara kita belum tahu bahaya yang dapat mengancam kita di depan.”

Kidang Tlangkas membenamkan wajah pada kedua telapak tangannya. Ia menggigit bibirnya untuk mengalihkan suasana hatinya yang tak menentu. Kemudian terdengar suaranya bergetar ketika berkata, ”Saya tidak dapat membayangkan keadaan Pangeran yang sudah pasti dalam kesulitan. Mungkin Pangeran dapat bertahan hidup dengan air, itu pun bila ada.”

“Malam ini adalah malam ketiga dari saat Pangeran hilang dari padepokan,” berkata Ki Buyut. ”Kau tidak perlu terlalu meresahkan keadaan Jaka Wening, Kidang Tlangkas. Ia akan bertahan, dan kau mengenalnya lebih baik dari sekedar membayangkan kejadian yang sebenarnya belum tentu menimpa dirinya.”

Membasah mata Kidang Tlangkas mendengar nama Jaka Wening disebutkan oleh Ki Buyut. Seolah ia melihat sosok Pangeran Benawa sedang berada di hadapannya. Kidang Tlangkas menyeret langkah mendekati Ki Buyut lalu menyalami guru Pangeran Benawa kemudian melangkah surut.

Related posts

Pertempuran Hari Pertama 3

Ki Banjar Asman

Sabuk Inten 4

Redaksi Surabaya

Sampai Jumpa, Ken Arok! 6

Ki Banjar Asman