“Berkatalah semaumu!” seru Rakryan Luru Sumpil sambil memberi aba-aba pada pengikutnya untuk memulai satu gelar pembuka.
Luru Sumpil menilai tata gerak Jalak Pameling dan sebenarnya itu wajar. Wajar bagi orang yang baru mengawali olah kanuragan. Tidak ada yang istimewa, pikirnya Namun betapa terkejut Luru Sumpil ketika serangkum angin pukulan menerpanya dengan disertai suara berdecit yang cukup nyaring.
“Pelayan itu tampaknya ingin mengakhiri hidupnya lebih cepat!” teriak hati Luru Sumpil sambil mengelak ke samping sejauh empat langkah. Bersamaan dengan itu, Luru Sumpil menerikakkan aba-aba serang pada prajuritnya.
Sebenarnya bukan memenangkan perkelahian yang menjadi tujuan Jalak Pameling. Tetapi ia berpikir tentang memusnahkan para penentang. Bila ia dapat menyelesaikan pertempuran yang tidak seimbang dari segi jumlah, mungkin selamanya tidak akan ada gangguan bagi raja dan keturunannya. Jalak Pameling berpendapat demikian. Seketika ia mengejar Luru Sumpil yang melompat jauh ke belakang barisan prajuritnya.
Senjata terhunus dari pengeroyoknya telah mengepung rapat tubuh Jalak Pameling. Kecepatan prajurit Luru Sumpil sangat mengagumkan! Mereka mampu mengurung Jalak Pameling yang sebenarnya sangat cepat bergerak. Dalam waktu itu, tiba-tiba, Jalak Pameling berdiam diri. Ia mengurungkan niat untuk memburu Luru Sumpil.
Jalak Pameling membeku. Matanya terpejam.
Serangan yang berawal dari kepungan rapat itu benar-benar mempunyai kecepatan seperti kilat. Tidak ada jalan keluar bagi Jalak Pameling ketika ratusan orang telah menyusun gelar berlapis. Andaikata ia dapat meloloskan diri dari lapisan pertama, maka barisan kedua akan menghujaninya dengan senjata yang siap menyayat kulitnya.
Kurang dari sekejap mata, kulit Jalak Pameling segera tersayat dan darah akan tumpah membasahi punggung Gunung Lawu.
Tiba-tiba bentakan nyaring keluar dari bibir Ki Jalak Pameling. Dua lengannya terentang panjang. Gelombang udara panas menyambar ratusan prajurit yang telah bergirang hati karena mengira dapat membunuh pelayan kesayangan Prabu Brawijaya. Angin panas yang ditimbulkan seribu kali lebih kuat dari udara panas Merapi, secepat kilat, membakar tubuh ratusan pengeroyoknya dan mengubahnya menjadi abu. Seketika itu pula!
Hanya Luru Sumpil yang dapat selamat dari gelombang panas maha dashyat itu! Luru Sumpil cukup beruntung ketika melompat ke dalam lekuk tanah sedalam pinggang. Meski demikian, rambut dan pakaiannya tetap hangus.
Ketika udara panas mereda, angin dari puncak Lawu pun tiba, menghalau panas lalu mengubah padang rumput itu seperti sedia kala. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya abu prajurit yang berterbangan. Dalam waktu itu, Jalak Pameling berkata lantang dengan suara bergetar, “Kalian telah terkutuk!”
Kulit Luru Sumpil meremang mendengar sumpah Ki Jalak Pameling. Ia belum berani bergerak namun sebuah bayangan telah berdiri di atas kepalanya.
“Engkau pun demikian!” tegas Ki Jalak Pameling diikuti ayunan telapak tangan mengembang. Maka terpisahlah kepala Luru Sumpil dari tubuhnya.
Pangeran Parikesit mengakhiri kisah dengan menepuk kepala Batara Keling berulang-ulang. Kemudian kata Pangeran Parikesit, “Kau berada di dekat mereka sebelum jatuh pingsan di belakang sebongkah batu hitam. Ketika angin panas akan menyapu tempatmu berada, aku menyelamatkanmu lalu meninggalkan tubuhmu di sisi air terjun di sebelah timur lereng Lawu. Aku tidak menuntutmu dengan balas budi karena hukuman itu telah tiba. Aku akan meninggalkanmu di tempat ini dengan ketidakberdayaan. Kepandaianmu telah aku musnahkan. Kekuatanmu saat ini tak lebih dari kemampuan seekor lalat. Selamat tinggal!”
Tiba-tiba ia menatap tajam dua orang yang terbaring tanpa daya di ujung kakinya.
“Apakah kalian mengenalinya?” tanya Pangeran Parikesit.
Rambesaji dan Batara Keling menjawab dengan gelengan kepala.
“Sesuatu yang sangat hebat sedang terjadi,” ucap Pangeran Parikesit lalu mengalihkan pandang pada warna merah membara yang menggapai langit.
“Kebakaran,” desah Pangeran Parikesit kemudian bangkit berdiri lantas dua tangannya bersilang di depan dada. Dan pada saat itu melintas beberapa ekor menjangan di dekat mereka bertiga. Dua ekor babi hutan juga terlihat oleh Pangeran Parikesit sedang berlari menyusur tepi hutan menjauh dari udara panas yang disebabkan kobaran api.
“Suwung Bawana. Benarkah ilmu itu yang menjangkau tempat ini?” hati Pangeran Parikesit bertanya.
Dan memang benar bahwa getar ilmu Suwung Bawana memancarkan gelombang yang panjang hingga menjangkau bagian luar dari hutan. Seseorang telah mengetrapkan ilmu maha dahsyat itu di salah satu bagian lereng Merbabu!