SuaraKawan.com
Bab 4 Kabut di Tengah Malam

Kabut di Tengah Malam 2

Kini mereka berdua seakan-akan merasakan kehadiran orang ketiga yang sedang berbicara di depan mereka, ”Kakang Kebo Kenanga, mengapa begitu tega meninggalkan saya untuk bertemu dengan paman Parikesit?”

Tanpa sadar dua orang yang disebut namanya itu saling memandang dan mengembangkan senyum. Lalu tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat dan hadir di hadapan mereka berdua.

“Kakang Getas Pendawa!” Ki Kebo Kenanga berseru pelan. Sementara Pangeran Parikesit menyambutnya dengan dua uluran tangan. Lalu kata Pangeran Parikesit, ”Marilah, kita lanjutkan di dalam. Kedatangan Angger Getas Pendawa dalam pertemuan malam ini  mungkin dapat memperkuat langit Demak yang akan runtuh.”

Maka sejenak kemudian ketiga orang yang berusia lebih dari separuh abad itu melangkah ke bagian dalam rumah Pangeran Parikesit.

“Marilah, Angger berdua silahkan menikmati suasana bagian dalam dan anggap saja rumah kalian sendiri. Aku akan minta Sarkam menyiapkan minuman hangat,” kata Pangeran Parikesit yang kemudian berjalan menuju bilik yang terletak di dekat pintu penghubung bagian tengah dengan pakiwan.

Ki Getas Pendawa dan Ki Kebo Kenanga segera menempatkan diri di atas sebuah tikar pandan berwana hijau muda yang tergelar di sudut ruangan. Sejenak mereka melihat-lihat dinding yang mengelilingi mereka. Tanpa mereka sadari keduanya menaruh perhatian lebih lama pada bunga wijayakusuma yang dilukis pada selembar kulit kerbau yang cukup lebar tergelar. Keadaan di bagian tengah rumah Pangeran Parikesit pun menjadi hening.

“Kakang, tadi aku sempatkan melihat Jaka Wening yang lelap dalam tidurnya,” berkata Ki Getas Pendawa manggut-manggut.

“Apakah itu berarti Kakang Getas Pendawa singgah di padepokan?” Ki Kebo Kenanga bertanya dengan nada heran.

Pangeran Parikesit yang telah duduk diantara mereka pun tersenyum sambil membayangkan yang terjadi ketika Ki Getas Pendawa menengok Jaka Wening.

Seraya menarik napas dalam-dalam, Pangeran Parikesit memandang kedua orang di depannya, lalu dengan nada tanya, ”Bagaimana pendapat kalian?”

Ki Kebo Kenanga menyahut, ”Jaka Wening dapat dibebani tanggung jawab besar. Meski begitu, saya tidak ingin membawanya ke dalam lingkaran yang telah dibuat oleh Raden  Trenggana.”

“Jaka Wening,” kata Pangeran Parikesit sambil memijat keningnya. Ia berkata lagi, ”Aku belum melihatnya beberapa pekan terakhir. Apakah Angger Kebo Kenanga telah menunjukkan dasar-dasar dari ilmu Cambuk Seketi?”

Ki Kebo Kenanga yang biasa dipanggil dengan nama Ki Buyut Mimbasara oleh Jaka Wening kini menggelengkan kepala.

Ki Getas Pendawa melirik Pangeran Parikesit dan berkata, “Paman, saya kira kakang Kebo Kenanga akan membebaskan Jaka Wening untuk menentukan garis ilmu yang akan ia pelajari.” Ki Getas Pendawa termenung sejenak, lalu ia berkata, ”Saya mengatakan itu karena beberapa pekan lamanya tinggal bersama mereka di padepokan. Dan pengamatan yang saya lakukan memberi hasil yang sepertinya berbeda dari harapan angger adipati pada putranya. Kita bertiga telah mengerti jika Sutawijaya adalah saudara angkat  Jaka Wening. Sebagian kecil dari diri kita mungkin ada keinginan untuk membandingkan mereka berdua. Untuk itulah aku katakan sekarang bahwa Jaka Wening mempunyai minat yang berbeda dengan Sutawijaya.”

Ki Buyut Mimbasara menatap lekat wajah Ki Getas Pandawa. Kedua sesepuh Pajang ini mempunyai usia yang agak jauh selisihnya, namun keduanya sama-sama menggunakan panggilan kakang karena saling menghormati setiap yang ada dalam diri mereka. Ki Buyut Mimbasara kemudian menarik napas panjang kemudian katanya, ”Dulu kita pernah mempelajari ilmu Jendra Bhirawa, tetapi tidak seorang pun dari kita berdua yang mendalaminya dengan sungguh-sungguh. Dan perkembangan terakhir adalah Jaka Wening secara diam-diam telah mendalaminya.”

“Apakah Kakang mengetahuinya?” tanya Ki Getas Pendawa.

“Saya menyaksikannya, Kakang. Jaka Wening berlatih Jendra Bhirawa di hadapanku, tetapi ia tidak pernah bertanya atau berkeluh kesah tentang kesulitan yang ia temui ketika mempelajarinya,” Ki Buyut Mimbasara memberi penjelasan. “Ia mengamati dan menyimak setiap ucapan dan pengajaran. Namun saya belum pernah memintanya untuk melatih olah gerak berdasarkan Jendra Bhirawa. Dan…Jendra Bhirawa hanya ia perlihatkan pada saya setiap kali kami berlatih di lereng Merbabu. Setiap kali saya bertanya mengenai kapan ia melatih gerak ilmu itu, wayah pangeran tidak pernah memberi jawaban. Ia teguh dalam pendiriannya untuk tidak memberi tahu saya.”

Related posts

Sabuk Inten 11

Redaksi Surabaya

Perwira 8

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 46

Ki Banjar Asman