Kabut di Tengah Malam
Sebuah bayangan berkelebat sangat cepat keluar dari padepokan dan berlari sangat kencang seperti terbang di atas rumput menuju pusat kota Pajang. Kesunyian menyelimuti kota Pajang saat bayangan itu meluncur cepat melintasi dinding tembok pembatas sebuah rumah yang cukup besar. Tidak ada napas yang terengah meskipun telah menempuh perjalanan cukup jauh dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dengan wajah berbalut kain hitam dan menyisakan sepasang mata, bayangan itu menatap tajam bagian depan rumah yang diterangi dua obor berukuran kecil. Ia membuka lebar kedua telapak tangannya lalu menangkupkan keduanya di depan ulu hatinya.
Tiba-tiba selapis kabut tipis menyelimuti lingkungan rumah yang terletak di sebelah timur alun-alun Pajang. Lapisan itu semakin tebal sampai menyulitkan seseorang untuk melihat telapak tangannya sendiri. Dinding rumah Pangeran Parikesit tergetar halus ketika kabut mulai menyentuh dinding yang tersusun dari batu. Dalam waktu itu, Pangeran Parikesit yang berada di dalam rumah menyadari kejanggalan yang terjadi di halaman depan. Ia memusatkan budi dan rasa untuk meningkatkan ketajaman pendengaran.
“Tentu orang yang melepaskan tenaga inti ini adalah orang yang berilmu sangat tinggi,” desis Pangeran Parikesit dalam hatinya. Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ruang depan. Kedua telapak tangannya menempel pada daun pintu yang terbuat dari kayu jati yang sangat kokoh.
“Luar biasa!” bisiknya dalam hati ketika kedua telapak tangannya merasakan getaran dahsyat yang terpancar keluar dari tamu yang tidak diundang. Pintu pun dibukanya perlahan. Tanpa mengeluarkan suara, bibir Pangeran Parikesit bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu.
“Angger Kebo Kenanga, marilah masuk ke dalam rumah,” suara Pangeran Parikesit jelas terdengar di kedua telinga orang yang dipanggil sebagai Kebo Kenanga.
“Paman memang mengagumkan! Suara Anda mampu menembus kepekatan kabut yang saya selimutkan di sekitar tempat ini.” Sebelum suara itu hilang tertelan kabut, mendadak seseorang telah berdiri tegak berhadapan dengan Pangeran Parikesit yang berada di tengah-tengah pintu yang terbuka lebar.
Ilmu Kebo Kenanga yang demikian tinggi mampu membuat rumah dan pekarangan luas milik Pangeran Parikesit diselimuti kabut yang sangat tebal. Suara kentongan prajurit peronda Pajang pun tidak mampu menembus hingga ke beranda rumah, lagipula sangat sulit bagi mata biasa untuk memandang yang sedang terjadi di halaman rumah Pangeran Parikesit. Ketebalan kabut di lingkungan rumah Pangeran Parikesit terlihat janggal, meski Pajang telah tertutup uap putih selepas matahari tenggelam. Kejanggalan itu menarik perhatian seorang peronda untuk memeriksa lebih dekat. Tetapi saat ia mencoba melangkah memasuki regol halaman, tubuhnya seperti tertahan dinding tanpa wujud.
“Benda apakah ini?” seru peronda itu. seorang kawannya berlari mendekat lalu mencoba menyentuh kepulan putih yang berarak perlahan di depan matanya.
“Aneh! Ini adalah kabut tetapi mengapa menjadi keras?” seru kawannya keheranan. Setengah tidak percaya ia kembali mencoba memegang arak-arakan asap putih itu tetapi ia menjumpai kejadian yang sama. Asap putih itu selalu menjadi keras dan sulit ditembus dengan tenaga biasa.
“Ah sudahlah!” kata peronda pertama. Ia mengusap-usap matanya kemudian berkata lagi, ”Bukankah ini rumah Pangeran Parikesit?”
“Benar,” jawab kawannya. Keduanya saling memandang kemudian berjalan menjauhi seorang tokoh sepuh yang mempunyai pengaruh besar di Kadipaten Pajang.
Dalam pada itu, Ki Kebo Kenanga berkata, ”Keadaan Paman telah membuatku bersyukur. Paman telah melewati masa yang panjang tanpa memaksa diri untuk memberi warna yang lain bagi kadipaten ini. Sementara aku sendiri harus bersembunyi dalam seseorang yang bernama Ki Buyut Mimbasara.” Ki Kebo Kenanga melangkah sedikit lebih mendekati Pangeran Parikesit. Sambil memegang kedua lengan kerabatnya yang berusia lebih banyak darinya, ia berkata lagi, ”Penyangga langit Demak mungkin akan runtuh dan aliran sungai sudah tak sederas beberapa tahun yang lalu.” Ki Kebo Kenanga menundukkan wajahnya dan menarik napas dalam-dalam.
“Seseorang telah melepaskan tenaga inti yang sangat hebat,” bisik Pangeran Parikesit.
Ki Buyut Mimbasara atau Ki Kebo Kenanga mengangkat wajah kemudian mengangguk. Ia menggeser tubuh dan keduanya menghadap arah regol halaman. Sebenarnya Pangeran Parikesit dan Ki Kebo Kenanga sama-sama merasakan hawa yang terpancar dari tenaga inti yang dilepaskan oleh seseorang. Selimut kabut bergoyang-goyang namun tidak tersibak dan tidak terpencar.