SuaraKawan.com
Bab 4 Kabut di Tengah Malam

Kabut di Tengah Malam 5

“Lalu Paman meminta agar saya datang padanya dan bicara tentang penundaan penyerangan?” tanya Ki Kebo Kenanga.

Pangeran Parikesit menganggukkan kepala lalu katanya, “Teatnya bukan menunda tetapi mengurungkan. Kau dapat memberi masukan tambahan agar ia rela melupakan rencana itu. Sementara aku dapat membantumu dengan mengumpulkan bukti dan bahan yang mampu mendorongnya untuk membatalkan rencana.”

“Paman Parikesit, waktu yang kita miliki hanyalah hitungan pekan. Apabila kita berangkat besok menuju Jepara, kita akan melihat pasukan Demak telah bersiap untuk bertolak. Selain itu, bantuan dari Cirebon juga telah datang secara bertahap memasuki Demak,” sahut Ki Kebo Kenanga.

“Masih ada waktu dan harapan untuk merubah pendirian raja,” tegas Pangeran Parikesit. Lalu lanjutnya, ”Meskipun aku tidak menyetujui rencananya namun itu tidak berarti aku gembira dengan berita kematiannya. Sekarang pasukan Demak masih berada pada garis dan batasan  yang wajar sampai saat kedua pasukan berbenturan.”

“Apakah memang peperangan tidak mungkin terelakkan?” gumam Ki Getas Pendawa.

“Aku tidak dapat melihat kemungkinan itu akan terjadi, Ngger. Sejak beliau mencetuskan rencana penaklukan Panarukan, aku sulit untuk memejamkan mata kala malam tiba,” Pangeran Parikesit berkata pelan dengan mata memandang langit-langit rumah. Kemudian ia berkata lagi, ”Aku tidak ingin menurunkan beliau dari tahta, tetapi keputusan yang telah jatuh seolah memberiku sebuah pandangan bahwa saat yang ditentukan telah dekat.”

Pangeran Parikesit menarik napas dalam-dalam. Ia berkata lagi, ”Gagak Panji akan menawarkan sebuah perdamaian pada pemimpin Demak dan aku mendukung gagasan itu. Namun ka-lian juga harus mengerti…” Pangeran Parikesit berhenti sesaat. Kemudian,”..aku akan menentangnya sangat keras apabila ia menolak gagasan Gagak Panji.”

Ki Kebo Kenanga menatap wajah Ki Getas Pendawa penuh arti. Ia berkata perlahan-lahan, ”Sebenarnya aku telah datang menemuinya empat mata.”

“Dan kau tidak bicarakan itu denganku?” sahut Pangeran Parikesit.

Ki Kebo Kenanga menggeleng, jawabnya, ”Saya terhempas dalam kebimbangan, Paman. Beberapa hari setelah angger Trenggana mengumumkan rencananya, aku didatangi oleh utusan Ki Patih Matahun. Ia menyampaikan padaku tentang rencana itu, lalu dengan jelas menggambarkan keadaan yang terjadi di Jipang, termasuk tanggapan Ki Patih Matahun.”

Sejenak ia melihat wajah Pangeran Parkesit dan Ki Getas Pendawa bergantian. Ia berkata lagi, ”Angger Arya Penangsang datang menemuiku untuk meminta pendapatku mengenai rencana orang-orang Demak. Lantas aku pergi ke Demak untuk memastikan kebenaran dari berita yang aku dengar. Dan memang rencana itu benar berasal dari Raden Trenggana sendiri. Tetapi sikapku tidak berubah dari yang aku sampaikan seperti tadi.”

Meskipun terkejut, tetapi Pangeran Parikesit dan Ki Getas Pendawa tidak menampakkan perasaan masing-masing melalui raut wajah mereka berdua. Kedua tokoh sepuh ini tetap bersikap tenang dan sorot mata keduanya seperti lautan yang dalam.

“Baiklah,” kata Pangeran Parikesit kemudian, ”Jaka Tingkir  akan pergi ke Demak besok. Kemungkinan yang terbuka adalah Raden Trenggana akan meminta kesediaan Adipati Pajang untuk berada di Demak selama ia memimpin penyerangan.” Ia menoleh Ki Kebo Kenanga lantas katanya, ”Aku memintamu untuk mengusulkan sebuah penolakan.”

Ki Kebo Kenanga mengangguk.

Pangeran Parikesit berkata lagi, ”Aku ingin Adipati Hadiwijaya mampu menolak perintah ayah mertuanya atau setidaknya ia tidak memberi pendapat tentang rencana itu.”

“Itu sebuah gagasan yang sangat rawan, Paman. Raden Trenggana mungkin saja akan marah, lantas mengganti Hadiwijaya dengan orang lain,” kata Ki Getas Pendawa.

“Tidak ada salahnya untuk mencoba, karena kita mempunyai kemungkinan untuk mengalihkan rencana itu,” sahut Pangeran Parikesit.

“Baiklah, aku akan mencoba bicara padanya,” kata Ki Kebo Kenanga.

“Aku ingin mengetahui hasilnya pada petang hari. Aku akan berada di padepokan untuk melihat keadaan Jaka Wening,” Pangeran Parikesit kemudian berjalan mendekati pintu. Ia melihat halaman rumahnya yang masih berselimut kabut tebal dengan pandangan penuh arti, kemudian ia berkata lagi, ”Mungkin waktuku tidak akan banyak tersisa untuk menemani Pangeran Benawa, aku harap serba sedikit dapat membantunya untuk mencari jalan bagi dirinya sendiri.”

Maka demikianlah pertemuan ketiga orang sepuh dan berilmu tinggi itu terjadi di rumah Pangeran Parikesit.
Tiba-tiba desir angin terdengar dan berpusar mengelilingi tubuh Ki Getas Pendawa, ia menoleh Pangeran Parikesit dan memberi hormat lalu tubuhnya menghilang dalam pusaran angina yang menyelubunginya. Menyusul kemudian sebongkah kabut bergerak menutup Ki Kebo Kenanga, lantas ia lenyap dari pandangan mata dalam sekejap mata

Related posts

Sampai Jumpa, Ken Arok! 21

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 73 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 33

Ki Banjar Asman